" Umi, bolehkan aku hari Ahad nanti bermain futsal ?" tanya si nomer
5 penuh harap.
Aku meneliti matanya, dan berfikir mencari jawaban yang tepat. Melihat binar penuh harap, tak tega aku menolaknya.
" Apakah hari Senin kamu ada mid semester ? Jika ada, tidak boleh main futsal di hari Ahad, karena kamu harus belajar. jika tidak mid, kamu boleh futsal..."
" Hore..." soraknya kegirangan " Aku tidak mid, jadi boleh ya mi...?"
Masih saja bertanya, seolah tak yakin dengan jawabanku.
" Mainnya dimana ? Sama siapa ?"
" Sama teman-temanku. Kumpulnya di rumah Nur Ilham. Umi tahu kan rumahnya ?"
Aku mengiyakan.
" Tapi aku harus ikut lomba Spelling Bee dulu, jadi nanti habis lomba baru main futsal. Sebaiknya aku langsung bawa perlengkapan futsal atau aku pulang dan ganti baju di rumah lalu baru diantar lagi ?" Ia memberondongkan pertanyaan.
" Lomba dulu, pulang, baru berangkat lagi..."
" Ok. tapi mi, bolehkah aku minta kaus futsal...?"
" Bukannya kamu sudah pernah dibelikan kaus...baru dipakai beberapa kali kan ?"
" Itu sudah kependekan Mi....tidak enak dipakai..."'
" Ok kalau harganya gak mahal, umi belikan ..."
" Trus sepatunya...?"
" Lho, kan juga sudah dibelikan sepatu waktu kamu mau ambil eskul fuitsal. Baru kamu pakai berapa kali, trus kamu sakit dan tidak pernah dipakai lagi ?"
" Itu sepatu sepakbola. Sepatu futsal beda lagi..."
" Emang apa bedanya ? Emang ada larangan futsal pakai sepatu sepakbola...?" aku sungguh keheranan.
" Iya mi, gak boleh. ini lapangannya indoor. Menyewa, kalau pakai sepatu sepakbola kan merusak karpetnya. sepatu sepakbola itu runcing alasnya...."
Hmmm jadi begitu ya. Sebentar putar otak dulu.
" Abang ingat nggak, terakhir abang main futsal, abang masuk rumah sakit, sampai dua kali. Sepuluh hari. Sepatunya mungkin seratus dua ratus ribu, tapi berapa juta untuk biaya RS dan dua pekan abang tidak sekolah..."
Ia diam saja.
Peristiwa itu terjadi satu setengah tahun yang lalu. Difa kecapekan selepas outing, langsung main futsal dan Seninnya sakit, opname lima hari dengan indikasi infeksi saluran kemih, saluran cerna dan cacar air. Pulang, di rumah tiga hari, masuk RS lagi 5 hari.
Rupanya saat outing ia menahan kencing seharian. Air minumnya habis, karena memang ia sangat doyan minum, dan futsal dalam keadaan bekal uang dan air minum sudah habis. Saat outing ia mungkin jajan sembarangan.
Jadi lengkaplah, ia kebanjiran penyakit karena dua aktivitas itu.
Aku lantas menghentikan kegiatan futsalnya. Hingga hari ini.
Walaupun demikian, ia tetap bermain bola atau futsal saat istirahat kelas atau sepulang sekolah, di halaman sekolah.
Namun tak pernah lagi secara resmi mengenakan asesoris dan bermain di tempat serius.
" Sepatunya umi carikan pinjaman saja ya...? Tokh kamu
jarang-jarang main...."Aku meneliti matanya, dan berfikir mencari jawaban yang tepat. Melihat binar penuh harap, tak tega aku menolaknya.
" Apakah hari Senin kamu ada mid semester ? Jika ada, tidak boleh main futsal di hari Ahad, karena kamu harus belajar. jika tidak mid, kamu boleh futsal..."
" Hore..." soraknya kegirangan " Aku tidak mid, jadi boleh ya mi...?"
Masih saja bertanya, seolah tak yakin dengan jawabanku.
" Mainnya dimana ? Sama siapa ?"
" Sama teman-temanku. Kumpulnya di rumah Nur Ilham. Umi tahu kan rumahnya ?"
Aku mengiyakan.
" Tapi aku harus ikut lomba Spelling Bee dulu, jadi nanti habis lomba baru main futsal. Sebaiknya aku langsung bawa perlengkapan futsal atau aku pulang dan ganti baju di rumah lalu baru diantar lagi ?" Ia memberondongkan pertanyaan.
" Lomba dulu, pulang, baru berangkat lagi..."
" Ok. tapi mi, bolehkah aku minta kaus futsal...?"
" Bukannya kamu sudah pernah dibelikan kaus...baru dipakai beberapa kali kan ?"
" Itu sudah kependekan Mi....tidak enak dipakai..."'
" Ok kalau harganya gak mahal, umi belikan ..."
" Trus sepatunya...?"
" Lho, kan juga sudah dibelikan sepatu waktu kamu mau ambil eskul fuitsal. Baru kamu pakai berapa kali, trus kamu sakit dan tidak pernah dipakai lagi ?"
" Itu sepatu sepakbola. Sepatu futsal beda lagi..."
" Emang apa bedanya ? Emang ada larangan futsal pakai sepatu sepakbola...?" aku sungguh keheranan.
" Iya mi, gak boleh. ini lapangannya indoor. Menyewa, kalau pakai sepatu sepakbola kan merusak karpetnya. sepatu sepakbola itu runcing alasnya...."
Hmmm jadi begitu ya. Sebentar putar otak dulu.
" Abang ingat nggak, terakhir abang main futsal, abang masuk rumah sakit, sampai dua kali. Sepuluh hari. Sepatunya mungkin seratus dua ratus ribu, tapi berapa juta untuk biaya RS dan dua pekan abang tidak sekolah..."
Ia diam saja.
Peristiwa itu terjadi satu setengah tahun yang lalu. Difa kecapekan selepas outing, langsung main futsal dan Seninnya sakit, opname lima hari dengan indikasi infeksi saluran kemih, saluran cerna dan cacar air. Pulang, di rumah tiga hari, masuk RS lagi 5 hari.
Rupanya saat outing ia menahan kencing seharian. Air minumnya habis, karena memang ia sangat doyan minum, dan futsal dalam keadaan bekal uang dan air minum sudah habis. Saat outing ia mungkin jajan sembarangan.
Jadi lengkaplah, ia kebanjiran penyakit karena dua aktivitas itu.
Aku lantas menghentikan kegiatan futsalnya. Hingga hari ini.
Walaupun demikian, ia tetap bermain bola atau futsal saat istirahat kelas atau sepulang sekolah, di halaman sekolah.
Namun tak pernah lagi secara resmi mengenakan asesoris dan bermain di tempat serius.
Ia diam dengan wajah kecewa.
" Apa semua temanmu memakai sepatu ? "
" Ada yang tidak "
" Trus mereka pakai apa ?"
" Gak pakai apa-apa ..."
" Oo jadi gak pakai sepatu boleh ?"
" Boleh"
Hmm jawaban pendek-pendek, artinya ia sedang kecewa.
Aku menghentikan acara masak dan duduk di sampingnya. Memeluk pundaknya.
" Abang boleh main futsal, umi akan belikan kaus baru dan carikan pinjaman sepatu, kalau tidak dapat......"
" .....aku nyeker saja...ada temannya kok..!"
" Ok deal..." aku melihat wajahnya kembali cerah.
Sambil kembali memasak, aku membuat opsi baru.
" Seandainya Bang, ini seandainya lho, kamu tidak jadi futsal saja, umi akan belikan kamu buah manggis dua kilo..."
" Manggis dua kilo ?" Buah manggis adalah kesukaannya.
" Ya dua kilo untuk kamu semua...dan kecil-kecil..."
" Dua kilo manggis, kecil-kecil gak ada bijinya ? Waw..."
Ia mengulang dengan gembira. Ia sedang menimbang-nimbang.
" Tapi aku tetap pengin futsal..." desisnya kemudian.
" Ok Futsal...nanti sore beli kausnya..." jawabku cepat.
Singkat cerita, esoknya ia berangkat lomba spelling bee hingga tengah hari. Sepulangnya ia justru bermain bersama adiknya. Aku pura-pura lupa tentang rencana kami kemarin, padahal ia sudah punya kaus baru.
Namun sorenya aku tak tahan untuk bertanya:
" Abang, memangnya kamu tidak jadi futsal...?"
" Ya tidaklah Mi...kirain lombanya tidak lama. Kan futsalnya janjian jam 9, jadi saat aku selesai lomba, mereka sudah selesai futsal..." Ia bicara tanpa nada kecewa. Sekalipun tidak jadi futsal dan lombanya juga tidak menang.
" Ok kalau begitu, umi janji manggis dua kilo..."
Tak lama kemudian, hanya berselang beberapa menit, ada seseorang mengetuk pintu. Difa berlari menemui tamu.
" Umi ada orang mencari ustdz Cahyadi, kalau tidak ada mau ketemu ustadzah Ida..." katanya dengan nada bercanda.
Aku bergegas menemui suami istri dan seorang anak yang menjadi tamu kami.
" Assalamu'alaikum ibu. kami dari Purworejo, mau silaturahmi. Kalau ustadz tidak ada, ketemu ibu saja... Oya, ini oleh-oleh dari kami, buah manggis dan duku....Manggis Purworejo sangat terkenal manis dan bagus...."
Aku terpana.
Jadi saat sang tamu pulang dan aku masuk rumah...kupanggil Difa.
" Bang.... buah manggis kecil-kecil dua kilo...bonus duku...."
Difa menyambutnya dengan sorakkan syukur.
Allah telah membelikannya untukku. Alhamdulillah, tsumma alhamdulillah.
Rejeki yang tidak disangka-sangka.
No comments:
Post a Comment