Untuk pertama kalinya aku naik ke cangkringan setelah letusan
dasyat pada Jumat dinihari November lalu.Bersama rombongan tim Salima, aku
menyetir visto bersama bu Indri dan beberapa teman. Dalam rombongan kami juga
ada mobil dari Bantul membawa beberapa teman dan peralatan masak memasak. Lalu
satu mobil panter berisi jamaah pengajian dari kampungku. Dari rumah kami
berangkat pukul 09.00, melewati jalan Solo menuju arah Cangkringan. Aku yang
tidak terlalu tahu jalan, mengikut saja di belakang mobil rombongan.
Sepanjang jalan shahabatku bu Indri tak henti-hentinya
mengobrol. Ia bercerita apa saja seolah tak kehabisan bahan.Aku senang saja
mendengar dan menyahuti pembicaraannya. Namun dengan sedikit heran aku bertanya
mengapa ia tak capek berbicara.
“Waah aku harus ngobrol untuk mencegah muntah. Kalau tidak
ngobrol, aku harus makan sesuatu....ya sudah aku gantian makan sekarang ...”
katanya sambil mengeluarkan beberapa bungkus snack kering dari tasnya. Wah rupanya
persiapannya sungguh matang.
Sepanjang jalan kami menyaksikan sisa-sia dampak letusan.
Rumah yang masih belum dihuni lagi, abu di pinggir jalan yang masih saja
terlihat bekasnya, beberapa tanaman yang mulai bersemi pucuk-pucuk segarnya. Dan
penduduk yang mulai beraktivitas kembali.
Sementara itu hujan gerimis mengiringi perjalanan
kami.semakin ke atas, hujan menderas, hingga saat harus melewati aliran kali gendol dan jembatan yang telah
runtuh, kami tidak diijinkan dan harus memutar untuk keamanan. Kami menurut
saja dengan saran penduduk setempat.( kalau sekarang sudah dibangun jembatan
baru menggantikan jembatan lama yang putus akibat erupsi merapi)
Akhirnya kami sampai juga ke Srunen. Srunen adalah wilayah
Kali Tengah lor, desa teratas yang selamat sebagian perkampungannya dari awan
panas dan debu letusan. Desa diatasnya telah hancur termasuk tempat tinggal
mbah Marijan, sebagian terkubur pasir.
Kami mengunjungi rumah seorang janda yang kebetulan masih
saudara supir rombongan kami. Suaminya meninggal saat letusan. Rumah mereka
diselimuti abu, perabotan, lantai dan apa saja di sekitarnya. . Kaca-kaca
sebagian pecah. Gawangan pintu bagian bawah terbakar. Jika siang mereka kembali
ke rumah untuk membersihkan dan memperbaiki rumah. Jika malam mereka masih
tidur di pengungsian.
Kami dijamu dalam kesederhanaan mereka. Sang ibu membuat teh
panas dan menyuguhi kami dalam gelas-gelas berwarna buram lantaran kesulitan
untuk mencari air bersih. Mereka membeli air untuk beraktivitas, memasak dan
MCK. Air bersih sungguh sangat berharga setelah semua sumber air tercemar
akibat letusan.
Para penduduk di kampung ini mencari nafkah sementara dengan
menjual makanan kecil kepada para pengunjung wisata lava seperti kami. Jadi ibu
janda tuan rumah menyuguhi kami dengan makanan kecil dagangannya berupa krupuk
rambak dan roti kering. Kami juga disuguhi pisang yang nyaris tidak berbentuk.
Hasil panen yang masih bisa diselamatkan walaupun warna kulitnya kehitaman
karena tersiran debu vulkanik. Semua terasa mudah dimaklumi dan kami santap
dengan nikmat.
Beberapa ibu dari kampungku yang mengikuti rombongan ini,
meneteskan air mata haru dengan keadaan itu apalagi disuguhi cerita tentang
proses meninggalnya tuan rumah akibat letusan.
Saat peristiwa itu terjadi, mereka telah tinggal di
pengungsian. Namun karena keterbatsan sarana transportasi, dan juga sarana di
tempat pengungsian, maka mereka meninggalkan ternaknya tetap di rumah mereka.
Ya rumah yang saat ini sedang kami kunjungi. Para tetangga juga melakukan hal
serupa. Pada hari saat letusan terjadi, bapak sedang menengok rumah untuk
memberi makan hewan ternaknya, dua ekor sapi yang disimpan dalam kandangnya.
Saat itulah merapi meletus lagi. Bapak terkena letusan. Esoknya penduduk
berusaha menyisir keadaan di kampung paska letusan dan menemukan mayat bapak
dalam keadaan terkubur pasir dan luka bakar.
Semoga para korban letusan mati syahid. Mereka tengah
mengupayakan nafkah untuk keluarga ketika peristiwa itu terjadi.amin.
Beberapa ibu dengan sukarela meninggalkan sumbangan untuk
ibu tuan rumah yang tengah dilanda mushibah ini. Semoga yang sedikit ini bisa
meringankan beban mereka, amin.
Kami lalu berkeliling desa dengan kendaraan. Menyaksikan
tanaman yang habis terbakar. Batang pohon berdiri tanpa daun, bahkan kulit
batang pun telah terkelupas.sebagiannya justru terlihat artistik, jika sempat
berpikir demikian. Namun kedukaan kami menenggalamkan fikiran itu.
Bersama Pengungsi Merapi dari desa Srunen |
Setelah puas
berkeliling, kami menuju desa Gading, tempat tujuan utama kami. Di sebuah mushola
dan rumah keluarganya teman, kami
singgah. Inilah tempat acaranya. Kami menunggu waktu dhuhur dan menunggu warga
berkumpul.
Hari ini acaranya adalah belajar memasak dan sosialisasi
tentang cara beternak ayam buras. Menu memasak hari ini adalah membuat kue
kering kastengel keju dan kue bolu kukus sifon pandan. Hujan gerimis masih
mengguyur saat kami beraktivitas.
Walaupun demikian, alhamdulillah yang hadir cukup banyak, sekitar 70 orang
ibu-ibu dan sedikit bapak .
Hadirin dibagi dalam dua kelompok, satu kelompok perwakilan
yang akan mendengar sosialisasi tentang beternak ayam buras. Dan sisanya
bersama-sama belajar memasak.
Saat acara akan dimulai, listrik mati...yaah beberapa
tahapan memasak harus ditunda lantaran butuh listrik untuk mengoperasikan alat
seperti mixer. Namun semua tetap bisa dilaksanakan.
Pak muji, supir yang
memang berasal dari wilayah itu, mengajakku untuk melihat aliran air hujan dan
lahar dingin. Jika puncak diguyur hujan lebat, maka akan terjadi airan air yang
mengikis pasir sepanjang kali gendol, jika sampai di bawah di wilayah Kota dan
Bantul, maka dikenal dengan banjir lahar dingin. Menerobos hujan, kami
berlari-lari menuju lokasi sungai gendol yang hanya berjarak sekitar 300m.
Aku terpana menyaksikan lautan pasir itu. Wilayah ini dulu
adalah jurang . Di DAS kanan kiri sungai adalah kebun dan ladang para penduduk
sekitar. Sekarang tertimbun pasir setinggi 3-5 m. beberapa rumah di tepi sungai
terkubur. Lebar aliran pasir mencapai sekitar 400m. pepohonan di kanan kiri
aliran pasir telah terbakar. Tinggal batang-batang hitam kecoklatan yang bahkan
telah terleupas kulitnya.
Berjalan jauh ke tengah lautan pasir sekitar 100m, aku
melihat jurang menganga sedalam 20 m . mungkin ini adalah lokasi sungai
aslinya. Setiap ada hujan besar, aris mengikir pasir dan membentuk aliran
sungai lagi.
Timbunan pasir masih panas. Banyak tempat yang mengepulkan
asap. Jika kita mengorek pasir, maka asap keluar dimanapun kita mengorek.
Tiba2 kami mendengar seruan orang ditingkah suara gemuruh.
Ditengah gerimis kami berlari ke tepi jurang pasir. Dari jauh terlihat asap
putih dan pasir menjulang tinggi ke langit bersama suara gemuruh lidah air
banjir dari puncak. Aliran air membawa batu dan pasir dalam suara yang
mengerikan. Serasa terjadi gempa dan letusan lagi. Asap membumbung tinggi
lantaran pasir panas yang terkikis tersiran air. Asap dikuti oleh pasir jadi
terjadi lagi hujan pasir dan abu vulkanik.
Aku merasakan kengerian yang mencekam, seperti inikah
rapuhnya manusia berhadapan dengan alam. Ketika hujan main lebat, aku mengajak
teman2 untuk menyingkir ke tepi, aku khawatir banjir besar akan menghanyutkan
kami. Namun aku heran melihat para relawan pemantau sungai yang memiliki nyali
besar. Mereka justru merlari mendekat ke arah hulu menyongsong aliran sungai
yang makin membesar. Mungkin mereka telah berpengalaman sehingga dapat memperkirakan
besarnya aliran.
Ah, aku masih menyayangi hidupku, jadi aku menyaksikan dari
gubuk pemantau di tepi lautan pasir itu. Kurekam dalam video kamera asap yang
membumbung dan gemuruh suara aliran yang menebarkan kengerian. Hmmm apa jadinya
yang dibawah sana. Apakah mereka akan menerima berkah kiriman pasir melimpah
ataukah justru banjir lahar dingin yang menyengsarakan...wallahu a’lam.
Setelah puas menjadi saksi sejarah fenomena alam ini, aku
dan rombungan kecil kembali ke lokasi pertemuan. Ibu2 masih asyik mendengar
pengajian sementara menunggu masakannya masak. Aku ikut mencicipi lezatnya kue
hasil karya orang banyak ini. Setelah acara selesai, Salima Bantul menyerahkan
peralatan masak kepada perwakilan ibu-ibu. Harapanya ketrampilan dan peralatan
masak itu bisa menjadi modal mereka untuk bangkit dari keterpurukan mushibah ini.
Dalam perjalanan pulang, rombongan mampir ke kali gendol
untuk menyaksikan aliran lahar dingin. Kami bertashbih dan beristighfar melihat
kejadian alam yang luar biasa ini.
Semoga penduduk sekitar dapat berdamai dengan alam,
mendapatkan berkah dibalik mushibah dan menjadikan mereka semakin taat
beribadah. Bagi kami, kunjungan ini menjadi sarana ukhuwah untuk berbagi,
berempati dan lebih bersyukur dengan keadaan kami yang jauh dari mushibah.
Amin.
Wisata lahar dingin dewasa ini |
Minggu lalu berkesempatan ke cangkringan Mbak, dan ini kali pertama saya bisa melihat merapi dengan jarak lbh dekt. Sempat mampir ke Huntap juga..
ReplyDelete#oia, salam kenal ya mbak
Salam kenal juga Rina Khayan. silahkan mampir ke ke rumah jika ke jogja...
ReplyDeletepengalaman yang tak terlupakan ya mak....semoga bencana besar ini tidak terulang..
ReplyDeletemakasih kunjungannya mak Indah Nuria savitri. kapan ke Jogja saya antar menengok merapi
ReplyDelete