Oleh : Ida Nur Laila
Pada
tahun pertama pernikahanku, kami baru
saja pindah rumah, dari satu rumah kontrakan, ke rumah kontrakan yang baru.
Setelah usai mengangkut barang-barang, termasuk semua pot bunga kesayanganku,
kami memandangi ‘bekas rumah’ kami.
“Aduh
sayang sekali pohon mangganya kita tinggal...... kita kan belum lama menanam dan belum
mencicipi buahnya...” kataku sedikit
menyesal, memandangi pohon mangga arumanis setinggi satu meter setengah.
“Tidak
boleh berfikir demikian. Jika menanam kita harus ikhlash untuk anak cucu kita.
Jika nenek moyang kita semua berfikir begitu, saat ini kita tidak akan makan
buah-buahan....nenek kita menanamnya dan mereka mungkin tak pernah merasakan
buah yang ditanamnya...” kata ibu mertuaku.
Deg !
Aku
terhenyak dalam kesadaran. Terimakasih nasehatnya ibu mertua.
Mengapa
aku melupakan hal yang sederhana itu. Bukankah kita semestinya bersyukur bahwa
setiap hari kita memakan aneka buah dan sayur tanpa harus menanamnya. Bahkan
sering kali kita mendapatkannya secara gratis dari tetangga disekitar atau kenalan nun jauh
disana. Siapakah yang menanam jika bukan para pendahulu kita.
Pelajaran
yang kudapat adalah :
1.Janganlah
pernah menyesali kebaikan yang kita tanam. Pastilah kebaikan itu akan membawa
manfaat pada diri kita maupun orang lain.
2.
Pekalah kita pada kebaikan orang lain. Jika kita berusaha menghitung jumlah
kebaikan orang lain kepada kita, tak kan sanggup kita menyebut macam dan
jumlahnya.
3.
Dahulukan keikhlasan dan ketulusan saat menanam kebaikan, karena itulah yang
akan menggembirakan kita di dunia dan di akhirat.
No comments:
Post a Comment