Bersama
para Nenek (3)
Oleh :
Ida Nur Laila
Seminggu
sebelum kepulangan ke tanah suci, saya mendapat tamu bulanan. Saat itu hari pertama sampai di
Mekkah sepulang kami dari Madinah. Saya menjadi cemas, siapakah nanti yang akan
bersedia membersamai nenek saat pergi ke masjid untuk berjamaah sholat.
Situasi
di Mekkah sungguh berbeda dengan di Madinah. Hotel Madinah Al-Mubarok lebih
simpel dibandingkan hotel Daar Al-Eiman yang ada di Asshofwa tower. Sekalipun halaman
hotel persis di depan masjid, namun jika salah ambil pintu keluar masjid, tentu
tidak mudah mencarinya. Hotel kami ini
persis di depan pintu King Abdul Aziz. Sudah sampai di halamanpun, jika salah
ambil jalan, mungkin justru masuk ke Grand Zam-zam atau ke Rumah sakit, karena
pintunya cuma berdampingan. Hal ini sempat terjadi pada beberapa jamaah.
Sudah
masuk ke hotel pun, lorong menuju kamar sungguh banyak. Belok kanan, belok kiri
dan memakai lift, jumlah lift juga
sangat banyak. Bahkan sampai di kamarpun, nenek ini tidak berani tinggal sendirian.
Waah.
Allah
Maha Pemurah, saat itulah kami berseberangan kamar dengan jamaah dari Jakarta,
namanya juga sama denganku. Kak Zubaida, biasa dipanggil Ida, pada hari saya
mendapat tamu bulanan, beliau baru saja suci dari bulanannya. Jadi beliaulah
yang mengambil alih peran saya, membersamai nenek. Saya berlinang air mata
mendengar ketulusan mbak Ida menolong nenek.
Beliau
bercerita, bahwa seharusnya pada saat ini beliau pergi berhaji bersama ibu
mertuanya. Namun Allah telah memanggil ibu mertuanya ke Rahmatullah, sehingga
beliau berhaji sendirian. Dengan membersamai nenek, beliau merasa inilah
baktinya pada ibu mertuanya yang kebetulan secara fisik juga sangat mirip
dengan nenek. Subhanallah.... Bahkan Kak
Ida mendorong nenek melaksanakan thowaf saat umrah, di lantai dua dengan menggunakan
kursi roda milik hotel.
“ Di
sini saya dapat dua anak, Ida dari Jogja dan Ida dari Jakarta...” kata nenek
menyebut kami.
Saya
sangat senang berteman dengan ibu Nur dan juga kak Ida. Semoga persaudaraan
kami berlanjut hingga di akhirat dalam syurgaNya, Insya Allah, amin.
Nenek
yang lain adalah sepasang nenek dari Kalimantan. Nenek Patimah dan nenek Salmah
ini adalah dua orang yang berbesanan. Anak lelaki nenek Patimah menikah dengan
anak gadis nenek Salmah. Nenek Patimah tinggi dan agak kurus. Menurutku agak
mirip dengan ibu mertuaku. Nenek Salmah berpostur sedang dan memakai kaca mata.
Usianya sedikit lebih muda, menurut perkiraanku. Agak mirip dengan ibuku dari
sisi perawakan. Melihat mereka berdua, aku membayangkan ibuku dan ibu mertua
jika mereka pergi berhaji berdua.
Kedua
nenek ini menjadi tetangga kamarku saat di hotel di Madinah. Dua shahabatku,
mbak Awie dan mbak Retna, sekamar dengan mereka. Oleh karena itu aku sering
mengunjungi kamarnya. Dua nenek ini sungguh hebat, mereka sangat bersemangat
dalam menunaikan ibadah. Walaupun mereka tidak bisa bahasa Arab, tidak tahu
bagaimana cara naik lift, cara pergi ke masjid, cara kembali ke hotel, namun
keduanya selalu bersiap sholat jamaah ke masjid.
Saat
dua rekanku belum siap berangkat, mereka selalu telah rapi dan siap ke masjid
lebih awal. Jika tidak diantar teman kami, mereka akan menunggu di lorong,
dekat lift untuk mencari teman berjalan menuju ke masjid. Kadang aku yang menemukan
mereka menunggu, jadi kuantar mereka ke masjid. Demikian pula saat akan kembali
ke Hotel, mereka akan menunggu di pintu gerbang masjid, mencari teman dengan
atribut yang sama, lalu mengikutinya sampai ke Hotel. Begitulah setiap hari,
dan mereka tidak pernah tersesat.
Dua
nenek ini sedikit bicara tapi banyak beramal sholih. Kamar mereka selalu rapi,
barang bawaan mereka tidak banyak, dan mereka selalu punya waktu untuk
beribadah. Dua shahabatku menceritakan kekaguman mereka pada dua nenek yang
sangat mandiri. Saat thowaf dan sa’i, dua nenek ini berjalan dengan cepat tanpa
mengeluh sama sekali. Mereka selalu bergandengan, tanpa banyak bicara.
Saya
mendapat kisah mengharukan tentang perjalanan panjang mereka ke Tanah suci.
Tahun 2009, berdua mereka mendaftar haji plus pada sebuah travel haji. Sudah
dinyatakan mendapat jatah berangkat, dan melakukan berbagai persiapan. Dari
mengurus administrasi, periksa kesehatan, mengepak barang dan pamitan kepada
keluarga, tetangga dan handai tolan.
Namun
apa yang terjadi, mereka hanya terbang sampai Jakarta. Bersama dengan beberapa
orang lainnya, dua nenek ini tidak sampai ke Tanah suci. Travelnya bermasalah
dalam pemberangkatan mereka. Selama 21 hari mereka hanya ditampung di Jakarta.Tiap
hari hanya beribadah dan menangis sedih. Sedih, malu dan menyesal.
Akhirnya mereka
kembali ke kampung halaman bersamaan dengan kepulangan jamaah haji. Tentu
dengan sedih dan malu tak terkira. Kedua nenek itu berusaha ikhlash. Uang
mereka dikembalikan. Pada tahun 2010, mereka berdua berangkat umrah dan kini
2011, Alhamdulillah dapat pergi berhaji dengan travel bersamaan dengan kami.
Kedua nenek sangat bersyukur. Itulah sebabnya mereka sangat bersemangat
beribadah dan tak pernah mengeluh. Bahkan saat nenek Patimah sakit, beliau
hanya diam saja, tidur berbaring tanpa pernah mengeluh.
Bersambung.
Saya nangis baca postingan yang ini bu... subhanallah!!!
ReplyDelete