Pages

Tuesday, February 25, 2014

EPISODE MALIOBORO


Malam minggu, duduk di lesehan Malioboro.
Menikmati nasi uduk sembari mendengar grup pemusik jalanan memainkan lagu-lagu nostalgia. Bergantian kami request lagu tempo dulu, Beatles, lagu latin, tembang jawa.... hmm rasanya Malioboro banget !


Seorang pelukis datang menawarkan jasa melukis wajah. Aku menerima tawaran itu , maka dilukislah Revo si nomer 6. Revo menikmati saat wajahnya menjadi obyek lukisan. Selama sekitar seperempat jam, pelukis berkumis itu dengan piawai memainkan pensilnya dan terciptalah sebuah lukisan wajah yang amat mirip dengan Revo. Revo senang sekali, apalagi ada gambar laba-laba di kostum spiderman yang dipakainya ikut digambar, kami juga sangat puas. Usai sudah acara melukis, aku serahkan jasa melukis yang kami sepakati, Rp. 50.000,-.


Para penyanyi jalanan yang mengiringi acara makan malam dan proses melukis itupun menarik untuk dibahas. Trio pemuda itu memegang alat musik berbeda, lalu bergantian mereka menyanyi.
Suaranya lumayan bagus, yang unik sembari menyanyi, wajahnya selalu tersenyum. 

Berbarengan dengan kami selesai makan, juga disudahi kontrak sepihak dengan para pemusik itu dengan selembar limapuluhribuan. Mereka berterima kasih dan berlalu. Beberapa pengunjung lain ada juga yang ikut memberi.
Perut kenyang, hati senang, kami berlalu pulang.
 
Eh mampir dulu, karena ada keperluan yang harus dibeli di seberang jalan. Karena aku enggan menyeberang, maka bersama sulungku, kami duduk di bangku pinggir jalan. Seorang tukang parkir mendekati kami, maka inilah kesempatanku wawancara.

“Tugas sampai jam berapa pak ?” kataku membuka percakapan.
“Sampai jam 22.30 bu, nanti ada yang menggantikan...” jawabnya ringan.
“Kalau malam minggu ramai ya pak, semalam bisa dapat berapa pak ?”
“Memang kalau malam minggu tidak hujan, bisa dapat banyak bu, bisa di atas Rp. 250.000. Tapi nanti bayar 50.000 untuk pemilik kapling. Pemiliknya kakak saya sendiri. Trus bayar retribusi Rp. 15.000. Kalau hari biasa, sepi. Apalagi kalau hujan...nombok mbak” paparnya panjang lebar.

“ Memang kalau sepi, setorannya tetap ?”
“ Iya tetap...”
“ Jaganya sendirian atau sama teman...?”
“ Sama nyonyah saya...tuh yang berdiri di sana...!” Ia menunjuk seorang perempuan , lumayan manis namun berpenampilan layaknya laki-laki dengan rambut yang dipotong pendek...”
“ Waah nyonyahnya cantik...! Hebat ya, kuat tiap malam ikut jaga....?!”
Tukang parkir itu mengangguk senang. Ada sinar bangga di matanya.

Percakapan kami terus berlanjut, jadi kuketahui bahwa tarif retribusi berbeda pada penggal area parkir yang berbeda. Juga suka dukanya jadi tukang parkir. 

Saat seorang buta melintas, kulihat orang buta itu sedikit kesulitan mencari penanda jalanya, lajur kuning dengan tekstur berbeda dari trotoar jalan pada umumnya. Aku ingin mengetes tukang parkir, apakah ia mengerti tentang pentingnya penanda jalan untuk orang buta. Lantaran caranya memarkir motor, sangat mepet dengan penanda itu. Bahkan sebagian motor bagian belakangnya persis di pinggir penanda. Tentu akan membuat orang buta tersandung.

“Bapak, itu mengapa ada jalur seperti itu...?” tanyaku.
“Itu jalur orang buta bu, mereka merasakan dengan kaki dan tongkatnya...”
Oo, rupanya tahu juga dia...
“Wah kalau begitu, parkirnya jangan sampai menutupi jalur itu ya pak...” kataku mengguman.
“Iya...” jawabnya. 
Tapi entahlah, semoga ia mempraktekkannya.

Percakapan kami berakhir saat rombongan suami dan anakku telah menyelesaikan belanjanya. Aku berpamitan pada kenalan baruku. Pasangan tukang parkir yang kompak, pak Yuswa dan bu Yekti. Semoga Allah karuniakan kesehatan dan rizki yang barokah untuk keduanya. Semoga kedua putranya yang selalu ditinggalkan setiap malam, selalu mendapat perlindungan, amin.

***
Saat duduk di lesehan tadi, kubuka percakapan dengan putraku si nomer 5 yang biasa dipanggil Abang. 
“ Abang perhatikan tadi, tiap orang bekerja dan dihargai dengan nilai yang berbeda, tadi pelukis wajah, melukis Revo, hanya sekitar seperempat jam, jadi lukisan bagus ya...berapa tadi bang honornya ?”
“ Lima puluh ribu...”
“ Banyakkan bang. Modalnya kertas dan pensil dan keahlian melukis. Bayangkan jika semalam ia bisa melukis 10 orang. Trus kalau para penyanyi tadi, bertiga nyanyi beberapa lagu, dikasihnya 50.000. Waktunya hampir sama dengan waktu melukis. 
Trus, mas pelayan tadi yang hilir mudik, bawa pesanan, cuci piring, kerja semalam sampai dini hari. Dari jam 5 sore tadi, belum tentu honornya 50.000 ....Tukang parkir itu juga jaga motor, tidak setiap malam bisa dapat 50.000. Tapi ada profesi lain, bisa dapat honor besar berlipat lho bang. Kamu pilih mana ?”

“Ya pilih yang honornya banyak dong...misalnya apa mi ?”
“Misalnya abimu, karena penulis buku, trainer, pendapatannya bisa berlipat...
Tapi ada syaratnya Bang, harus rajin belajar biar pintar. Berakhlaq mulia biar disukai orang, banyak membaca biar luas wawasannya dan berani ceramah...”

Putraku mengangguk-angguk.
“....dan nggak kebanyakan main game...karena itu tidak membuat menjadi pintar dan berwawasan...” bisikku menyindirnya.
Putraku tersenyum lebar. Aku juga tertawa.

" Tapi Bang, penting dalam bekerja itu menikmati. Bukan sekedar jumlah uang yang diperoleh. Bapak yang melukis tadi, sambil bercanda, sesekali ikut menyanyi. Pengamen yang bernyanyi sambil senyum-senyum....jadi kalau pilih pekerjaan sambil dinikmati ya..."

Semoga ia belajar dari episode Malioboro kali ini.
Anak-anak harus diajak untuk belajar dari fenomena sosial dan merefleksikan ke diri mereka sendiri. Melihat dan menikmati sesuatu tidak hanya sesaat di permukaannya, namun apa benang merah hakikat dari peristiwa. 

Sekali lagi, semoga ia belajar dari setiap peristiwa yang dilaluinya, amin.

Selamat malam Jogja.


6 comments:

  1. Episode Pembelajaran yg mulia mak Ida...

    ReplyDelete
  2. aku tertarik dengan jalur kuningnya mbak, sneang rasanya masih ada yang memperhatian orang-orang yang mempunyai keterbatasan

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya Mama Calvin, sekarang tiap lewat jalur trotoar aku cari jalur orang buta, menandakan kota ramah difabel. kalau di Singapura udah nyaris merata, bahkan di stasiun KA.

      Delete
  3. waaa, setting tempat membikin aku makin rindu djogjah maaak....#salahfokus

    ReplyDelete