Bersama
para Nenek (4)
Oleh :
Ida Nur Laila
Sungguh
mereka adalah nenek yang penurut. Jika bersama kami pergi ke masjid, mereka
menurut diajak menempati shof di sisi manapun. Kalau kami ajak masuk ke dalam,
mereka menurut. Ketika kami ingin mengambil shof di halaman, lantaran ingin
mengambil foto-foto masjid kala senja hari, mereka juga menurut.
Saya
menawari dua nenek jika mereka mau, saya antar dulu ke dalam masjid, nanti jika
kami akan pulang akan kami jemput ke dalam. Nenek memilih untuk bersama kami
melaksanakan jamaah sholat maghrib dan isya di halaman. Kami khawatir nenek
sakit,lantaran angin malam dan dinginnya udara sangat terasa. Namun sekali
lagi, dua nenek hebat ini tidak mengeluh kedinginan.
Beruntungnya
kami, karena kami jadi memiliki teman yang akan menunggui tempat duduk kami
selama kami berkeliling mencari foto. Jadinya kami tidak akan kehilangan tempat
duduk jika sholat isya telah menjelang.
Dari
dua nenek ini, kami belajar keikhlasan. Belajar untuk tidak banyak mengeluh,
beribadah dan bekerja dalam keheningan. Belajar untuk pantang menyerah dan
sekaligus bertawakal.Belajar juga menjadi rapi dan praktis.
“ Sungguh
praktis hidup dua nenek ini. Mereka hanya butuh sedikit barang untuk
perlengkapan selama berhaji. Kita ini, mengapa banyak sekali barang kita...”
komentar salah seorang shahabat saya.
Mereka
bahkan tidak membawa kamera, jadi tidak sibuk jepret sana,jepret sini. Mereka
tidak banyak berbelanja. Betul tujuannya hanyak beribadah semata. Menebus mimpi
mereka yang tertunda dua tahun..
Memang
kami yang muda, harus belajar banyak hal dari para nenek. Alhamdulillah kami
bertemu dengan para nenek yang perkasa didalam keringkihan fisik mereka. Nenek
yang ulet dalam keterbatasan pengetahuan . Namun sudah tentu para nenek ini
kaya pengalaman dan kaya hati karena sudah banyak makan asam garam kehidupan.
Terima
kasih para nenek yang telah menginspirasi !
Selain
dua nenek dari tanah air, saya berkenalan dengan beberapa nenek dari negara
lain. Suatu ketika saya mengambil shof sholat jumat di halaman masjid Nabawi.
Tak jauh di depan, saya melihat mukena-mukena, eh tepatnya kerudung putih yang
lebar bersablon tulisan hijau dan simbol merah dalam huruf Arab. Afghanistan
! Saya menangis berinang air mata dengan dada penuh haru
karena membayangkan para mujahidin Afghan. Seringkali selepas sholat saya
berdoa :
“
Allahummansur mujaahiduuna fil afghanistan, wa mujaahiduuna fil filistin, wa
mujahiduuna fi kulli makan...”
“ Ya
Allah, berilah pertolongan kepada para mujahidin Afghanistan, dan mujahidin Palestina,
dan para mujahidin dimanapun mereka berada...”
Saya
merasa dekat dengan para pejuang Afghan dan Palestina dan pejuang Islam
dimanapun mereka, melalui doa-doa saya.Maka ketika Allah mentaqdirkan saya
bertemu dengan warga afghanistan, saya tak kuasa menahan diri. Saya bangkit,
berkenalan, menyalami dan menciumi mereka.
Sungguh
hangat sambutan mereka. Nenek-nenek cantik dari afghanistan, senang sekali
diajak berkenalan. Mereka memeluk saya. Dan bergembira ketika saya mengajak
berfoto. Kurasakan persaudaraan kami telah terjalin erat, bahkan sejak jauh
hari sebelum kami bertemu.Barangkali inilah keajaiban doa. Allah menyampaikannya
dan mendekatkan hati kami, sekalipun ketika berjumpa kami berkomunikasi dengan
bahasa isyarat.
Suatu
ketika saya bersebelahan duduk dengan seorang nenek dari Tajikistan. Ia
memperhatikan dengan penuh minat saat saya membaca Al-qur’an. Maka saya geser
mushaf Al-Qur’an ke dekatnya dan mencondongkan tubuh saya ke arahnya. Ia
meminta saya menunjuk setiap ayat yang saya baca. Saya turuti keinginannya. Ia
tersenyum senang. Saya minta ia gantian membaca, ia menolak dan memberi isyarat
bahwa ia tidak bisa membaca. Bahkan ia tidak memiliki al-Qur’an di negara
asalnya.
Saya
terharu memperhatikan nenek ini. Rupanya banyak hal mungkin yang belum
diketahuinya tentang Islam. Saat saya sholat malam , ia bertanya kepada kepada
saya. Namun sungguh saya tidak tahu bahasa Tajikistan, negara bekas Rusia. Saya
hanya mengira pertanyaannya yang diselingi dengan isyarat ruku sujud yang
banyak. Saya jawab, : “qiyamullail...”
Rupanya
ia tidak merasa puas. Lalu ia beralih bertanya kepada temannya yang mungkin
lebih tahu, sambil menunjuk ke arah saya.
“ Dia
sholat apa, kok banyak sekali ?” begitu kira-kira pertanyaannya.
“ Tahajud
!” jawab temannya. Barulah ia mengangguk-angguk.
Bersambung.
No comments:
Post a Comment