Pages

Friday, January 20, 2012

Yang Kualami di Tanah Suci (33)


Wisata Haji (2)
Oleh : Ida Nur Laila


Selanjutnya kami menuju Jabal Rahmah. Perjalanan ini melewati wilayah Mina dan Arafah yang tengah disibukkan oleh pendirian tenda-tenda.  Jabal Rahmah adalah bukit batu tanpa tetumbuhan, dihiasi batu-batu besar di lerengnya. Jabal Rahmah berada di bagian timur Padang Arafah di kota Mekkah Arab Saudi. Jabal berarti sebuah bukit atau gunung, sementara Rahmah adalah kasih sayang.
Jabal Rahmah, Kisah Pertemuan Adam dan Hawa
Sesuai dengan namanya, bukit ini di yakini sebagai pertemuan antara Nabi Adam dan Siti Hawa setelah mereka dipisahkan dan diturunkan dari syurga oleh Allah selama bertahun-tahun setelah melakukan kesalahan dengan memakan buah khuldi yang terlarang. Walaupun tidak ada nash yang terkait dengan hal tersebut.
Konon berdasarkan cerita ahli sejarah, Nabi Adam diturunkan di negeri India, sedangkan Siti Hawa diturunkan di Irak. Setelah keduanya bertaubat untuk memohon ampun, akhirnya atas ijin Allah mereka dipertemukan di bukit ini. Setelah pertemuan ini, Adam dan Hawa melanjutkan hidup mereka dan melahirkan anak-anak keturunannya sampai sekarang.

Peristiwa pentingnya adalah tempat turunnya wahyu yang terakhir pada Nabi Muhammad saw, yaitu surat Al-Maidah ayat 3. Diriwayatkan bahwa surah AI-Maa-idah ayat 3 diturunkan pada sesudah waktu asar yaitu pada hari Jumat di padang Arafah pada musim haji Wada.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”
Haji wada’ adalah haji teralkhir yang dilakukan Rasulullah sebelum beliau meinggal dunia.
Untuk menuju puncak Jabal Rahmah ini, kita bisa menempuhnya sekitar 15 menit dari dasar bukit. Bukit batu ini berada pada ketinggian kurang lebih enam puluh lima meter yang puncaknya menjulang. Di bukit ini terdapat sebuah monumen yang terbuat dari beton persegi empat dengan lebar kurang lebih 1, 8 meter dan tingginya 8 meter. Menuju puncak bukit ini pemerintah setempat telah membangun infrastruktur yang memadai sehingga memudahkan bagi pengunjung untuk menikmatinya.
Infrastruktur ini berupa jalanan berbentuk tangga dengan 168 undakan menuju puncak tugu. Panas terik siang itu, kami yang merasa kuat berusaha mendaki. Rupanya aku dan beberapa rekan mendaki dari sisi yang tidak tepat. Bukan jalan resmi. Cukup sulit lantaran harus meloncat dan memanjat batu-batu besar.
Berdiri di puncak, kita dapat mengedarkan pandangan yang luas. Di salah satu sisi, terlihat hamparan padang Arafah yang mulai menghijau dengan adanya pohon Sukarno.
Berada di puncak, kita dapat menyaksikan aneka tingkah polah manusia. Ada yang hanya berkerumun dan melihat-lihat. Ada yang menulis di batu atau di tugu. Memang pengunjung ditawari jasa menyewa spidol untuk corat-coret. Walaupun sebenarnya hal tersebut dilarang oleh pemerintah. Ada penjaga yang mengawasi dan melarang pengunjung melakukan aktivitas corat-coret. Namun ada saja yang berhasil mencuri iesempatan. Mungkin orang yang menulis ikut mempercayai bahwa jika menuliskan namanya di jabal rahmah, atau meninggalkan fotonya, akan kekal percintaannya. Keyakinan yang sungguh sesat. Jangan ikut-ikutan ya...
Ada juga yang sedang berceramah, mungkin menerangkan pada rekan-rekannya hal ikhwal tentang tempat tersebut, namun aku tidak memahami bahasanya. Ada juga suami istri yang sholat. Padahal juga telah diperingatkan bahwa tidak ada sunnahnya mendirikan sholat di jabal Rahmah.
Lebih banyak adalah pengunjung yang berfoto. Sejak dalam bus, pemandu sudah mengingatkan untuk tidak menerima tawaran tukang foto lokal yang menawarkan jasa foto sekali jadi. Konon rawan penipuan, seperti harganya dimahalkan. Atau dealnya sekali foto, tapi difoto beberapa kali dan dipaksa untuk membayar. Wallahu a’lam kebenarannya, karena kami tidak menggunkan jasa mereka. Namun memang tukang foto ini selalu menawari pengunjung, bahkan terkesan agak memaksa. Hal ini cukup mengganggu kenyamanan.
Banyak juga pengemis di sekitar jabal Rahmah. Sejak dari tempat parkir, di kaki bukit, bahkan hingga ke punggung bukit dekat puncak. Mereka berbaring di bawah panas terik, di sela bebatuan, di tengah tangga naik.
“Mama haji...mama haji...” begitu mereka memanggil-manggil. Yang khas adalah mereka menekuk tangan dan memperlihatkan kedua sikunya seolah tangannya cacat. Wallahu a’lam apakah cacat atau tidak.
Kebanyakan mereka berkulit hitam. Konon berasal dari luar Saudi. Ada seorang pengemis bercadar dengan dua anak kembarnya yang masih berusia sekitar 1 tahun. Mereka duduk di tangga naik bukit. Sang ibu tengah menyuapi anaknya yang sedang menderita pilek. Apakah mengajak anak mengemis bagian dari eksploitasi anak...? Saya tak tega melihatnya.
Banyak pengunjung yang jatuh kasihan dan bershodaqoh kepada para pengemis. Ada juga yang justru mencibir dan berkomentar bahwa mereka adalah mafia, yang beruntung adalah bos-nya. Wallahu a’lam.
Pedagang kaki lima juga tersebar di sepanjang tepi tangga naik dan di halaman. Bermacam-macam barang dagangan yang digelar. Ada tasbih, siwak, inai, peci dan lain-lain barang khas arab. Ada kerudung, jubah, sandal, makanan. Sebagian penjual adalah perempuan kulit hitam yang bercadar. Sepertinya mereka saling kenal, mereka mengobrol satu sama lain sambil menanti pembeli.
Kami mendapat VCD gratis tentang tempat bersejarah di Tanah haram. Ada yang tersedia dalam bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Indonesia dan bahasa apalagi. Saya meminta yang bahasa Indonesia.di area dekat tangga naik juga dipasang peringatan tentang apa yang dilarang saat mengunjungi Jabal rahmah. Papan peringatan dipajang cukup besar dan jelas, memakai bahasa Indonesia, bhs Inggris, Arab dan bahasa lain. Hal ini untuk mencegah penyimpangan aqidah, ibadah maupun akhlaq yang mungkin dilakukan oleh pengunjung.
Sebenarnya juga ada onta wisata yang bisa disewa untuk berfoto. Tapi saya dan rombongan tidak melihat onta-onta tersebut.
“ Mungkin karena waktu pelaksanaan ibadah haji telah dekat, jadi onta-onta sudah dipergikan untuk membersihkan area ini “, pemandu menjelaskan.
Panas terik saat menjelang waktu dhuhur, mengiringi kepergian kami dari Jabal Rahmah. Saya masih sedih membayangkan para pengemis yang tidur terlentang menanti belas kasihan di sela-sela batu di dekat puncak Jabal Rahmah. Bagaimana keadaan mereka dibawah panas terik. Bagaimana jika haus dan lapar...Ah bukankah itu bagian dari keseharian mereka yang tak perlu kucemaskan.
Selamat Tinggal Jabal Rahmah, semoga kelak ada kesempatan untuk kembali berkunjung. 
Bersambung.

No comments:

Post a Comment