Wahai ayah
bunda, sebagai orang tua kadang memiliki dilema antara keinginan agar rumah
selalu rapi bersih dan...sedikit kebebasan ruang untuk anak “berekspresi.” Eh
iya enggak sih? Jangan-jangan hanya aku saja.
Ada keluarga
yang memilih rumahnya tetap rapi dan sunyi, melarang anak ”memberantakkan” atau
membuat “kegaduhan”. Namun juga ada yang ekstrim memperbolehkan anak melakukan
apa saja.
Dimana
posisi kita?
Mana yang
lebih kita inginkan? Rumah yang selalu bersih dari corat-coret tapi anak-anak
kekurangan ruang ekspresi atau anak yang tak diatur dan diberi banyak
kebebasan?
Ah anda yang
punya pilihan. Anda juga bisa membuat versi lain, mengapa harus terpaku pada
pilihan yang saya buat...hihihi...pertanyaan kok menyesatkan.
Saya
tersentuh dengan puisi cinta dan kerinduan yang saya baca di buku Tarbiyatul Aulad fil Islam karya Ustadz
Abdullah Nasih Ulwan. Izinkan saya mengutip tulisan indah tentang Al-Ustadz Umar Baha’ al-Umairi yang membuat syair
ketika 8 anak-anaknya mengadakan perjalanan dari Al-Mushif ke Halab.
Dimana kegaduhan dan kebisingan syahdu
dimana belajar yang selalu diselingi senda
gurau
dimana masa kanak-kanak yang semarak
dimana boneka dan buah-buahan yang berserakan
di lantai
Dimana
rengekan tanpa tujuan
dimana
pengaduan tanpa sebab
dimana
tangis dan tawa, duka dan ceria
yang timbul
secara bersamaan
Dimana perebutan untuk duduk disampingku
ketika mereka akan makan dan minum
Mereka saling berdesakan untuk duduk di
sisiku
dan dekat denganku dimana saja mereka
bergerak
Dengan dorongan fithrah
mereka menghadap denganku
pada saat mereka takut dan senang
Ketika
mereka senang senandung mereka adalah ‘”bapak”
ketika
mereka marah ancaman mereka adalah “ bapak”
ketika
mereka jauh bisikan mereka adalah “ bapak”
ketika
mereka dekat, ratapan mereka adalah “ bapak’
kemarin mereka memenuhi rumah kita
sayang, mereka telah pergi
seakan-akan kesunyian menimpakan beban yang
berat ke dalam rumah ini
ketika mereka pergi
sunyi rumah ibarat tenangnya orang sakit
seisi rumah diselimuti kesedihan dan
kedalahan
mereka telah pergi
ya, mereka telah pergi
namun tempat
tinggal mereka adalah hatiku
mereka tidak
jauh, tidak pula mereka dekat
kemamana
saja jiwaku yang berpaling
aku selalu
melihat mereka
kadang
mereka diam
kadang
mereka lom[at di dalam benakku
di dalam rumah yang tak pernah mengenal lelah ini
masih kurasakan sendau gurau mereka
masih kulihat pancaran sinar mata mereka
ketika mereka berhasil
masih kulihat linangan air mata mereka ketika
mereka gagal
di setiap
sudut rumah
mereka
tiinggalkan suatu kesan
disetiap
pojok rumah
mereka
tinggalkan kegaduhan
aku melihat mereka
pada kaca-kaca jendela yang mereka pecahkan
pada dinding-dinding yang mereka lubangi
pada pegangan pintu yang mereka patahkan
pada daun pintu yang mereka gambari
pada piring-piring sisa makan mereka
pada bungkus permen yang mereka lemparkan
pada belahan apel yang mereka sisakan
pada lebihan air yang mereka tumpahkan
kemana saja
mataku memandang
aku selalu
melihat mereka
bagaikan
sekumpulan burung dara yang terbang melayang
kemarin
mereka singgah di Kornail
sekarang
mereka berada di Halab
Air mataku yang aku tahan dengan tabah
ketika mereka bertangisan saat mereka pergi
hingga ketika mereka bertolak
mereka telah merenggut jantung dari rongga
dadaku
kudapatkan diriku bagaikan seorang bocah
yang penuh dengan perasaan
air mataku jatuh tertumpah bagaikan air bah
kaum wanita
akan merasa heran
bila melihat
seorang lelaki menangis
namun lebih
heran lagi jika aku tidak menangis
tak
selamanya tangis itu cengeng
aku seorang
bapak
aku punya
keteguhan sebagai kaum lelaki
Itulah
kejujuran ungkapan cinta dan kerinduan seorang ayah. Begitu juga contoh rumah cinta bagi beliau. Bukan rumah
yang rapi disebabkan ketatnya aturan orang tua pada anak. Mungkin sedikit
berantakan, dengan dinding yang bergambar lukisan tangan si kecil. Anak-anak
sering menjadikan lantai dan dinding rumahnya sebagai kanvas. Bahkan perabot
rumah. Mungkin kaca yang pecah atau air membasahi karpet. Tetapi beliau melihat
semua ‘jejak- jejak’ putranya dengan sayang dan kerinduan. Itulak ‘jejak
cinta’.
Dan kita,
bagaimana melihat “jejak cinta” anak-anak kita?
Anak-anak hanya ingin bermain. Belajar melalui bermain. Mari berikan ruang yang cukup untuk eksplorasi mereka, sekaligus mengajarkan tanggungjawab sejalan dengan usianya. Dan “jejak cinta’ mereka, kelak menjadi kenangan yang kita rindukan.
Ah, saya jadi ingat. Dulu sewaktu saya dan kedua adik masih kecil, sepertinya umur sebelum TK. Ibu dan Bapak membiarkan kami menghias dinding seluruh rumah. Menghias ala anak TK tentunya, jadi merupakan gambar oret-oretan yang malah merusak pemandangan rumah. Hebatnya, setiap kali ada tamu yang datang, kemudian berkomentar betapa kotornya dinding rumah kami, Ibu bukannya malu, tetapi selalu sigap menjawab: itu bukan kotor, tetapi karya seni. kami punya tiga pelukis handal di rumah
ReplyDeleteAh, kangen!
senangnya punya ayah ibu yang luar biasa...jadi beginilah anaknya bisa jadi blogger
Deletesaya pun memberi mereka ruang untuk berskspressi mbak, walau tetap ada aturan yg harus mereka patuhi, yakni: bereskan sendiri mainan mereka, atau mainannya saya buang saja, karena mereka tidak menghargai milik mereka sendiri. alhamdulillah sih, berhasil. kadang saya sengaja belikan peralatan dan bahan-bahan untuk crafting mereka. snagat membantu untuk tumbuh kembang mereka serta melatih otot motorik dan ketrampilan mereka.
ReplyDeletemama yang hebat nih...semoga ananda tumbuh menjadi anak yang bertanggungjawab
Deletemasa kanak-kanak memang masa yg tak terlupakan, memberi ruang untuk anak bermain menikmati masa kanak2 mereka sekaligus belajar bertangung jawab, rumah saya juga mak berantakan namun adik saya yg bungsu jg belajar merapikan kmbali mainannya stlah bermain...nice share :)
ReplyDeletesiip setujuu
Deletebetul sekali bu,, rumah kami dulu juga seperti itu, banyak coretan di temboknya.. lantai rumah pun berubah jadi gua,, soalnya lantainya dari tanah.. alhamdulillah, kami berkesempatan menikmati masa kanak-kanak tersebut dengan baik.. hehe
ReplyDeletesetiap masa bisa menjadi saat ang menyenangkan ya Utari
DeleteSaya menjadikan rumah saya ramah anak, ada coretan dan mainan berserakan. Tapi ketika ia sudah tidur, saya rapikan lagi mainannya. Kalau belum tidur, belum dirapikan mak:)
ReplyDeletehihi entar kalau anak sudah agak gedean bisa bantuin emaknya beresin ya...
Deleteselalu seneng mbaca tulisan Mak Ida :D
ReplyDeletedan di rumah kami, banyak sekali jejak cintanya hehe
jejak cinta oohhh
DeleteSuper makjlebb mbak.. :')
ReplyDeleteSaya termasuk yg membiarkan rumah berantakan.. karena masa2 ini tak kan selamanya.Saya sadar se-sadar2nya bahwa suatu saat nanti saya akan merindukan mainan yg berserakan ,remah roti dimana-
mana,dan semua tingkah polah anak2.
Tapi ada kalanya stress jg lihat rmh ngg pernah rapi,hehe..
Nice article mb , tfs dan salam kenal ^^
salam kenal...senang dikunjungi dan memang mak jlebb hihi
Deleteaaah jadi keingetan rumahku yang rapi hanya saat anakku tidur.... tapi senang, itu pertanda ada orang yang aku sayangi di rumahku... :))
ReplyDeleteitulah bunda kanaya...jejak cinta
Deletekalau saya biasanya boleh main dalam satu ruangan, tapi kalau mau ganti permainan syaratnya harus dirapikan terlebih dahulu. Sebelum tidru saya suruh mereka merapikan juga :)
ReplyDeletesiip mama yang rapi nih
Deletekl saya mah kemproh mak...yo ben lah dibilang gitu. rumah tuh br bs diberesin habis anak2 mandi sore sekitar jam 16 gitu deh. sblum itu ya jgn tanya. jd kl suami pulang sblm maghrib n lihat rumah belum rapi, ya maaf, salah sendiri pulangnya kecepetan...hehehe
ReplyDeleteasyiik punya emak yang santai kayak aku hihi
Delete