Oleh :
Ida Nur Laila
Sungguh
indah masjid nabawi yang terhampar megah di hadapanku. Lebih indah dari
foto-foto yang pernah kulihat. Lampu-lampu bersinar di menara yang menjulang.
Ornamen jendela , pintu, dinding, semua nampak indah bagiku. Saat memasukinya,
aku makin terpesona dengan berbagai
ornamen interior masjid.
Di
dalam masjid terhampar karpet merah tebal untuk alas sholat. Antara tempat
laki-laki dan perempuan, dibatasi oleh sekat dari kayu berukir, sekat ini
memiliki pintu-pintu atau gate yang menghubungkan 2 area terpisah ini. Saat
hendak memasuki roudhoh, gate itu dibuka satu persatu.
Masjid
nabawi, bukan hanya memuaskan mata, tapi
juga memuaskan batin. Aku duduk berlama-lama menghirup auranya dalam-dalam.
Mengisi seluruh rongga dadaku yang telah lama merindu pada tempat warisan nabi
ini. Dini hari itu adalah saat pertama aku mengunjungi tempat suci ini. Bersyukur
aku diijinkan Allah mengunjungi tempat mulia ini.
Keutamaannya
dinyatakan oleh Nabi saw., sebagaimana diterima dari Jabir ra.:
"Satu
kali sholat di masjidku ini, lebih besar pahalanya dari seribu kali salat
di masjid yang lain, kecuali di Masjidil Haram. Dan satu kali salat di Masjidil
Haram lebih utama dari seratus ribu kali salat di masjid lainnya" (Riwayat
Ahmad, dengan sanad yang sah).
Ketika
hari mulai terang, aku memanjakan mataku
memandangi seluruh bagian masjid. Atapnya, dindingnya, karpetnya, para
petugasnya, seluruh jamaah yang hadir. Kubah bagian dari atap akan menutup saat
menjelang waktu dhuha. Bergesernya kubah atap sangat halus, nyaris tanpa suara,
hingga kadang jamaah tidak menyadarinya.
Aku
memandangi dan merenungi berbagai macam jamaah, warna kulitnya, bahasanya, cara
berbicaranya, karakternya. Mereka telah
datang dari berbagai penjuru dunia, menempuh perjalanan yang jauh, semua dengan
niat suci beribadah. Dan kini kami para jamaah bernaung dalam satu atap.
Di
halaman aku menyaksikan langit yang berubah warna, dari gelap menuju terang hingga
cerah terang benderang dalam siraman hangat matahari pagi. Orang yang duduk
asyik masyuk berdzikir, membaca Alqur’an tanpa hirau orang yang lalu lalang.
Duduk bergerombol bersama rekannya atau menyendiri. Ibu yang bersama
anak-anaknya, kadang beserta bawaannya yang banyak bertumpuk di sampingnya.
Masjid
nabawi sungguh memikat hatiku. Kubayangkan Rasulullah berabad yang lalu,
menyambangi masjid setiap hari. sholat lima waktu dan menggelar majelis taklim.
Bermusyawarah dan beriktikaf di masjid yang tentu kala itu bentuknya sangat
sederhana. Masih berlantai pasir . Hingga kini, area masjid yang asli telah
ditandai dengan tiang dan ornamen atap yang berbeda dari masjid perluasan.
Kucoba
menghadirkan suasana ruhiyah kenabian saat itu. Ketika para shahabat sholat dan
bershof rapi di belakang nabi. Ketika mereka duduk mengelilingi nabi dan
berlomba dekat dengan nabi, menanti perkataan nabi yang mulia. Kubayangkan para
shahabat besar, Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Azzubair, Ibnu Mas’ud,
Bilal...duduk mengelilingi nabi. Kadang bersimbah air mata ketika mendengar
taushiyah nabi, kadang tersenyum gembira ketika Rasul bercanda....Ah semoga
kelak di syurga aku diijinkan untuk menghadiri majelis nabi.
Masjid
Nabawi adalah masjid kedua yang dibangun oleh Rasulullah saw., setelah Masjid
Quba yang didirikan dalam perjalanan hijrah beliau dari Mekkah ke Madinah.
Masjid Nabawi dibangun sejak saat-saat pertama Rasulullah saw. tiba di
Madinah. Lokasinya ialah di tempat unta tunggangan Nabi saw.
menghentikan perjalanannya. Saat itu banyak tawaran dari penduduk Madinah untuk
mempersilahkan Rasulullah tinggal dalam rumah mereka. Rasulullah membiarkan
untanya memilihkan lokasi tempat tinggal beliau. Lokasi itu semula adalah
tempat penjemuran buah kurma milik anak yatim dua bersaudara Sahl dan Suhail
bin ‘Amr, yang kemudian dibeli oleh Rasulullah saw. untuk dibangunkan masjid
dan tempat kediaman beliau.
Awalnya,
masjid ini berukuran sekitar 50 m × 50 m, dengan tinggi atap sekitar
3,5 m Rasulullah saw. turut membangunnya dengan tangannya sendiri, bersama-sama
dengan para shahabat dan kaum muslimin. Tembok di keempat sisi masjid ini
terbuat dari batu bata dan tanah, sedangkan atapnya dari daun kurma dengan
tiang-tiang penopangnya dari batang kurma. Sebagian atapnya dibiarkan terbuka
begitu saja. Selama sembilan tahun pertama, masjid ini tanpa penerangan di
malam hari. Hanya di waktu Isya, diadakan sedikit penerangan dengan membakar
jerami.
Kemudian
melekat pada salah satu sisi masjid, dibangun kediaman Nabi saw. Kediaman Nabi
ini tidak seberapa besar dan tidak lebih mewah dari keadaan masjidnya, hanya
tentu saja lebih tertutup. Selain itu ada pula bagian yang digunakan sebagai
tempat orang-orang fakir-miskin yang tidak memiliki rumah. Belakangan,
orang-orang ini dikenal sebagai ahlussufah atau para penghuni teras
masjid.
Setelah
itu berkali-kali masjid ini direnovasi dan diperluas. Renovasi yang pertama
dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khathab di tahun 17 H, dan yang kedua
oleh Khalifah Utsman bin Affan di tahun 29 H. Di zaman modern, Raja Abdul
Aziz dari Kerajaan Saudi Arabia meluaskan masjid ini menjadi 6.024 m² di
tahun 1372 H. Perluasan ini kemudian dilanjutkan oleh penerusnya, Raja Fahd
di tahun 1414 H, sehingga luas bangunan masjidnya hampir mencapai 100.000 m², ditambah
dengan lantai atas yang mencapai luas 67.000 m² dan pelataran masjid yang dapat
digunakan untuk salat seluas 135.000 m². Masjid Nabawi kini dapat menampung
kira-kira 535.000 jamaah. Apakah setelah itu ada renovasi lagi, aku belum
mendapat sumber informasi. Karena seorang ustadzah menyampaikan bahwa masjid
ini mampu menampung 1 juta jamaah. Wallahu a’lam.
Dalam
masjid yang sekarang, terdapat makam Rasulullah, Abu Bakar ra, dan Umar ra. Rasulullah
saw. dimakamkan di tempat meninggalnya, yakni di tempat yang dahulunya adalah
kamar Ummul Mukminin Aisyah ra., isteri Nabi saw. Kemudian berturut-turut
dimakamkan pula dua shahabat terdekatnya di tempat yang sama, yakni Abu
Bakar Al-Shiddiq dan Umar bin khatthab. Karena perluasan-perluasan Masjid
Nabawi, ketiga makam itu kini berada di dalam masjid, yakni di sudut tenggara
(kiri depan) masjid. Saya sempat mendekat ke makam Rasul dan mengucapkan salam
dan shalawat saat mengunjungi raudhoh.
Juga memberi salam kepada Abu Bakar dan Umar bin Khatthab.
Aisyah
sendiri, dan banyak lagi shahabat yang lain, dimakamkan di pemakaman umum Baqi.
Dahulu terpisah cukup jauh, kini dengan perluasan masjid, Baqi jadi terletak
bersebelahan dengan halaman Masjid Nabawi. Sayangnya saya tidak sempat
mengunjungi makam baqi, hanya lewat
melintas dalam bus saat perjalanan, dan melihat dari kejauhan. Beberapa
teman sempat ziyarah ke makam Baqi’.
Memasuki
masjid Nabawi dari pintu perempuan, mula-mula memasuki halaman berpagar
besi, halaman ini cukup luas dan beratap
payung yang bisa membuka dan menutup. Setelah itu ada selapis pagar lagi untuk
membatasi dengan halaman yang khusus diperuntukkan perempuan. Halaman ini juga
dinaungi payung. Pada halaman dalam ini ada beberapa karpet merah yang
dibentangkan di kanan dan kiri halaman.
Terdapat dua area toilet perempuan yang
sangat memadai dari sisi jumlah, walaupun fasilitasnya cukup sederhana. Toilet
terawat bersih dan dijaga juga oleh para asykar dan petugas cleaning servis
perempuan. Semua memakai penutup wajah.. Tentang toilet ini telah saya
ceritakan terdahulu.
Para
penjaga laki-laki memiliki pos di gerbang ini. Mereka tegas mengingatkan dan
melarang para laki-laki memasuki halaman khusus untuk perempuan. Setelah
memasuki halaman, kita akan segera bisa memasuki pintu masjid yang dijaga oleh
para asykar yang berpakaian serba hitam dan bercadar. Mereka teliti sekali
memeriksa isi tas dan barang bawaan pengunjung masjid.
Diantara
barang yang dilarang untuk dibawa memasuki masjid adalah spidol, kamera, HP
berkamera, makanan, dan mungkin juga senjata atau benda tajam seperti gunting.
Namun ada saja akal pengunjung untuk menyelundupkan barang–barang tersebut
misal dengan menaruh HP berkamera di kaus kaki atau saku baju.membawa makanan
diantara mukena atau kerudung yang dibawa.Hhmm ada-ada saja.
Pengunjung
yang membawa tempat minum atau botol air tidak dilarang. Entahlah jika membawa
jerigen besar. Dalam masjid disediakan banyak sekali tempat minum dispenser
jumbo berisi air zam-zam. Ada yang dingin dan ada yang suhu kamar. Para asykar
melarang keras penggunaan air zam-zam untuk berwudhu.
Terpasang
di halaman dan dalam masjid, bentangan pita merah putih pembatas antara area
duduk dan area lalu lalang para jamaah. Seorang teman mengomentari warna pita
tersebut.
“Mengapa
berwarna merah putih? Apakah karena jamaah dari Indonesia paling banyak...?”
“Atau
jamaah Indonesia yang paling susah diatur...?”
“Ah
kita husnudzon saja bahwa pembuatnya hanya memproduksi pita merah putih...”
Itu
hanya gurauan diantara kami yang sangat
sensitif dengan warna bendera kita.
Dalam
masjid banyak asykar dan cleaning servis. Mereka sangat berusaha menjaga
kebersihan dan ketertiban dalam masjid. Suara para petugas bercadar yang
kira-kira cantik-cantik ini sering terdengar melengking mengingatkan para
jamaah .
“
ibu...ibu masuk-masuk...jangan duduk...jangan duduk!”
Suara
itu terdengar lucu sekalipun diucapkan dengan tegas, lantara logatnya yang
tidak pas dengan telinga Indonesia.
Jika
ada yang ketahuan memotret atau merekam bagian dalam masjid, maka petugas akan
meminta ponselnya dan menghapus gambar tersebut.
“ Haram
memotret...!” begitu larang mereka.
Namun ada saja yang diam-diam berusaha memotret. Kufikir jika kita
datang untuk beribadah, mengapa kita melakukan sesuatu yang dilarang...
Jika
ingin memotret, aku sengaja membawa kamera dan sholat di halaman masjid. Disini
tidak dilarang kita membuat dokumentasi sepuasnya.
Inilah
interaksi pertamaku secara fisik dengan Masjid Nabawi. Kalau ada istilah di
masjid hatiku terkait, maka masjid nabawi telah membuat aku jatuh cinta. Aku
selalu akan kembali, bismillah.
No comments:
Post a Comment