Oleh :
Ida Nur Laila
Pada
postingan terdahulu, saya telah menceritakan soal toilet di Mina. Pada
postingan kali ini, saya akan ceritakan tentang toilet di Arafah dan
Muzdalifah. Beberapa postingan ke depan, saya masih akan menceritakan soal
toilet di tanah suci.
Toilet Arafah dan Muzdalifah
Mungkin
menyangkut toilet ini bagian dari ujian keshabaran saat berhaji. Saat di
arafah, dalam satu maktab hanya ada satu lokasi tolet. Saya tidak ingat jumlah
persisinya. Tapi mungkin sekitar 10 untuk putra dan 10 untuk putri. Bayangkan
jika penghuni maktab sekita 3000 orang.
Setiap
kali antrian minimal 8-10 orang. Jika tidak beruntung bisa antri 15 orang.
Keadaan kebersihannya juga hmmm...
Mungkin
cleaning service tidak sempat membersihkan kerena padatnya pengunjung. Memang
jumlah air sangat mencukupi. Namun di dalam toilet banyak jamaah yang
meinggalkan pembalut bekas dan pantiliner bekas di dalam toilet. Aku pernah mendapat cerita dari iparku,
seorang dokter. Pada saat beliau berhaji tahun kemarin, ia dan teman-temannya, pada dokter melakukan
gerakan kebersihan dengan memunguti sampah dalam toilet dan membuangnya dalam
tong sampah di luar toilet. Dalam toilet memang tidak disediakan tempat sampah.
Aku mengikuti amal sholih mereka, namun aku
merasa tidak enak mengajak jamaah yang lain. Jadi berbekal kantung plastik,
kupunguti sampah pembalut di toilet. Satu kamar kecil sampahnya ada satu kresek
besar. Beberapa orang yang mengantri heran dan berterima kasih lantaran
kutinggalkan toilet dalam keadaan bersih.
Saya
sarankan jika anda berhaji, diantara bekal memasuki toilet adalah dua tas
kresek yang kita siapkan untuk memunguti sampah dalam toilet. Pastilah anda
merasa lega, orang lain merasa senang. Semoga yang demikian menambah amal
sholih anda, amin.
Pernah
pada siang hari yang terik, jam 11 siang menjelang saat wukuf, antrian ada 12
orang tiap pintu toilet. Seorang ibu tiba-tiba datang dan maju kedepan.
Bertanya pada orang di depanku yang berdiri dalam urutan pertama.
“ Ibu
mau BAK atau BAB..?”
Orang
yang di depanku bingung. Sejak dari awal ia mengantri, ia selalu memegangi
perutnya dan antri dalam berbagai posisi. Jongkok, berdiri, jongkok lagi,
berdiri lagi. Rupanya sakit perutnya tak tertahan. Karena kesopanannya ia tidak
mengeluh dan hanya mengantri sambil kesakitan. Aku sampai jatuh kasihan
kepadanya.
Maka
saat mendapat pertanyaan dari orang yang baru datang, ia malah bengong sambil
tetap meringis menahan sakit perut. Aku maklum dengan keheranannya, maka aku
yang menjawab pertanyaan itu.
“ Ibu
ini mau BAB, beliau seudah kesakitan dari tadi...”
“ O
kirain mau kencing saja. Kalau cuma kencing saya mau barengan...karena saya
cuma mau kencing”
“ Maaf
ibu, bukankah kita sedang berihram, jadi jangan menampakkan aurat dengan buang
air bersama-sama. Saya sarankan ibu mengantri dari belakang karena semua orang
ini juga cuma kau kencing...” aku berusaha menjelaskan dengan sopan. Semua
jamaah yang sedang mengantri mengangguk-angguk membenarkan. Maka berlalulah ibu
tadi.
Kubayangkan
bagaimana bisa satu kamar dipakai berdua, sedangkan begitu pintu dibuka, telah
menganga lubang wc. Ruangan toilet ini mungkin tidak sampai 1x1m2, walaupun aku
tidak mengukurnya.
Separah
apapun toilet di Arafah harus disyukuri, dan
harus lebih bershabar saat di Muzdalifah. Di Muzdalifah lokasi toilet yang di pinggir jalan kawasan
pedestrian, dipakai oleh jamaah yang tidak menempati lokasi mabit yang
resmi. Haji non kuota maupun kuota. Antrian
paling sepi sekitar jam 24.00, kira2
antrian hanya 6 orang untuk satu pintu toilet. Jumlah toilet juga hanya
5 untuk putra dan 5 untuk putri.
Jika di
Mina dan Arafah satu maktab hanya dihuni oleh orang Asia Tenggara seperti
Indonesia, Malaysia, Brunai, Tailand..maka saat di Muzdalifah, bertemulah kita
dengan berbagai bangsa.
Berbagai
bangsa dan negara juga berbagai karakter dan adat kebiasaan.
Dalam
mengantri toilet, ada ras tertentu yang suka menyerobot. Walaupun mereka
melihat kita berbaris rapi, dengan tanpa perasaan menyelonong saja. Waah sedang
berhaji gitu loh...
Tapi
mengingat motto kita dulu...Allahumma ra popo. Jadi tidak perlu dimasukkan ke
hati, apalagi marah. Jika anda berada dalam sebuah antrian yang tidak tertib,
maka pindah saja ke antrian yang lebih tertib.
Ada
juga yang menyarankan jika memang anda adalah orang yang tidak bisa menahan
buang air, maka memakai popok disposibel lebih baik. Kadang perjalanan pendek
antara mina ke Arafaj, Arafah ke Muzdalifah atau Muzdalifah ke Mina, biasa
menjadi sangat lama lantaran macetnya jalanan. Saat demikian maka popok diapers
bisa menjadi jalan keluar darurat. Beberapa orang sengaja memakainya. Dan ketika
enggan antri di Muzdaliofah, mereka berusaha buang air dalam popok. Namun yang
terjadi ternyata tidak bisa juga sengaja ‘mengompol’...jadi tetap juga harus
bershabar mengantri...
Insya
Allah semua yang shabar akan mendapat giliran.
Jika
mengantri, maka mengantrilah dengan sopan dan cerdas. Hitunglah antrian yang
terpendek. Lihatlah karakter orang yang
antri di depan kita. Jika kelihatannya orangnya telah berumur, maaf,
biasanya agak lama memakai toilet. Orang jawa bilang nunak-nunuk. Yang muda
juga banyak yang lamban. Atau banyak bawaannya, seperti mau ganti baju dan
sebagainya, mungkin juga lama.
Toilet
paling ujung atau paling dalam biasanya juga pendek antriannya. Pilih juga yang
kondisi toiletnya mendingan, misal pintunya bisa dikancing, saluran air tidak
mampet, tempat ngantrinya tidak becek...ah ada-ada saja ya sarannya..
Kira-kira
hanya seperti itulah kondisi terburuknya. Bukankah di tanah air kita banyak
mendapati kondisi yang lebih buruk. Bahkan banyak orang tidak punya toilet dan
melakukan aktivitas panggilan alam di toilet terpanjang alias sungai...
Untungnya
di tanah suci tidak ada sungai, jadi tidak ada toilet terpanjang...
Bersambung.
ibu nur ini lucuuuu, kalimatnya asyik....thanks
ReplyDeleteBagi laki2 ada kantong kencing dari semacam kertas cari tempat lindung ser2 trus tutup buang di tempat sampah
ReplyDelete