Pages

Saturday, January 14, 2012

Yang Kualami di Tanah Suci (28)


Bersama para Nenek (4)
Oleh : Ida Nur Laila

Sungguh mereka adalah nenek yang penurut. Jika bersama kami pergi ke masjid, mereka menurut diajak menempati shof di sisi manapun. Kalau kami ajak masuk ke dalam, mereka menurut. Ketika kami ingin mengambil shof di halaman, lantaran ingin mengambil foto-foto masjid kala senja hari, mereka juga menurut.
Saya menawari dua nenek jika mereka mau, saya antar dulu ke dalam masjid, nanti jika kami akan pulang akan kami jemput ke dalam. Nenek memilih untuk bersama kami melaksanakan jamaah sholat maghrib dan isya di halaman. Kami khawatir nenek sakit,lantaran angin malam dan dinginnya udara sangat terasa. Namun sekali lagi, dua nenek hebat ini tidak mengeluh kedinginan.
Beruntungnya kami, karena kami jadi memiliki teman yang akan menunggui tempat duduk kami selama kami berkeliling mencari foto. Jadinya kami tidak akan kehilangan tempat duduk jika sholat isya telah menjelang.

Dari dua nenek ini, kami belajar keikhlasan. Belajar untuk tidak banyak mengeluh, beribadah dan bekerja dalam keheningan. Belajar untuk pantang menyerah dan sekaligus bertawakal.Belajar juga menjadi rapi dan praktis.
“ Sungguh praktis hidup dua nenek ini. Mereka hanya butuh sedikit barang untuk perlengkapan selama berhaji. Kita ini, mengapa banyak sekali barang kita...” komentar salah seorang shahabat saya.
Mereka bahkan tidak membawa kamera, jadi tidak sibuk jepret sana,jepret sini. Mereka tidak banyak berbelanja. Betul tujuannya hanyak beribadah semata. Menebus mimpi mereka yang tertunda dua tahun..
Memang kami yang muda, harus belajar banyak hal dari para nenek. Alhamdulillah kami bertemu dengan para nenek yang perkasa didalam keringkihan fisik mereka. Nenek yang ulet dalam keterbatasan pengetahuan . Namun sudah tentu para nenek ini kaya pengalaman dan kaya hati karena sudah banyak makan asam garam kehidupan.
Terima kasih para nenek yang telah menginspirasi !
Selain dua nenek dari tanah air, saya berkenalan dengan beberapa nenek dari negara lain. Suatu ketika saya mengambil shof sholat jumat di halaman masjid Nabawi. Tak jauh di depan, saya melihat mukena-mukena, eh tepatnya kerudung putih yang lebar bersablon tulisan hijau dan simbol merah dalam huruf Arab. Afghanistan !  Saya menangis  berinang air mata dengan dada penuh haru karena membayangkan para mujahidin Afghan. Seringkali selepas sholat saya berdoa :
“ Allahummansur mujaahiduuna fil afghanistan, wa mujaahiduuna fil filistin, wa mujahiduuna fi kulli makan...”
“ Ya Allah, berilah pertolongan kepada para mujahidin Afghanistan, dan mujahidin Palestina, dan para mujahidin dimanapun mereka berada...”
Saya merasa dekat dengan para pejuang Afghan dan Palestina dan pejuang Islam dimanapun mereka, melalui doa-doa saya.Maka ketika Allah mentaqdirkan saya bertemu dengan warga afghanistan, saya tak kuasa menahan diri. Saya bangkit, berkenalan, menyalami dan menciumi mereka.
Sungguh hangat sambutan mereka. Nenek-nenek cantik dari afghanistan, senang sekali diajak berkenalan. Mereka memeluk saya. Dan bergembira ketika saya mengajak berfoto. Kurasakan persaudaraan kami telah terjalin erat, bahkan sejak jauh hari sebelum kami bertemu.Barangkali inilah keajaiban doa. Allah menyampaikannya dan mendekatkan hati kami, sekalipun ketika berjumpa kami berkomunikasi dengan bahasa isyarat.
Suatu ketika saya bersebelahan duduk dengan seorang nenek dari Tajikistan. Ia memperhatikan dengan penuh minat saat saya membaca Al-qur’an. Maka saya geser mushaf Al-Qur’an ke dekatnya dan mencondongkan tubuh saya ke arahnya. Ia meminta saya menunjuk setiap ayat yang saya baca. Saya turuti keinginannya. Ia tersenyum senang. Saya minta ia gantian membaca, ia menolak dan memberi isyarat bahwa ia tidak bisa membaca. Bahkan ia tidak memiliki al-Qur’an di negara asalnya.
Saya terharu memperhatikan nenek ini. Rupanya banyak hal mungkin yang belum diketahuinya tentang Islam. Saat saya sholat malam , ia bertanya kepada kepada saya. Namun sungguh saya tidak tahu bahasa Tajikistan, negara bekas Rusia. Saya hanya mengira pertanyaannya yang diselingi dengan isyarat ruku sujud yang banyak. Saya jawab, : “qiyamullail...”
Rupanya ia tidak merasa puas. Lalu ia beralih bertanya kepada temannya yang mungkin lebih tahu, sambil menunjuk ke arah saya.
“ Dia sholat apa, kok banyak sekali ?” begitu kira-kira pertanyaannya.
“ Tahajud !” jawab temannya. Barulah ia mengangguk-angguk.
Bersambung.

No comments:

Post a Comment