Kakak pertama mancing saat liburan di Rawa Pening |
Entah apakah ada hubungannya
dengan acara di salah satu TV swasta atau tidak, yang jelas di kampungku
sekarang sedang musim memancing. Memang sejak sebulan yang lalu saya melihat
ada sepetak sawah milik salah satu warga yang disewa oleh seseorang dan dirubah
menjadi kolam pemancingan darurat. Aktivitas mancing terjadi di malam hari
terutama pada malam Minggu.
Kemarin sore saat saya mengisi
pengajian di kampung, seorang peserta bertanya OOT.
“ Ibu, boleh saya tanya tentang
hal lain?”
“Boleh saja...”
“Ini tentang mancing. Menurut ibu
termasuk perjudian atau tidak model memancing yang sekarang digandrungi
warga...?”
“Oya, modelnya bagaimana?”
“Mancingnya digelar perjam. Misal
2 jam pertama, tiap peserta membayar 20 ribu untuk ikut memancing. Berapapun
hasilnya, itu menjadi hak dia. Trus nanti digelar sesi selanjutnya, membayar
lagi 20 ribu. Yang sesi pertama tidak dapat ikan, tidak boleh ikut lagi. Kolam
diisi ikan lagi. Nanti ada sessi ketiga, membayar lagi, yang sesi dua tidak dapat ikan, tidak boleh
ikut....”
“Yang pinter ya dapat banyak,
yang nggak dapat ya melongo saja kehilangan 20 rb....” kata yang lain.
Ooo begitu ya caranya.
Dapat ikan walaupun kecil |
Saya tidak berani menjawab
lantaran belum begitu mengerti sepenuhnya sistem tersebut dan yang jelas saya
tidak berhak mengeluarkan fatwa.
“ Lha kalau nggak suka dengan
sistemnya, ya nggak usah ikut...” saranku untuk sementara.
“Masalahnya sekarang semua jadi
suka mancing bu, sampai mereka berhutang agar bisa ikut acara mancing itu....”
kata peserta yang lain.
“Anak-anak muda juga meminta uang
pada orang tuanya untuk ikutan...”
Waaa....
Rupanya trend yang diciptakan ini berhasil membius warga. Yang tadinya
tidak suka mancing jadi tertantang untuk membuktikan kemampuan. Yang hari ini
tidak dapat ikan satupun, penasaran untuk ikut lagi esok harinya. Apalagi yang
hari ini dapat banyak dan bisa dijual ke pasar dengan untung besar.... Esok lebih
ketagihan lagi.
Kukira yang tergiur permainan ini
hanyalah para penggemar dadakan. Depan rumahku, pak guru yang pemancing sejati,
sudah melanglang buana ke banyak sungai dan kedung yang angker sekalipun, tidak
tergoda untuk ikut. Baginya mancing adalah kepuasan, mengapa harus membayar dan
beramai-ramai. Pak guru depan rumahku ini rela begadang sepanjang malam minggu di
tepi sungai nan sepi demi memuaskan hobinya. Hasil tangkapannya untuk para
kucingnya. Kucingnya memang banyak. Adapun bapak itu sendiri alergi jika
memakan ikan hasil pancingannya. Lucu ya?
Adik-adik senang dapat ikan |
Kembali tentang trend baru yang mulai meresahkan
sebagian ibu-ibu, saya dapat memakluminya. Supirku sendiri pada suatu hari Minggu
tidak bisa disuruh apapun gara-gara malam harinya begadang ikutan acara
memancing. Saya sempat jengkel lantaran jadi harus jumpalitan antar jemput
tetamu dan semua urusan yang lain. Hmm trend
yang juga merugikan diriku.
Bagi para ibu yang mengeluh,
kira-kira uang belanjanya menjadi berkurang lantaran suaminya tergoda untuk
ikutan memancing. Belum tentu pulang membawa ikan. Yang punya anak lelaki juga,
mereka merengek minta tambahan uang saku. Yang tidak punya uang lalu berhutang.
Belum lagi paginya, mereka yang
telang semalam begadang memancing tentu menjadi mengantuk dan lesu. Kerjaan terbengkalai.
Padahal namanya orang desa, tiap hari harus turun ke ladang dan tak lupa
mencari pakan untuk ternaknya.
Malam hari saat saya diskusikan
masalah ini dengan suami, suamiku melarangku untuk berkomentar ke warga.
“Kita lihat dulu” katanya. Suamiku
memang orang yang sangat hati-hati. Saya sepakat saja. Bukankah jika dirasa
merugikan, orang akan bosan sendiri dan berhenti.
Masalahnya jika kesadaran itu
terlambat. Jika akibat mancing ini terlanjur mempengaruhi produktivitas,
mempengaruhi kerukunan suami istri atau bahkan membuat ambruk ekonomi keluarga
lantaran banyak hutang. Khawatirku jika pengelola mancing mengeluarkan jurus
baru atau aturan baru untuk lebih menantang dan menarik minat warga. Lantaran
pastilah mereka telah diuntungkan dengan permainan ini.
Hmm saya akan mendorong suami
untuk bicara dengan beberapa tokoh masyarakat, menganalisa dampak positif dan
negatif dari acara mancing mania ala desa ini. Semoga rapat warga nanti bisa
mengeluarkan keputusan yang tepat, semisal melarang aktivitas itu atau mengusir
penyewa lahan yang menjadi panitia even ini. Entahlah, memang saya harus
menunggu sedikit lagi proses itu. Terkadang orang banyak harus merasakan
sakitnya dulu sebelum menyadari bahwa sesuatu itu membahayakan.
Semestinya hobi menjadi
hiburan dan hiburan itu menyehatkan. Bukan sebaliknya ‘hobi’ dadakan yang
justru menguras uang dan stamina. Mungkin atas nama kegagahan dan kebanggaan.
Huff.
Apakah di tempat anda ada kegitan
semacam itu?
Eh, daripada mancing yang gak
jelas itu, mendingan ngeblog ya...?!
Hasil acara memancing di Rawa |
Wah cerita tentang mancng jadi gatal tangan saya mak
ReplyDeleteHobby mancing ini sejak kecil. Kebiasaan mancing di bengawan solo atau rawa
Bangga kalau pulang bawah ikan banyak
Kalau yang cara gn kayaknya kurang sefaham ni hukumnya
Karena memicu pemaksaan pada anak anak untuk minta uang
Dan juga jalan waktunya yang kurang tepat
saya orang kampung tapi ga bisa mancing. Bisanya "memancing keributan" hehehe
ReplyDeletedapat ikannya, dapat tapi kecil-kecil....alhamdulillah :-)
ReplyDeletesaya ga suka juga kegiatan mancing mak, saya sering bilang sama suami...jg punya hoby mancing...alhamdulilah suami emang ga hoby..#maafygsukamancing
ReplyDeleteMakasih kunjungannya mak enci, saya juga gak suka mancing, kasihan sama ikan yang bibirnya hjadi sumbing. makasih kunjungannya pak Hariyanto,f nugroho dan mak Titik Suswati.
ReplyDelete