Wisata Haji (2)
Oleh :
Ida Nur Laila
Selanjutnya kami menuju Jabal Rahmah. Perjalanan
ini melewati wilayah Mina dan Arafah yang tengah disibukkan oleh pendirian
tenda-tenda. Jabal Rahmah adalah bukit
batu tanpa tetumbuhan, dihiasi batu-batu besar di lerengnya. Jabal Rahmah berada di bagian timur Padang Arafah di kota
Mekkah Arab Saudi. Jabal berarti sebuah bukit atau gunung, sementara Rahmah
adalah kasih sayang.
Jabal
Rahmah, Kisah Pertemuan Adam dan Hawa
Sesuai dengan namanya, bukit ini di
yakini sebagai pertemuan antara Nabi Adam dan Siti Hawa setelah mereka
dipisahkan dan diturunkan dari syurga oleh Allah selama bertahun-tahun setelah
melakukan kesalahan dengan memakan buah khuldi yang terlarang. Walaupun tidak ada
nash yang terkait dengan hal tersebut.
Konon
berdasarkan cerita ahli sejarah, Nabi Adam diturunkan di negeri India,
sedangkan Siti Hawa diturunkan di Irak. Setelah keduanya bertaubat untuk
memohon ampun, akhirnya atas ijin Allah mereka dipertemukan di bukit ini.
Setelah pertemuan ini, Adam dan Hawa melanjutkan hidup mereka dan melahirkan
anak-anak keturunannya sampai sekarang.
Peristiwa
pentingnya adalah tempat turunnya wahyu yang terakhir pada Nabi Muhammad saw,
yaitu surat Al-Maidah ayat 3. Diriwayatkan bahwa surah AI-Maa-idah ayat 3 diturunkan
pada sesudah waktu asar yaitu pada hari Jumat di padang Arafah pada musim haji Wada.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu.”
Haji
wada’ adalah haji teralkhir yang dilakukan Rasulullah sebelum beliau meinggal
dunia.
Untuk menuju puncak Jabal Rahmah ini,
kita bisa menempuhnya sekitar 15 menit dari dasar bukit. Bukit batu ini berada
pada ketinggian kurang lebih enam puluh lima meter yang puncaknya menjulang. Di
bukit ini terdapat sebuah monumen yang terbuat dari beton persegi empat dengan
lebar kurang lebih 1, 8 meter dan tingginya 8 meter. Menuju puncak bukit ini
pemerintah setempat telah membangun infrastruktur yang memadai sehingga
memudahkan bagi pengunjung untuk menikmatinya.
Infrastruktur ini berupa jalanan
berbentuk tangga dengan 168 undakan menuju puncak tugu. Panas terik siang
itu, kami yang merasa kuat berusaha mendaki. Rupanya aku dan beberapa rekan
mendaki dari sisi yang tidak tepat. Bukan jalan resmi. Cukup sulit lantaran
harus meloncat dan memanjat batu-batu besar.
Berdiri
di puncak, kita dapat mengedarkan pandangan yang luas. Di salah satu sisi,
terlihat hamparan padang Arafah yang mulai menghijau dengan adanya pohon
Sukarno.
Berada
di puncak, kita dapat menyaksikan aneka tingkah polah manusia. Ada yang hanya
berkerumun dan melihat-lihat. Ada yang menulis di batu atau di tugu. Memang
pengunjung ditawari jasa menyewa spidol untuk corat-coret. Walaupun sebenarnya
hal tersebut dilarang oleh pemerintah. Ada penjaga yang mengawasi dan melarang
pengunjung melakukan aktivitas corat-coret. Namun ada saja yang berhasil
mencuri iesempatan. Mungkin orang yang menulis ikut mempercayai bahwa jika
menuliskan namanya di jabal rahmah, atau meninggalkan fotonya, akan kekal percintaannya.
Keyakinan yang sungguh sesat. Jangan ikut-ikutan ya...
Ada
juga yang sedang berceramah, mungkin menerangkan pada rekan-rekannya hal ikhwal
tentang tempat tersebut, namun aku tidak memahami bahasanya. Ada juga suami
istri yang sholat. Padahal juga telah diperingatkan bahwa tidak ada sunnahnya
mendirikan sholat di jabal Rahmah.
Lebih
banyak adalah pengunjung yang berfoto. Sejak dalam bus, pemandu sudah
mengingatkan untuk tidak menerima tawaran tukang foto lokal yang menawarkan
jasa foto sekali jadi. Konon rawan penipuan, seperti harganya dimahalkan. Atau
dealnya sekali foto, tapi difoto beberapa kali dan dipaksa untuk membayar.
Wallahu a’lam kebenarannya, karena kami tidak menggunkan jasa mereka. Namun
memang tukang foto ini selalu menawari pengunjung, bahkan terkesan agak
memaksa. Hal ini cukup mengganggu kenyamanan.
Banyak
juga pengemis di sekitar jabal Rahmah. Sejak dari tempat parkir, di kaki bukit,
bahkan hingga ke punggung bukit dekat puncak. Mereka berbaring di bawah panas
terik, di sela bebatuan, di tengah tangga naik.
“Mama
haji...mama haji...” begitu mereka memanggil-manggil. Yang khas adalah mereka
menekuk tangan dan memperlihatkan kedua sikunya seolah tangannya cacat. Wallahu
a’lam apakah cacat atau tidak.
Kebanyakan
mereka berkulit hitam. Konon berasal dari luar Saudi. Ada seorang pengemis
bercadar dengan dua anak kembarnya yang masih berusia sekitar 1 tahun. Mereka
duduk di tangga naik bukit. Sang ibu tengah menyuapi anaknya yang sedang
menderita pilek. Apakah mengajak anak mengemis bagian dari eksploitasi anak...?
Saya tak tega melihatnya.
Banyak
pengunjung yang jatuh kasihan dan bershodaqoh kepada para pengemis. Ada juga
yang justru mencibir dan berkomentar bahwa mereka adalah mafia, yang beruntung
adalah bos-nya. Wallahu a’lam.
Pedagang
kaki lima juga tersebar di sepanjang tepi tangga naik dan di halaman.
Bermacam-macam barang dagangan yang digelar. Ada tasbih, siwak, inai, peci dan
lain-lain barang khas arab. Ada kerudung, jubah, sandal, makanan. Sebagian
penjual adalah perempuan kulit hitam yang bercadar. Sepertinya mereka saling
kenal, mereka mengobrol satu sama lain sambil menanti pembeli.
Kami
mendapat VCD gratis tentang tempat bersejarah di Tanah haram. Ada yang tersedia
dalam bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Indonesia dan bahasa apalagi. Saya
meminta yang bahasa Indonesia.di area dekat tangga naik juga dipasang
peringatan tentang apa yang dilarang saat mengunjungi Jabal rahmah. Papan
peringatan dipajang cukup besar dan jelas, memakai bahasa Indonesia, bhs
Inggris, Arab dan bahasa lain. Hal ini untuk mencegah penyimpangan aqidah,
ibadah maupun akhlaq yang mungkin dilakukan oleh pengunjung.
Sebenarnya
juga ada onta wisata yang bisa disewa untuk berfoto. Tapi saya dan rombongan
tidak melihat onta-onta tersebut.
“
Mungkin karena waktu pelaksanaan ibadah haji telah dekat, jadi onta-onta sudah
dipergikan untuk membersihkan area ini “, pemandu menjelaskan.
Panas
terik saat menjelang waktu dhuhur, mengiringi kepergian kami dari Jabal Rahmah.
Saya masih sedih membayangkan para pengemis yang tidur terlentang menanti belas
kasihan di sela-sela batu di dekat puncak Jabal Rahmah. Bagaimana keadaan
mereka dibawah panas terik. Bagaimana jika haus dan lapar...Ah bukankah itu
bagian dari keseharian mereka yang tak perlu kucemaskan.
Selamat
Tinggal Jabal Rahmah, semoga kelak ada kesempatan untuk kembali berkunjung.
Bersambung.
No comments:
Post a Comment