Naik pesawat Garuda
menuju ke Bandar Lampung. Dalam cuaca yang kurang bagus di ketinggian 26 ribu
kaki, pesawat menembus awan badai. Orang bilang awan cumulonimbus, bergumpal
pekat dan gelap. Selama kurang lebih 15 menit, seluruh pemandangan adalah warna
abu-abu. Depan belakang, samping kiri kanan.
Serasa berjalan tanpa arah, saat tidak ada parameter yang
terlihat. Matahari tengah bersembunyi, daratan tertutup awan, benda langit lain
tak terlihat. Kehilangan ordinat, seolah aku merasa tddak ada tempat berangkat
dan tidak ada tempat menuju.
Barangkali begitulah jika hidup ini tidak ada parameter.
Tidak tahu di jalan mana kita melayang, kemana kita menuju dan apakah ukuran
sampai tujuan atau tidak. Di pesawat, untungnya ada pilot dan co-pilot, dua
orang yang dipercayai oleh seluruh penumpang dan kru mengetahui arah dan
tujuan, sehingga sebagian penumpang tidur nyaman disela guncangan. Satu lagi,
keyakinan bahwa pesawat yang dinaiki memang sehat, layak terbang dan akan mampu
mendarat di tempat tujuan.
Hidup kita, butuh seseorang yang kita percaya, memandu arah
hidup kita. Orang yang kita yakini akan menyampaikan kita pada tujuan penting,
syurga Allah tentunya. Yang mengarahkan kita agar tidak terjatuh saat terbang
tinggi. Agar kita tidak tersesat dalam perjalanan panjang kita. Kita butuh
petunjuk, yang baku yang nir kesalahan. Petunjuk prinsip maupun petunjuk
teknis. Kita butuh kendaraan yang kita yakini aman, nyaman, dan bisa membawa
kita pada tujuan dengan selamat.
Kembali ke pesawat, saya mencoba memejamkan mata. Menajamkan
rasa, merasakan gelombang naik turun, guncangan dan perasaan melambung.
Membebaskan jiwa dalam kebebasan tak berbatas. Jika jiwa ini lepas, kemanakah
arah menuju...
Saya membuka mata dan melongok ke jendela. Tidak ada cercah
cahaya. Tidak ada. Adanya warna yang merata, cahaya tipis merata. Tapi kemudian
alhamdulillah masih ada cahaya.
Bayangkan saat jiwa melayang dan mencari keabadian. Tidak ada
cahaya. Gelap gulita.
Seorang teman yang pernah mengalami mati suri, menceritakan
pengalamannya. Ketika dia mengalami kecelakaan. Dia merasa terjatuh dan
melayang dalam jurang yang gelap. Tidak sama dengan mati lampu. Saat itu dia
tidak bisa merasakan memiliki tubuh. Dia tidak merasa punya tangan, kaki atau
bahkan wajah.Lalu ada seberkas cahaya, tipis tapi fokus. Cahaya yang melayang.
Tiba-tiba ia ingin mengikuti cahaya itu...cahaya yang makin lama makin mengarah dan menuju suatu tempat yang terang.
Tiba-tiba ia ingin mengikuti cahaya itu...cahaya yang makin lama makin mengarah dan menuju suatu tempat yang terang.
Seperti dalam sebuah
panggung, dia melihat sebuah situasi, orang-orang yang ia kenal. Ia mengenali
penggalan cerita itu, tapi ia tak bisa berpartisipasi. Bahkan ia melihat
dirinya terbujur dalam panggung ratapan. Namun sebuah proses kejatuhan
membuatnya merasakan kegelapan...kemudian lamat-lamat ia merasakan dirinya,
telah menjadi bagian dari panggung ratapan. Ia tersadar.
Begitulah pengalaman seseorang yang pernah sangat dekat
dengan kematian. Sekalipun menurut statistik, moda transportasi udara paling
aman dibandingkan moda transportasi lain, namun situasi saat terjadi turbulensi
nun jauh di ketinggian...serasa begitu dekat dengan maut.
Tentu saja hal ini hanya dirasakan oleh mereka yang belum
terlelap alias masih diberi kesadaran.
Saya kira tak berbeda ya, dalam kehidupan nyata. Perasaan
dekat dengan maut hanya bisa dimiliki oleh sesiapapun yang selalu tersadar.
Akhirnya situasi menegangkan berakhir. Badai pasti
berlalu...ada benarnya, kami juga mendarat dengan selamat, hingga saya bisa
menuliskan ini. Namun semoga kesadaran tetap bersama saya. Juga anda ya...
No comments:
Post a Comment