Pages

Friday, October 26, 2012

GIYEM BERJANJI RAJIN SHOLAT LIMA WAKTU

Aku dan Giyem

Oleh-oleh dari sholat idhul adha 1433 H.

Beberapa remaja duduk berdesakan di shaf belakangku. Mendengarnya aku menoleh dan mempersilahkan jika ada yang bersedia mengisi tikar kami. Aku hanya duduk berderet dengan ibuku dan putri sulungku. Sementara tikar kami muat berempat.
"Ayo, silahkan, salah satu maju..."
Seorang remaja maju dan malu-malu duduk di sampingku. Aku tersenyum semanis mungkin untuk menguatkan hatinya.
Dia duduk bersimpuh dan memangku bawahan mukenanya. Juga sebuah sajadah warna merah bergambar masjid yang sudah agak pudar warnanya.
"Dari mana dik ?"
"Dari Balong Kidul bu..." jawabnya lirih.
"Ke sini jalan kaki ?"
"Iya..."
"Pak dukuhnya Balong Kidul siapa ya?"
Ia tertawa tanpa suara dan menutup mulutnya, sambil menggelengkan kepalanya.
Hmm anak remaja sekarang, bahkan tidak tahu siapa nama pengurus kampungnya.
"Pe eR, ya, besok tanyakan, siapa nama dukuhnya..." Aku bercanda. Namun ia mengangguk.
Sekilas aku meliriknya sambil menggemakan takbir.
Ia seperti remaja kebanyakan. Berangkat sholat Ied memakai atasan mukena. Aku tidak bisa melihat warna bajunya. Namun mukena yang dikenakannya cukup lusuh. Bahkan bagian kepalanya sudah menampakkan titik-titik hitam yang tidak sedikit, tanda jamuran.
Mukena itu juga sepertinya tidak sempat dicucinya, beberapa noda terlihat membayang.

"Kamu kelas berapa ? "
"Kelas lima lima bu "
"SD ...?" aku ragu-ragu lantaran melihat tubuhnya yang langsing menjulang, mungkin hampir setinggi kupingku. Ia hanya mengangguk, dan selalu dengan senyum malu.
"Umurmu berapa ?"
"Dua belas tahun bu..." aku mengangguk-angguk faham.
"Eh kamu punya adik apa tidak?"
"Tidak punya bu. Adanya kakak...mas dan mbakku ada tujuh..."
"Hah...tujuh...banyak banget!" kataku kaget.
Ia tersenyum malu.
"Bapak sama ibumu kerja apa ?"
"Mencetak batu-bata..."
"Ibumu juga?" ia mengangguk
Lalu aku bertanya tentang sekolahnya, ia setiap hari naik sepeda ke sekolahnya yang berjarak sekitar dua km.
"Kamu ingin jadi apa? Apa cita-citamu?"
Ia menggeleng malu, " Nggak tahu bu..."
"Kamu harus pikirkan ya, mau jadi apa. Kamu berusaha sekolah yang tinggi. Kalau kamu berusaha, pasti kamu bisa” Ia mengangguk. Semoga Ia faham.

Imam memulai sholat dan kamipun berbaris rapi mengikuti Imam.

Usai ceramah, sambil melipat mukena, aku menanyainya lagi.
"Kamu rajin sholat ?"
Ia menggeleng malu-malu.
“Kadang-kadang bolong..."
"Kamu ikut TPA? Di masjid?"
Ia mengangguk, dan menyebutkan hari-hari apa saja ia berangkat TPA, namun ia belum bisa membaca Al-Qur'an.

Aku menatap matanya sungguh-sungguh.
"Maukah kamu berjanji padaku? Mau?"
Ia memandangku dengan heran.
"Maukah kamu berjanji untuk belajar membaca Al-Qur'an dan rajin sholat lima waktu, Shubuh, Dhuhur, 'Ashar, Maghrib, Isya' ,gak pakai bolong?" Ia mengangguk ragu.
Aku mengulurkan tangan.
"Ayo salaman sama aku. Kamu janji untuk rajin sholat lima waktu, sejak hari ini sampai selamanya."
Ia menjabat tanganku dan mengangguk mantap.
"Ini mukena untukkmu. Kamu pakai untuk sholat!"
Aku menyerahkan mukenaku yang sudah kulipat.

Ia nampak terkejut memandang mukena halus berbordir coklat muda dan krem. Menurutku mukenaku memang bagus, kubeli saat aku berkesempatan mengunjungi Malaysia pada 1 Mei 2012. Namun sedikitpun aku tidak sayang dengan mukena bersejarah yang menandai kepergianku saat merayakan hari buruh bersama para TKW di Kedutaan Malaysia. Toh setiap kali ada saja orang memberiku mukena. Dan seringkali lebih bagus dari yang kubeli sendiri.

Kembali pada remaja di sebelahku yang masih terbelalak. Kuletakkan mukena itu di pangkuannya.
"Untukmu, dan janjimu untuk selalu sholat lima waktu, sejak saat ini..."
"Terimakasih..." katanya lirih. Aku melihat matanya berkaca-kaca.
"Siapa namamu ?"
"Giyem..."
"Nama ibumu ?"
"Tukinem..."
"Sampaikan salamku untuk ibu Tukinem, ya..."
"Ibu namanya siapa ?"
Itulah pertanyaan pertama yang dilontarkannya.
Aku menjawab pertanyaannya sambil tersenyum.
"Sesekali mainlah ke rumahku, di belakang masjid itu..." aku menunjuk arah rumahku.
Ia mengangguk, sambil tersenyum juga, kali ini tidak lagi malu-malu.

Aku menerawang ke masa lalu. Saat-saat aku masih duduk di bangku SD dan SMP. Betapa aku seringkali malu saat pergi sholat Ied dengan mukenaku yang lusuh. Biasanya beberapa hari sebelumnya aku mencuci dan menggosoknya keras-keras dengan sikat, agar warna kuningnya sedikit pudar dan kembali ke warna asal yang seharusnya putih.
Lalu saat sholat di lapangan, aku melihat aneka mukena yang yang indah dan berandai-andai jika aku mengenakannya. Namun itu tak pernah terjadi. Hingga kuliah, aku selalu membeli mukena murah. Mukena bagus pertamaku adalah pemberian calon suamiku saat akad nikah.

Aku berharap, Giyem akan selalu mengingat momen ini, hari raya Idhul adha 1433 H.
Mengingat janjinya padaku dan pada Allah untuk sholat lima waktu. Dan segera merumuskan cita-citanya.
Sekalipun orang tuanya hanya pembuat batu-bata, aku berharap, ia bisa memperoleh pendidikan yang lebih baik. Pendidikan yang akan memutus rantai kemiskinan.

Saat bubaran sholat, barulah aku berkaca-kaca, memandang Giyem yang menghilang di kerumunan manusia, sambil mendekap mukena barunya. Sementara itu, atasan mukena lusuh yang tetap dipakainya melambai dan kulihat beberapa lubang di bagian belakangnya.
Maka kubiarkan keharuanku menjadi tetes air, yang hanya aku yang memahami seperti apa rasa hatiku.

( Seandainya kita selalu bisa lakukan hal yang menyentuh pada anak remaja, yang sangat butuh cinta dan perhatian, semoga bisa menjadi momen pencerahan bagi mereka. Dan kita akan melihat remaja-remaja yang bersinar dengan prestasi dan cita-cita yang tinggi.)


Kutuliskan untuk Giyem yang baru kukenal pagi tadi.



Aku bersama suami sebelum berangkat Sholat Iedhul Adha 1433 H 


10 Dzulhijjah, 1433 H Lapangan Mertosanan Kulon, Potorono.

14 comments:

  1. Saya beberapa kali baca tulisan bu ida yg ini, tetap selalu terharu. Lalu.... giyem pernah main tidak ke rumah bu ida?

    ReplyDelete
    Replies
    1. belum bu. saya kehilangan jejak Giyem. tetapi saya senang penah berkenalan dengan GIyem

      Delete
  2. ibu apa kabar?baca'y jdi terharu sama nasib giyem dan terharu sama apa yg ibu lakukan sama dia,andai smua bisa peduli sesama.....

    ReplyDelete
    Replies
    1. kabar saya baik mbak Aira....alhamdulillah yuuk peduli pada remaja

      Delete
  3. Semoga Giyem menepati janjinya
    Mukena dari ibu yang baik budi pasti akan dikenang da dimanfaatkan untuk memenuhi janjinya.
    Semoga lain kali ibu Tukinem juga dapat mukena.
    Terima kasih artikelnya yang inspiratif
    Salam hangat dari Surabaya

    ReplyDelete
  4. Semoga ALLAH selalu melindungi Giyem untuk tetap istiqomah dengan janjinya "sholat lima waktu". Tulisan mak ida, selalu menyentuh. Entah dengan perihal apa, mak ida selalu membuat momen2 berharga dalam hidup mak ida. Jadi pengen dipeluk mak ida, terus mendengarkan cerita2 penuh maknanya,, salam peluk mak ida ^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. peluuk mak Ari ayo main ke rumah. tanggal 11 masih ada 1 seat untuk emak blogger yk ikut seminar saya di LHI. cepetan mak kalau mau ikutan sebelum seat diambil orang lain. apakah mak Ari sudah ikutan grup WA keb jogja?

      Delete
    2. sepertinya saya belum ikutan WA KEB Jogja,, saya DM di Twitter ya mak nomor saya,,biar bisa update info ^_^ .. sayang sekali belum bia hadir karena hari sabtu kerja,, saya tunggu ceritanya ya mak.

      Delete
    3. oke silahkan dm nope biar di add

      Delete
  5. Selalu terharu membaca tulisan ibu.

    ReplyDelete
  6. Apa kabar Giyem hari ini ?
    Dua tahun sesudahnya ...
    Semoga dia menjadi gadis yang lebih baik ...
    Semoga kita semua menjadi manusia yang lebih baik

    Salam saya bu Ida
    (1/10 : 1)

    ReplyDelete
    Replies
    1. salam kembali Om. saya berharap bertemu dengan Giyem lagi.

      Delete