Pages

Monday, June 10, 2019

Keterbukaan

Keterbukaan

By. Ida Nur Laila

Siang hari itu aku bertemu dengan seorang perempuan yang sedang terpuruk secara mental. Dalam kemarahan dan linangan air mata, ia mengadukan suaminya yang selama beberapa bulan dianggapnya membohonginya.

"Dia sudah menganggur selama ini, kenapa tidak bilang saya? Baru beberapa hari yang lalu ia mengaku!"
Sang suami telah berhenti dari salah satu pekerjaannya karena satu dan lain hal, namun ia tak bilang pada istrinya. Ia berlaku biasa, berangkat kerja dan memberi nafkah bulanan tanpa kurang. Rupanya ia memberi nafkah dengan uang tabungan. Semakin lama tentu menipis dan habis. Sementara di pekerjaan satunya belum memberikan hasil seperti yang diharapkan.

Esoknya saya sengaja bertemu dengan sang suami untuk mengetahui versi suami.
"Sengaja saya tidak bilang dari awal bu. Saya tahu istri saya tidak akan siap. Tadinya saya berfikir sambil mencari solusi, saya simpan masalah ini. Harapan saya, saya dapat sumber pemasukan baru yang kurang lebih sama, barulah akan saya beritahu istri saya. Namun belum sampai itu terjadi, istri keburu tahu karena mengecek rekening saya yang terus menipis."
Tak ada maksud buruk saat ia berbohong pada istri, justru maksud baik, namun tetap saja, dibohongi itu menyakitkan.

Dalam berbagai versi, kami menemui ketidak jujuran diantara suami istri. Beberapa dengan maksud baik, namun dengan cara yang salah.

Dalam kasus lain, sang istri menanam saham dan berkongsi pada sebuah usaha, atas ijin suami. Namun usaha itu bangkrut dan sisa modal dilarikan mitranya. Istri takut berterus terang pada suami, maka ia meminjam uang pada rentenir untuk tetap bisa seakan menerima bagi hasil dari temannya. Saking pandainya istri menyimpan, kejadian ini tersimpan selama 2 tahun. Sembari istri terus berangkat kerja, namun sebenarnya ditempat lain yang jauh lebih kecil hasilnya.
Persoalan muncul dan menjadi mengerikan karena acara pinjam ke rentinir, gali lobang tutup lobang itu telah membengkak hingga angka milyaran.
Bau masalah sudah tak dapat ditutupi, mereka harus merelakan menjual rumah dan itupun tak cukup untuk menutup hutang. Sedihnya, problem demikian berbuntut pada keutuhan tangga.

Keterbukaan, ternyata sesuatu yang tidak mudah dalam rumah tangga. Rasa tidak enak, takut menyakiti, akhirnya memilih bungkam dan menanggung masalah sendiri, ternyata bukanlah hal yang tepat.

Bagaimanapun, musyawarah adalah arahan Allah untuk maslahat kehidupan orang yang beriman.
“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka” [Asy-Syuura/42 : 38].
Musyawarah tentu menghajatkan keterbukaan agar bisa mengambil keputusan yang terbaik, jika masih ada yang disimpan, tentu akan membawa pandangan yang kurang pas.

Apakah berdusta antara suami istri dibolehkan?

Saya penggalkan artikel dalam Republika online:
Berdusta dalam rumah tangga ini disampaikan Amirul Mukminin Umar bin Khattab RA. Saat ia ditanya istri Ibnu Abi ‘Udzrah tentang apakah boleh seorang wanita berdusta lantaran diminta bersumpah oleh suami? Umar menjawab seseorang itu boleh berdusta, termasuk jika seorang istri tidak menyukai hal-hal tertentu kepada suami, ia boleh tidak jujur kepadanya.
Namun, batasan berbohong dalam rumah tangga, yaitu bohong yang tidak menggugurkan kewajiban pihak masing-masing. Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan  bahwa ulama sepakat jika yang dimaksud bohong antara suami-istri yang diperbolehkan, yakni bohong yang tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya.

Hukum berbohong dalam kondisi sebagai satu-satunya jalan keluar juga bertingkat. "Jika tujuannya mubah maka berbohong juga mubah, jika tujuannya wajib maka berbohong juga wajib," tulis Imam Nawawi.

Kaidah yang dipakai dalam hal ini, yaitu hadis riwayat Muslim dari Ummu Kultsum. Ummu Kultsum berkata, "Aku tidak pernah mendengar Beliau SAW memberi keringanan tentang suatu pembicaraan orang-orang dusta, kecuali dalam tiga hal. Yakni, peperangan, memperbaiki hubungan antarsesama, serta pembicaraan seorang suami kepada istrinya dan seorang istri kepada suaminya."

Dalam hal ini, maka diperbolehkan dalam hubungan keluarga seorang istri memilih berbohong kepada suaminya. Sebab, jika dengan jujur justru akan mendatangkan madharat yang lebih besar.

Syekh Yusuf Qaradhawi juga menegaskan alangkah tidak bijaksananya seorang istri menceritakan terus terang kepada suami, misalnya kisah cintanya pada masa lalu yang telah dihapuskan dan ditutup aibnya. Bahkan, jika seorang suami memaksa istri untuk bersumpah guna menceritakan masa lalunya, Syekh Qaradhawi memandang paksaan suami tersebut tidak bijak. Pertama, karena mengungkit masa lalu termasuk tindakan yang sia-sia. Kedua sumpah tersebut tidak akan menyelesaikan masalah rumah tangga itu.

Baiklah, dua kasus yang saya angkat diatas, tentulah bukan termasuk bohong yang dibolehkan. Pada kasus peertama, karena istri yidak tahu, maka ia tak merubah gaya hidupnya. Juga tak sapat membantu suami baik dengan usaha dan doa.
Dalam kasus kedua apalagi. Istri mengaku "berkorban' karena gakut dimarahi suaminya. Namun ternyata pengorbanan tersebut membawa lebih banyak lagi korban. Apalagi sampai bermakshiat dengan terlibat riba.

Mari meyakini arahan Allah, sebab hidup berumah tangga akan menjadi berkah saat menjalankan saja kaidah-kaidah agama. Keterbukaan mungkin berat dan menyakitkan untuk sesaat, namun akan lebih baik untuk jangka panjang.

Mari membangun keluarga dengan keterbukaan dan musyawarah untuk keindahan cinta dunia akhirat.

No comments:

Post a Comment