Bersama
para Nenek (6)
Oleh :
Ida Nur Laila
“I
can’t speak Arabic...” kataku pada wanita muda cantik yang bergabung terakhir.
Ia
menterjemahkan pembicaraan nenek Tunis padaku, dengan bahasa Inggris. Rupanya
nenek Tunis pernah tinggal di Indonesia, di Jakarta, sekitar tahun 80-an. Ia
mengunjungi beberapa kota seperti Bandung, Jogjakarta dan beberapa pulau lain.
Ia tinggal selama 2 tahun. Itulah yang menyebabkan ia tertarik ketika tahu saya
dari Indonesia. Ia menanyakan tentang gempa
di Jogja beberapa tahun lalu.
Kami sempat
berfoto bersama, dipotret oleh sang penerjemah cantik yang ternyata dari Turki.
Sayang ia tidak mau diajak bergantian berfoto. Aku menghormati pilihannya.
Nenek
Tunis ini senang bercerita, ia bicara dengan sangat cepat. Akhirnya ketika
pembicaraan makin rumit, wanita Turki ini menyerah, ia mengaku hanya bisa bahasa Arab sedikit dan
bahasa Inggris sedikit, sehingga kesulitan menjalani profesi dadakan sebagai penterjemah kami. Dengan sopan ia
permisi pulang dan kami bersalaman hangat.
“ So do
I mam, I can speak English only litle-litle...hihi..” kataku asal. Kami masih
saling tertawa.
Sepeninggalnya
kami macet lagi, jadi kuucapkan kata perpisahan para nenek dari negeri berbeda
dan bahasa berbeda.
“ Good
bye Mom, nice to meet you...ilaa liqo, ma’assalam...”
Kami
berpelukan, cipika-cipiki layaknya saudara lama...padahal tidak nyambung
bahasa.....
Suatu
siang yang lain, saya sholat di halaman Masjid Nabawi lagi. Kami baru pulang
dari mengunjungi masjid Kuba, jadi agak kesiangan berangkat ke masjid untuk
menunaikan sholat dhuhur. Siang itu terik sekali. Walaupun kami berada di bawah
payung, kami tetap merasakan panas yang sangat. Di sebelahku ada seorang nenek
dari Iraq. Ia nampak mungil dan ringkih. Botol air mineralnya telah kosong.
Ketika ia mengedarkan pandangan, persis di belakangnya, ada seorang perempuan
besar berkulit gelap yang memiliki air sebotol besar dan penuh. Botol itu
sungguh besar, kira-kira berisi 2 liter.
Nenek
meminta air pada perempuan itu. Namun perempuan itu menolak membagi airnya, dan
menyuruh nenek itu mengisi sendiri botolnya ke kran air zam-zam yang ada di
halaman masjid. Depot kran air zam-zam berjarak kira-kira 100 m dari tempat
kami duduk. Sepertinya nenek Iraq tidak faham apa yang dikatakan perempuan yang
kira-kira berasal dari wilayah Afrika. Ia bicara banyak, memeluk airnya dan
menunjuk-nunjuk ke arah depot air zam-zam. Nenek Iraq kelihatan bingung dan
menyerah.
Aku
menawarkan untuk mengisikan botol airnya. Dengan bahasa isyarat tentunya. Aku
minta ia duduk dan menjagai barangku. Aku akan pergi sebentar mengisi botolnya.
Ia mengangguk. Alhamdulillah ia faham. Aku bergegas pergi ke kran air zam-zam
dan mengisi botolnya, juga botolku sendiri. Ketika kuulurkan botol yang telah
penuh, ia berterima kasih dengan bahasanya. Kami lantas berteman walaupun hanya
duduk berdampingan dan saling tersenyum. Ketika berpisah kami bersalaman dan
berpelukan.
Di
masjid Nabawi, hatiku tertambat kepada para nenek. Kadang ketika aku sedang
duduk bertilawah di dalam masjid, seorang nenek yang lewat, berhenti hanya
sekedar mencubit dua pipiku. Kejadian ini berulang kali kualami.
Pernah
seorang nenek tiba-tiba menyuapiku dengan permen. Nenek yang lain menyodorkan
kurma untukku. Aku menerima dengan senang hati. Kami saling menawarkan
pershahabatan dan persaudaraan , walaupun kadang tidak sempat saling mengucap
nama. Semoga persaudaraan kami kekal hingga di akhirat, amin.
Satu
nenek yang paling istimewa dari Masjid Nabawi, akan saya ceritakan dalam judul
tersendiri, beliau adalah Ablah Tsurayya.
Bersambung.
No comments:
Post a Comment