Bersama
para Nenek (7)
Oleh :
Ida Nur Laila
Sore
hari selepas waktu jamaah sholat ‘asyar, adalah waktu yang nyaman untuk
berkeliling di halaman Masjid. Jamaah belum terlalu padat memenuhi halaman.
Cuaca cerah dan suhu tidak terlalu panas. Angin bertiup semilir sesekali, dan
tidak terlalu kencang. Aku dan mbak Retna berkeliling memutari halaman masjid.
Di
salah satu halaman, dekat dengan tempat yang sedang di renovasi, duduk seorang
kakek, sendirian. Ia duduk bersila di atas selembar tikar, menghadap ke arah
masjid, terpisah dari jamaah lain. Di sebelahnya ada kursi roda. Kami
menghampirinya dan meminta ijin untuk memotretnya. Ia mengijinkan. Aku
memotretnya beberapa kali dengan beberapa sudut pandang. Seorang kakek lain
menghampiri dan ingin juga dipotret, maka aku memotret mereka berdua. Ketika
kutunjukkan hasilnya, mereka tertawa senang. Ketika kakek yang satu berlalu,
datanglah kakek lain yang juga ingin dipotret. Maka aku memotret lagi, dan ia
senang dengan hasil fotonya.
“ Mengapa
mereka suka dipotret, padahal mereka tidak akan mendapat hasil fotonya ya...?”
komentar mbak Retna.
“ Mungkin
mereka ingin menyenangkan kita, atau ingin melihat hasilnya meskipun hanya di
kamera...” ia menjawab pertanyaannya sendiri.
Pengalaman
melayani orang yang ingin dipotret, sering terjadi ketika kami berkeliling
dengan menenteng kamera. Jadilah kami juru foto amatir sukarela yang
mendapatkan pertemanan singkat hanya dengan menenteng kamera.
Kami
beralih pada dua orang nenek yang sedang duduk tak jauh dari kakek berkursi
roda. Satu nenek tengah meremas-remas inai atau daun pacar dalam sebuah kantung
plastik. Dua tangannya berwarna hijau kecoklatan.aku tidak tahu mengapa ia
meremas-remas daun tersebut. Dan ketika menanyakan hal itu dengan bahasa
isyarat, ia menjelaskan tanpa kufahami maksudnya.
Nenek
yang satu, sedang memberi makan seekor kucing dengan makanan yang dibawanya.
Ayam goreng dan kentang goreng. Ketika kami berkenalan, ia lantas memberi kami
juga kentang goreng beberapa batang. Juga ayam goreng yang ia cuwilkan. Kami
memakan suguhan itu untuk menghormati pemberiannya, sambil
senyum-senyum lantaran kucing dan kami sama-sama makan ayam goreng dari nenek
tersebut.
Dua
nenek ini dari Morroco. Mereka menggambari wajah dengan semacam tato, di pipi,
di dahi dan di dagunya. Temanku menanyakan apa makna tatto di wajah dan tangan
mereka. Ia menjelaskan dengan bahasanya. Dan kami mencoba mamahami bahwa gambar
tersebut sebagai tanda perempuan yang telah menikah. Kira-kira
begitu...entahlah.
Bagaimanapun
kami menikmati percakapan singkat itu, terutama menikmati suguhan mereka ayam
dan kentang goreng tentunya.
Beranjak
dari mereka, kami menemui beberapa nenek Mesir dan Afrika. Mereka duduk
bergerombol. Awalnya kami segan untuk bergabung, namun ternyata mereka sangat
hangat. Minta berfoto dan berbicara dengan bahasa mereka. Kami hanya mengangguk
dan tertawa-tawa karena tidak mengerti pembicaraan mereka. Bergantian berfoto
dan menikmati kegembiraan sore di halaman masjidil haram yang luas bersama
mereka.
Langit
lembayung menaungi kami. Ketika hari makin petang, kami segera berpamitan dan
bergegas menuju hotel. Khawatir tidak kebagian jalan pulang kembali ke hotel lantaran
jamaah sholat semakin padat menjelang maghrib tiba. Kebetulan kami berdua
sedang datang bulan.
No comments:
Post a Comment