Pages

Friday, October 11, 2013

DIARY MERAPI ( yang tertunda tayang)

Hari ini, Kamis 30 des 2010.
Merapi saat erupsi 2010
Untuk pertama kalinya aku naik ke cangkringan setelah letusan dasyat pada Jumat dinihari November lalu.Bersama rombongan tim Salima, aku menyetir visto bersama bu Indri dan beberapa teman. Dalam rombongan kami juga ada mobil dari Bantul membawa beberapa teman dan peralatan masak memasak. Lalu satu mobil panter berisi jamaah pengajian dari kampungku. Dari rumah kami berangkat pukul 09.00, melewati jalan Solo menuju arah Cangkringan. Aku yang tidak terlalu tahu jalan, mengikut saja di belakang mobil rombongan.
Sepanjang jalan shahabatku bu Indri tak henti-hentinya mengobrol. Ia bercerita apa saja seolah tak kehabisan bahan.Aku senang saja mendengar dan menyahuti pembicaraannya. Namun dengan sedikit heran aku bertanya mengapa ia tak capek berbicara.
“Waah aku harus ngobrol untuk mencegah muntah. Kalau tidak ngobrol, aku harus makan sesuatu....ya sudah aku gantian makan sekarang ...” katanya sambil mengeluarkan beberapa bungkus  snack kering dari tasnya. Wah rupanya persiapannya sungguh matang.
Sepanjang jalan kami menyaksikan sisa-sia dampak letusan. Rumah yang masih belum dihuni lagi, abu di pinggir jalan yang masih saja terlihat bekasnya, beberapa tanaman yang mulai bersemi pucuk-pucuk segarnya. Dan penduduk yang mulai beraktivitas kembali.
Sementara itu hujan gerimis mengiringi perjalanan kami.semakin ke atas, hujan menderas, hingga saat harus melewati  aliran kali gendol dan jembatan yang telah runtuh, kami tidak diijinkan dan harus memutar untuk keamanan. Kami menurut saja dengan saran penduduk setempat.( kalau sekarang sudah dibangun jembatan baru menggantikan jembatan lama yang putus akibat erupsi merapi)
Akhirnya kami sampai juga ke Srunen. Srunen adalah wilayah Kali Tengah lor, desa teratas yang selamat sebagian perkampungannya dari awan panas dan debu letusan. Desa diatasnya telah hancur termasuk tempat tinggal mbah Marijan, sebagian terkubur pasir.
Kami mengunjungi rumah seorang janda yang kebetulan masih saudara supir rombongan kami. Suaminya meninggal saat letusan. Rumah mereka diselimuti abu, perabotan, lantai dan apa saja di sekitarnya. . Kaca-kaca sebagian pecah. Gawangan pintu bagian bawah terbakar. Jika siang mereka kembali ke rumah untuk membersihkan dan memperbaiki rumah. Jika malam mereka masih tidur di pengungsian.
Kami dijamu dalam kesederhanaan mereka. Sang ibu membuat teh panas dan menyuguhi kami dalam gelas-gelas berwarna buram lantaran kesulitan untuk mencari air bersih. Mereka membeli air untuk beraktivitas, memasak dan MCK. Air bersih sungguh sangat berharga setelah semua sumber air tercemar akibat letusan.
Para penduduk di kampung ini mencari nafkah sementara dengan menjual makanan kecil kepada para pengunjung wisata lava seperti kami. Jadi ibu janda tuan rumah menyuguhi kami dengan makanan kecil dagangannya berupa krupuk rambak dan roti kering. Kami juga disuguhi pisang yang nyaris tidak berbentuk. Hasil panen yang masih bisa diselamatkan walaupun warna kulitnya kehitaman karena tersiran debu vulkanik. Semua terasa mudah dimaklumi dan kami santap dengan nikmat.
Beberapa ibu dari kampungku yang mengikuti rombongan ini, meneteskan air mata haru dengan keadaan itu apalagi disuguhi cerita tentang proses meninggalnya tuan rumah akibat letusan.
Saat peristiwa itu terjadi, mereka telah tinggal di pengungsian. Namun karena keterbatsan sarana transportasi, dan juga sarana di tempat pengungsian, maka mereka meninggalkan ternaknya tetap di rumah mereka. Ya rumah yang saat ini sedang kami kunjungi. Para tetangga juga melakukan hal serupa. Pada hari saat letusan terjadi, bapak sedang menengok rumah untuk memberi makan hewan ternaknya, dua ekor sapi yang disimpan dalam kandangnya. Saat itulah merapi meletus lagi. Bapak terkena letusan. Esoknya penduduk berusaha menyisir keadaan di kampung paska letusan dan menemukan mayat bapak dalam keadaan terkubur pasir dan luka bakar.
Semoga para korban letusan mati syahid. Mereka tengah mengupayakan nafkah untuk keluarga ketika peristiwa itu terjadi.amin.
Beberapa ibu dengan sukarela meninggalkan sumbangan untuk ibu tuan rumah yang tengah dilanda mushibah ini. Semoga yang sedikit ini bisa meringankan beban mereka, amin.
Kami lalu berkeliling desa dengan kendaraan. Menyaksikan tanaman yang habis terbakar. Batang pohon berdiri tanpa daun, bahkan kulit batang pun telah terkelupas.sebagiannya justru terlihat artistik, jika sempat berpikir demikian. Namun kedukaan kami menenggalamkan fikiran itu.
Bersama Pengungsi Merapi dari desa Srunen

Setelah  puas berkeliling, kami menuju desa Gading, tempat tujuan utama kami. Di sebuah mushola dan rumah keluarganya  teman, kami singgah. Inilah tempat acaranya. Kami menunggu waktu dhuhur dan menunggu warga berkumpul.
Hari ini acaranya adalah belajar memasak dan sosialisasi tentang cara beternak ayam buras. Menu memasak hari ini adalah membuat kue kering kastengel keju dan kue bolu kukus sifon pandan. Hujan gerimis masih mengguyur saat  kami beraktivitas. Walaupun demikian, alhamdulillah yang hadir cukup banyak, sekitar 70 orang ibu-ibu dan sedikit bapak  .
Hadirin dibagi dalam dua kelompok, satu kelompok perwakilan yang akan mendengar sosialisasi tentang beternak ayam buras. Dan sisanya bersama-sama belajar memasak.
Saat acara akan dimulai, listrik mati...yaah beberapa tahapan memasak harus ditunda lantaran butuh listrik untuk mengoperasikan alat seperti mixer. Namun semua tetap bisa dilaksanakan.
Pak muji, supir  yang memang berasal dari wilayah itu, mengajakku untuk melihat aliran air hujan dan lahar dingin. Jika puncak diguyur hujan lebat, maka akan terjadi airan air yang mengikis pasir sepanjang kali gendol, jika sampai di bawah di wilayah Kota dan Bantul, maka dikenal dengan banjir lahar dingin. Menerobos hujan, kami berlari-lari menuju lokasi sungai gendol yang hanya berjarak sekitar 300m.
Aku terpana menyaksikan lautan pasir itu. Wilayah ini dulu adalah jurang . Di DAS kanan kiri sungai adalah kebun dan ladang para penduduk sekitar. Sekarang tertimbun pasir setinggi 3-5 m. beberapa rumah di tepi sungai terkubur. Lebar aliran pasir mencapai sekitar 400m. pepohonan di kanan kiri aliran pasir telah terbakar. Tinggal batang-batang hitam kecoklatan yang bahkan telah terleupas kulitnya.
Berjalan jauh ke tengah lautan pasir sekitar 100m, aku melihat jurang menganga sedalam 20 m . mungkin ini adalah lokasi sungai aslinya. Setiap ada hujan besar, aris mengikir pasir dan membentuk aliran sungai lagi.
Timbunan pasir masih panas. Banyak tempat yang mengepulkan asap. Jika kita mengorek pasir, maka asap keluar dimanapun kita mengorek.
Tiba2 kami mendengar seruan orang ditingkah suara gemuruh. Ditengah gerimis kami berlari ke tepi jurang pasir. Dari jauh terlihat asap putih dan pasir menjulang tinggi ke langit bersama suara gemuruh lidah air banjir dari puncak. Aliran air membawa batu dan pasir dalam suara yang mengerikan. Serasa terjadi gempa dan letusan lagi. Asap membumbung tinggi lantaran pasir panas yang terkikis tersiran air. Asap dikuti oleh pasir jadi terjadi lagi hujan pasir dan abu vulkanik.
Aku merasakan kengerian yang mencekam, seperti inikah rapuhnya manusia berhadapan dengan alam. Ketika hujan main lebat, aku mengajak teman2 untuk menyingkir ke tepi, aku khawatir banjir besar akan menghanyutkan kami. Namun aku heran melihat para relawan pemantau sungai yang memiliki nyali besar. Mereka justru merlari mendekat ke arah hulu menyongsong aliran sungai yang makin membesar. Mungkin mereka telah berpengalaman sehingga dapat memperkirakan besarnya aliran.
Ah, aku masih menyayangi hidupku, jadi aku menyaksikan dari gubuk pemantau di tepi lautan pasir itu. Kurekam dalam video kamera asap yang membumbung dan gemuruh suara aliran yang menebarkan kengerian. Hmmm apa jadinya yang dibawah sana. Apakah mereka akan menerima berkah kiriman pasir melimpah ataukah justru banjir lahar dingin yang menyengsarakan...wallahu a’lam.
Setelah puas menjadi saksi sejarah fenomena alam ini, aku dan rombungan kecil kembali ke lokasi pertemuan. Ibu2 masih asyik mendengar pengajian sementara menunggu masakannya masak. Aku ikut mencicipi lezatnya kue hasil karya orang banyak ini. Setelah acara selesai, Salima Bantul menyerahkan peralatan masak kepada perwakilan ibu-ibu. Harapanya ketrampilan dan peralatan masak itu bisa menjadi modal mereka untuk bangkit dari keterpurukan mushibah ini.
Dalam perjalanan pulang, rombongan mampir ke kali gendol untuk menyaksikan aliran lahar dingin. Kami bertashbih dan beristighfar melihat kejadian alam yang luar biasa ini.
Semoga penduduk sekitar dapat berdamai dengan alam, mendapatkan berkah dibalik mushibah dan menjadikan mereka semakin taat beribadah. Bagi kami, kunjungan ini menjadi sarana ukhuwah untuk berbagi, berempati dan lebih bersyukur dengan keadaan kami yang jauh dari mushibah.
Amin.

Wisata lahar dingin dewasa ini

4 comments:

  1. Minggu lalu berkesempatan ke cangkringan Mbak, dan ini kali pertama saya bisa melihat merapi dengan jarak lbh dekt. Sempat mampir ke Huntap juga..

    #oia, salam kenal ya mbak

    ReplyDelete
  2. Salam kenal juga Rina Khayan. silahkan mampir ke ke rumah jika ke jogja...

    ReplyDelete
  3. pengalaman yang tak terlupakan ya mak....semoga bencana besar ini tidak terulang..

    ReplyDelete
  4. makasih kunjungannya mak Indah Nuria savitri. kapan ke Jogja saya antar menengok merapi

    ReplyDelete