Pages

Monday, September 21, 2015

Idhul Adha, Kapan?

Idul Adha dan Ibadah Haji: Kapan?

Sekalipun setiap tahun umat Islam selalu merayakan hari raya Idul Adha, ternyata masih banyak pertanyaan di lapangan: apakah hari raya Idhul Adha tidak ada hubungannya dengan ibadah haji yang sedang berlangsung di kota Makkah? Dengan kata lain, apakah orang-orang Islam yang tidak melaksanakan ibadah haji tidak mesti melaksanakan Idul Adha di hari yang sama dengan yawmun nahr? Atau malah sebaliknya bahwa Idul Adha adalah merupakan solidaritas umat Islam yang tidak berhaji terhadap sauadaranya yang sedang berhaji? Lalu bagaimana dengan puasa Arafah? Apakah umat Islam dalam berpuasa tidak harus tepat pada hari Arafah atau harus menyesuaikan dengan pelakasanaan wukuf di Arafah? Lalu bagaimana dengan ikhtilaful mathaali’ (perbedaan terbitnya bulan)? Apakah ru’yatul hilal tidak menjadi persyaratan untuk Idul Adha, atau itu persyaratan seperti dalam pelaksanaan Ramadhan?

Pertanyaan ini sangat penting untuk dijawab, sebab perbedaan umat Islam dalam melaksanakan Idul Adha adalah karena perbedaan persepsi dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Banyak orang Islam di berbagai negara tidak bisa melaksanakan Idul Adha di hari yang sama karena perbedaan pemahaman dalam menyikapi pertanyaan-pertanyaan di atas. Ada yang melihat bahwa untuk Idul Adha harus ru’yah, maka puasa Arafah tidak harus sama dengan hari wukuf, begitu juga Idul Adha tidak harus sama dengan yawmun nahr. Ada yang melihat bahwa puasa Arafah dan Idul Adha adalah solidaritas terhadap Umat Islam yang sedang berhaji, maka ia harus dilaksanakan di hari yang sama dengan wukuf dan yaumun nahr.


Sebelum menjelaskan hakikat ini, sangat penting untuk diketahui terlebih dahulu bahwa baik puasa Arafah maupun pelakasanaan Idul Adha kedudukannya dalam fikih Islam adalah sunnah. Sementara menegakkan persatuan dan membangun keharmonisan sesama umat Islam adalah wajib. Maka sungguh tidak benar jika demi yang sunnah lalu yang wajib dikorbankan. Ini yang hampir setiap tahun seringkali diabaikan oleh umat Islam. Padahal menegakkan hari raya di hari yang sama –terutama bagi umat Islam yang negaranya sama– adalah suatu keniscayaan sebagai bukti kesatuan dan keharmonisan. Oleh karena itu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas saya akan meninjau dari dua sisi: pertama, dari sisi fikih Islam dan kedua, dari segi fikih persatuan.

Perspektif Fikih Tentang Idul Adha

Sekalipun sebagian ulama berpendapat bahwa Idul Adha adalah ibadah independen dari ibadah haji, karenanya tidak harus dilaksanakan sama dengan waktu ibadah haji, pun karenanya tanggal pelaksanaan harus sesuai dengan bulan setempat, namun pendapat yang lebih kuat adalah bahwa ibadah Idul Adha merupakan ibadah solidaritas terhadap para hujjaj di tanah suci. Artinya, ketika mereka wukuf, kita disunnahkan berpuasa. Dan ketika mereka melempar jumrah aqabah, kita disunnahkan melaksanakan shalat Idul Adha. Dengan kata lain bahwa dalam pelaksanaan Idul Adha tidak harus melihat bulan seperti dalam pelaksanaan ibadah Ramadhan. Melainkan ikut saja apa yang sedang berlangsung di tanah suci dan kita melaksanakan ibadah di saat yang sama sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. Untuk menguatkan pendapat ini ada beberapa dalil yang bisa saya kemukakan di sini.

Pertama. Melihat bulan di bulan Dzuhijjah adalah untuk pelaksanaan ibadah haji. Dalam surat Al-Baqarah ayat 197, Allah berfirman bahwa ibadah haji harus dilaksanakan pada bulan-bulan tertentu. Dalam surat yang sama ayat 189, Allah berfirman, “Mereka bertanya tentang hilal. Katakan, bahwa itu merupakan tanda untuk menentukan waktu bagi manusia dan bagi pelaksanaan haji.” Ini menunjukkan bahwa ibadah utama yang harus disesuaikan dengan hilal pada bulan Dzulhijjah adalah ibadah haji. 

Jadi, umat Islam yang tidak melaksanakan ibadah haji ikut saja apa yang sedang dilaksanakan para hujjaj. Artinya, puasa Arafah atau Idul Adha disesuaikan dengan pelakasanaan ibadah haji sekalipun dari segi terbitnya bulan berbeda. Sebab, tekanan puasa sunnah Arafah dan Idul Adha bukan kepada perbedaan terbitnya bulan, melainkan kepada solidaritas terhadap para hujjaj. 

Dengan demikian umat Islam di manapun berada dalam masalah puasa sunnah Arafah dan Idul Adha, tidak perlu mempersoalkan perbedaan terbitnya bulan ihktilaful mathaali’, melainkan ikut apa yang sedang dilaksanakan para hujjaj di Makkah. Begitu mereka wukuf di Arafah, umat Islam di seluruh dunia berpuasa sunnah Arafah. Dan begitu mereka melempar jumrah Aqabah, maka umat Islam di manapun berada melaksanakan Idul Adha. Karenanya bagi para hujjaj tidak disunnahkan puasa Arafah dan shalat Idul Adha, sebab mereka sedang melakukan ibadah haji.

Kedua. Berbeda dengan Ramadhan di mana Rasulullah saw. sangat tegas dalam haditsnya: suhuumuu li ru’yatihii wa afthiruu li ru’yatihi. Artinya, untuk memulai puasa Ramdhan harus dengan ru’yah. Dalam konteks ini kemungkinan timbulnya perbedaan tidak bisa dihindari, karena alasan ikhltalaful mathali’. Toh sekalipun di sisi lain ada kalangan ulama yang berprinsip sebaliknya. Mereka mengatakan yang lebih kuat adalah bahwa di muka bumi ini seharusnya ada keseragaman. Kalau ada satu orang di satu titik di permukaan bumi melihat hilal, maka semua orang seluruh dunia harus ikut terhadap apa yang dilihatnya. Dalam hal puasa sunnah Arafah dan Idul Adha tidak demikian. Karena teks hadits yang mengharuskan ru’yah secara khusus untuk puasa Arafah dan Idul Adha tidak ada. Karenanya banyak para ulama memahami bahwa untuk ibadah bulan Dzulhijjah baik puasa sunnah Arafah maupun Idul Adha itu lebih merupakan solidaritas terhadap para hujjaj di tanah suci.

Ketiga. Hal lain yang menguatkan bahwa Ibadah Idul Adha lebih berupa ibadah solidaritas terhadap para hujjaj adalah, bahwa bertakbir pada hari Idul Adha menurut ijma’ hukumnya sunnah dikerjakan setiap selesai shalat sejak selesai shalat Zhuhur pada hari raya Adha sampai selesai shalat Subuh atau Ashar pada akhir Hari Tasyriq. Imam Syafi’i mengatakan, “Ini karena solidaritas terhadap para hujjaj (tabi’an lil hujjaj).”[1] Imam Ibnul Araby dalam tafsirnya Ahkamul Qur’an menegaskan hal yang sama mengenai takbir bahwa itu adalah solidaritas terhadap para hujjaj (tabi’an lil hujjaj)[2]. Imam As-Srakhsi dalam bukunya Al-Mabsut menguatkan hal yang sama, bahwa takbir itu disunnahkan sampai akhir Hari Tasyriq adalah karena solidaritas terhadap para hujjaj (tabi’an lil hujjaj)[3].

Keempat. Imam Al-Qurthuby mengatakan bahwa khithab untuk berkurban dalam Al-Qur’an sebenarnya untuk para hujjaj. Adapun umat Islam yang lain di seluruh dunia disunnahkan berkurban sebagai solidaritas terhadap para hujjaj, sehingga mereka mendapatkan pahala yang sama[4]. Imam Ibn Taymiyah menegaskan, “Innadz dzbha bil msyaair ashlun, wabaqiyyatul anshaar tabi’un limakkah.“ Sesungguhnya berkurban di tanah suci itu pokok, adapun berkurban di tempat-tempat lain adalah sodaritas terhadap apa yang berlangsung di Makkah[5]. Ibn Rajab, ahli fikih dalam madzhab Al-Hanbali, mengaitkan antara pelaksanaan Idul Adha dengan gerak perjalanan jamaah haji di Tanah Suci. Dan ia menegaskan ini adalah pendapat Imam Ahmad, bahwa umat Islam di manapun berada dalam hal Idul Adha ikut jamaah haji di Makkah. 

Ibn Rajab berkata, “Wa yakuunu ta’jiilu shalaatil adha bi miqdaari wushuulin naasi min muzdalifa ilaa munaa waramyihim wadzbhihim –nashsha alaihi ahmad fii riwatin– liyakuunaa ahlal amshaar tabi’an lilhujjaj fii dzaalika, fainna ramyal hujjaji aljamrata bimanzilati slaatil iid liahlil amshaar.” Dan hendaknya pelaksanaan Idul Adha disesuaikan dengan sampainya para hujjaj dari Muzdalifah ke Mina, dan pelaksanaan mereka melempar jumrah serta menyembelih qurban –ini adalah pernyataan Imam Ahmbad menurut sebagian riwayat– adapun umat Islam selain jamaah haji di manapun mereka berada, ikut para hujjaj dalam hal tersebut. Maka ketika para hujjah melempar jumrah, pada saat itu adalah Idul Adha bagi umat Islam yang tidak berhaji di tempat lain[6].

Kelima. Dalam hadits mengenai puasa Arafah, tidak tidak disebutkan puasa sembilan Dzulhijjah, melainkan puasa hari Arafah. Abu Qatadah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya mengenai puasa Arafah, lalu bersabda, “Itu menghapus dosa yang lalu dan yang akan datang.” (HR. Muslim). Berbeda dengan puasa sepuluh Muharram, itu disebut dengan asyura (lihat HR. Bukhari). Bahkan dalam hadits lain riwayat Imam Muslim, Rasulullah bersabda, “Lain baqitu ilan qaabilin la ashumannat taasi’a.” Seandainya nanti aku masih hidup sampai tahun depan, akan aku laksanakan puasa pada hari kesembilannnya. Imam An-Nawawi dalam bukunya Riyadhus Shaalihin, menulis bab untuk hadits-hadits tersebut dengan judul: bab fadhlu shawmi yawmi Arafah wa asyuraa wa tasu’a. Ini menunjukkan bahwa untuk puasa hari Arafah ikut pelaksanaan wukuf di Arafah. 

Dalam riwayat Imam At Turmidzi Rasulullah saw. bersabda, “Yawmu Arafa wa yawmun nahar wa ayyaam mina iidunaa ahlul islaam.” Perhatikan hadits ini. Rasulullah saw. lagi-lagi tidak menyebutkan yawmut tasi’ min dzilhijjah, tetapi menyebutkan yawmu Arafah. Ini menunjukkan bahwa tekanan sunnah berpuasa hari Arafah adalah ketika para hujjaj di Makkah sedang melaksanakan wukuf.

Keenam. Berdasarkan penelitian yang sangat ketat, terhadap pendapat ulama fikih dalam berbagai madzhab –Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hanbali– semua tidak berbeda pendapat bahwa Ibadah puasa hari Arafah dan hari Idul Adha adalah sebagai ibadah solidaritas terhadap para hujjaj. Sampai-sampai dalam sebuah hadits Rasulullah saw. menganjurkan bagi yang akan berkurban hendaknya jangan sampai memotong rambut atau kuku, itu maksudnya –menurut banyak ulama– “tasyabbuhan bil hujjaji” (agar menyerupai para hujjaj).

Ketujuh. Bahwa jika terjadi kesalahan dalam melihat bulan untuk menentukan hari wukuf di Arafah –katakanlah mereka wukuf pada tanggal 10 Dzulhijjah dengan asumsi bahwa itu tanggal 9 Dzulhijjah– para ulama masih menganggap bahwa wakuf mereka sah. Ibn Hazam dalam bukunya Al Muhalla mengatakan[7]:

ومن أخطأ في رؤية الهلال لذي الحجة فوقف بعرفة اليوم العاشر وهو يظنه التاسع، ووقف بمزدلفة الليلة الحادية عشرة وهو يظنها العاشرة ـــ: فحجه تام ولا شيء عليه، لأن رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يقل: إن الوقوف بعرفة لا يكون إلا في اليوم التاسع من ذي الحجة أو الليلة العاشرة منها؛ وإنما أوجب عليه السلام الوقوف بها ليلاً أو نها راً. فصح أن كل من وقف بها أجزأه ما لم يقف في وقت لا يختلف اثنان في أنه لا يجزيه فيه.

زImam Asy Syabani Murid Imam Abu Hanifa menegaskan hal yang sama

: قال محمد : فإن اشتبه على الناس فوقف الإمام والناس يوم النحر وقد كان من رأى الهلال وقف يوم عرفة لم يجزه وقوفه، وكان عليه أن يعيد الوقوف مع الإمام لأنَّ يومَ النحر صار يوم الحج في حق الجماعة، ووقت الوقوف لا يجوز أن يختلفَ فلا يعتد بما فعله بانفراده. وكذا إذا أخر الإمام الوقوف لمعنى يسوغ فيه الاجتهاد لم يجز وقوف من وقف قبله[8]

Hal yang sama dikatakan juga dalam Syarhul Mahdzab:

قال أصحابنا: ليس يوم الفطر أول شوال مطلقا وإنما هو اليوم الذي يفطر فيه الناس؛ بدليل حديث: ((فطركم يوم تفطرون)) وكذلك يوم النحر، وكذلك يوم عرفة هوَ اليوم الذي يظهر للناس، أنه يوم عرفة، سواء كانَ التاسع أو العاشر وقال الشافعي في ((الأم)) عقب هذا الحديث: فبهذا نأخذ. قالَ: وإنما كلف العباد الظاهر، ولم يظهر الفطر إلا يوم أفطروا. انتهى.
وقال أصحاب أبي حنيفة – فيمن شهد بيوم عرفة بعرفة، على وجه لا يتمكن الناس فيه من تلافي الوقوف، على تقدير صحة شهادتهم في ذلك العام -: إن شهادتهم غير مقبولة؛ لما يؤدى إليه قبولها من إيقاع الناس في الفتنه، بتفويت حجهم[9]. ذكره صاحب ((الكافي)) – منهم

Persepektif Fikih Persatua

Tidak ada perbedaan pendapat bahwa menegakkan persatuan umat adalah wajib. Dalam ayat yang sangat terkenal Allah berfirman, “Wa’tashimuu bihablillahi jami’aw walaa tafarraquu.” Perhatikan kata wala tafarraquu. Ini menunjukkan bahwa yang Allah larang adalah perpecahan, lawan dari persatuan. Allah tidak berfirman walaa takhtalifuu, sebab berbeda pendapat adalah bagian dari sunnatullah. Tidak mungkin manusia yang mempunyai kemampuan akal yang berbeda-beda dipaksa dalam satu pendapat. Maka siapa yang menghalangi perbedaan fikih dan memaksa manusia dalam satu pendapat itu bertentangan dengan sunnatullah dan fitrah manusia. Sampai para sahabat, di saat Rasulullah masih hidup, mereka juga pernah berbeda pendapat dalam memahami teks hadits. Tetapi perbedaan itu tidak menghalangi mereka untuk bersatu. 

Dalam beberapa hadits Rasulullah saw. sering menekankan pentingnya persatuan ini termasuk dalam pelaksanaan ibadah puasa maupun kurban. Di antaranya Rasulullah bersabda, “Shawmukum yawma tashuumuun, wa adhhaakum yawma tudhahhuun, wa’arafatukum yawma ta’rifuun, warwiya: wahajjukum yawma tahujjuun.” Hari puasa adalah di saat kalian berpuasa, hari Idul Adha-mu adalah di saat kalian berkurban, hari Arafah-mu adalah di saat kalian berwukuf di Arafah. Dalam riwayat lain, dan hari haji-mu adalah di saat kalian berhaji.

Betapa indahnya ketika umat Islam, terutama pada saat Hari Raya benar-benar bersatu, sekalipun dalam dataran fikih perbedaan pendapat tidak bisa dihindari. Tetapi apapun perbedaan fikih, bila kemudian dicari titik temunya secara terbuka dan lapang dada, pasti akan sampai kepada pendapat yang lebih kuat. Kalaupun masing-masing pendapat sama-sama kuat pasti –bila ditinjau dari persepektif fikih persatuan– akan mencapai titik saling bersinergi dan saling memahami, lalu kemudian disimpulkan bahwa ikut yang mana saja sama-sama benar. Pada saat seperti inilah menegakkan persatuan pasti akan diutamakan. Sebab ibadah membangun persatuan adalah kewajiban setiap umat Islam, apapun madzhab dan golongannya.

Sekarang bukan saatnya lagi umat Islam mencabik-cabik dirinya hanya karena perbedaan fikih. Marilah segera pindah ke babak sejarah baru, yaitu bersatu dalam satu barisan, sekalipun berbeda pendapat, madzhab, dan golongan. Sebab, bagaimanapun semasih bernama umat Islam, pasti Ka’bahnya sama, Rasulnya sama, dan Allah yang disembah juga sama. Lebih jauh –bila dikaitkan dengan ibadah Idul Adha yang secara hukum fikih kedudukannya hanya sunnah muakkadah– benarkan secara syariah, hanya demi yang sunnah kita harus mengorbankan yang wajib? Wallahu a’lam bishshawab.

New York, 17 Desember 2007
Dr. Amir Faishol Fath
— Catatan Kaki —
[1] Lihat Al Khazin, Tafsir Al Khazin, Al Baqarah ayat 202.
[2] Lihat Ibnul Araby, Ahkamul Qur’an.
[3] Lihat Al Sarkhasi, Al mabsut, 2:42.
[4] Lihat Tafsirul Qurthuby, 12:41. Teks pernyataan Al Qurtuby: “liannal haaj innamaa huwa mukhathab fil ashl bil hadyi, faidzaa araa ayyudhahhiya ja’alahu hadyan, wan naasu ghairul haaj innamaa umiruu bil udhhiyah liyatshabbahuu bi ahli mina fayahshul lahum hadzdzun min ajrihim”.
[5] Ibn Taymiyah, Majumu’ fatawa, 24:221.
[6] Lihat Fathul Bari, Syarah Sahihul Bukhari, Babul Idain.
[7] Ibn Hazam, Al Muhalla 5:150.
[8] Al Kasani, Badai’us Snai’ 2:189
[9] Fathul Bari
Copas

No comments:

Post a Comment