Bersama
para Nenek (5)
Oleh :
Ida Nur Laila
Saya perhatikan
penampilan nenek ini, ia memakai baju muslim longdress, bermotif bunga-bunga
tulip kecil. Tidak memakai kaus kaki. Kerudungnya kain putih polos dan tidak
memakai peniti. Ia mengikatnya dengan tidak rapi. Sedikit rambut perak
menyembul dari sela-sela kerudung.
Saya
mencari peniti cadangan dalam tas paspor yang selalu saya bawa kemana-mana. Alhamdulillah dapat
satu peniti. Saya minta ijin untuk mendandaninya, nenek itu mengijinkan. Kurapikan
rambutnya yang sedikit menyembul di atas pelipis, lalu kupasangkan peniti. Ia
berterima kasih. Saya bertanya namanya, namun saya kesulitan untuk mengeja,
jadi saya tersenyum saja dan gantian menyebutkan nama.
Pagi
itu, sebagaimana pagi yang lain, saya memakai kerudung rangkap untuk mengurangi
hawa dingin, biasanya memang berlapis 3. Kerudung pertama yang biasa kupakai,
warna putih. Diluarnya saya memakai kerudung bermotif laba-laba warna hitam
putih yang saya beli di Mekkah. Di luarnya lagi saya memakai mukena seragam
travel.
Saya alergi
dingin, jika kedinginan akan bersin-bersin lalu pilek. Hal demikian cukup merepotkan
saat sholat. Saya harus berbekal banyak tisu dan kantung plastik untuk sampah
tisu bekas. Dengan memakai kerudung berlapis saya tidak kedinginan dan
melewati saat sholat malam, sholat
shubuh tanpa bersin dan pilek.
Melihat
nenek Tajikistan ini, saya melepas kerudung motif laba-laba yang sebenarnya
sangat saya sukai. Saya ulurkan kepada nenek di samping ini.
“
Hadiah....” kataku. Kutunjuk dadaku, kuulurkan kerudung padanya dan kutunjuk
dadanya. Ia tersenyum manis dan memelukku. Ia mencium pipiku mengucapkan
beberapa patah kata yang kuartikan sendiri
“Terima
kasih...terimakasih...” begitu kira-kira.
Ia
memanggil temannya dan menceritakan pemberianku, temannya ikut melihat kerudung
itu.
“Sholihah...sholihah..”
kata temannya sambil menunjukku.
Saya
menyaksikan semua percakapan mereka dan tersenyum-senyum dengan rasa bahagia dan haru yang memenuhi dada.
Betapa kami berinteraksi tanpa bahasa yang sama, namun sama-sama saling
memahami.
Suatu siang
di masjid Nabawi, saya mendapat tempat
di halaman lantaran agak terlambat berangkat
ke masjid. Lift di hotel hanya ada 3. Jumlah lantai dan kamarnya banyak sekali.
Jika berangkat kurang dari setengah jam sebelum waktu sholat, bisa dipastikan
akan kesulitan mendapat tempat kosong di lift. Jadi saya menuruni tangga 6
lantai sengan setengah berlari. Itulah yang saya alami saat sholat Jumat kali
ini. Maka halaman adalah jatah saya.
Saya
bersebelahan dengan seorang nenek dari Mesir. Kami berkenalan dan saling
memperkenalkan nama. Saya membaca Al-quran sambil menanti waktu sholat. Nenek
cantik dari Mesir itu memperhatikan terus dan meminta saya untuk mendekatkan
Al-Qur’an ke arahnya. Lalu ia meminta saya untuk membaca surat Al-Kahfi.
“
Kahf..kahf..” katanya.
Saya
menurut dan berusaha membaca dengan tartil. Ia mengikuti bacaan saya. Ternyata
ia lumayan hafal. Jadi kami membaca bersama dengan lancar hingga adzan
menghentikan kami. Saat usai sholat, kami berpelukan dan mengucapkan selamat
berpisah dengan penuh haru.
“
Assalamu’alaikum, ilaa liqo, ma’assalam...”
“Wa’alaikumussalam....”
Pertemuan
dan pertemanan yang sangat singkat namun penuh ma’na.
Saya
ulangi kembali kisah pertemuan saya dengan nenek dari Afghanistan.
“ From
Afghanistan...?” saya bertanya.
Nenek
itu mengangguk, tersenyum menyambut uluran tanganku. Kukira ia tidak bisa
bahasa Inggris karena ia menyahut dengan bahasa yang tidak kukenali.(..padahal
sesungguhnya saya memang hanya mengenal
sedikit bahasa...)
“Ana
min Indonesiya...” aku mengganti perkenalan dengan bahasa Arab. Nenek tetap
menjawab dengan bahasa yang tak kumengerti. Seorang nenek tak jauh dari kami,
memakai kerudung besar mendekat ke arah kami.
“Indonesia...?
Indonesia...?” ia bertanya.
“ Na’am”
aku tersenyum padanya.” Min aina ji’ti?”
“Tunis,
Tunisia...”
Dan aku
kehabisan stok bahasa Arab untuk melanjutkan percakapan...hehe.
Seorang
perempuan muda, cantik, berwajah Timur Tengah tersenyum dan menyadari
‘kemacetan’ komunikasi itu. Ia bergabung dan berbicara dengan kami. Nenek Afghanistan
bicara dengan bahasa Afghan. Nenek Tunis bicara dengan bahasa Arab. Dan aku
bengong diantara mereka.
No comments:
Post a Comment