Saya menyebut ibu mertua dengan panggilan sayang: eyang.
Sama dengan saya memanggil ibu saya sendiri.
Dan memang perasaan pada ibu mertua, tak seujung rambutpun berbeda dengan perasaan pada ibu kandung saya.
Eyang, adalah perempuan yang melahirkan dan membesarkan 8 anak. Suamiku anak ke 6.
Beliau juga ibu bekerja. Tentu tak mudah melakoninya bersamaan. Kisah jatuh bangunnya menjadi catatan sejarah keluarga yang sekarang terasa manis untuk dikenang..
Eyang berpulang dengan persiapan yang matang. Kain kafan dan semua biaya pengurusan jenazah hingga berbagai prosesi setelahnya, telah beliau persiapkan. Beliau tidak secuilpun meninggalkan hutang. Justru meninggalkan berbagai hal.
Warisan keteladanan adalah yang paling berharga. Gemi, setiti, ngati-ati, tapi berpadu dengan kedermawanan yang tak terukur.
Saya ingat petuahnya pada saya ketika saya pindah dari rumah kontrakan pertama. Waktu itu saya menanam pohon mangga, belum lagi berbuah, dan harus merelakannya tak dapat dibawa pindah.
"Waah, tanam pohon dan belum panen, sudah keburu pindah" kata saya.
Bibit pohon mangga setinggi 1 m itu sengaja kami beli. Dalam waktu hampir setahun, tingginya hampir 2 m. Tapi butuh 2-3 tahun lagi untuk berbuah. Saya menatap pohon itu dengan sedih.
"Jika setiap orang berpikir seperti itu, tak ada orang mau menanan pohon mangga. Sekarang kita memakan panenan buah-buahan itu karena kakek nenek yang menanam."
Saya tercekat.
Dalam kemudaan tahun pertama pernikahan, dan merasa memiliki satu aset berharga bernama pohon mangga, seolah saya dibangunkan oleh ibu mertua.
"Menanam itu, tak harus berfikir memanen. Biarlah anak cucu kita yang akan memanen.Tugas kita menanam saja. Bukankah kita menikmati hasil tanaman pendahulu kita?"
Saya menginsyafi kesalahan. Bersyukur punya ibu mertua yang bijak.
Kulihat warisan kebaikan itu, ada pada lelaki di sampingku. Lelaki yang lahir dari perempuan mulia, dari ibu mertuaku.
No comments:
Post a Comment