Pages

Wednesday, October 17, 2012

Aceh, Baiturahman dan Ocha




foto koleksi pribadi



Aceh, Baiturahman dan Ocha
Mengunjungi Tanah Retjong, belum sempurna jika belum ziyarah ke Masjid Baiturahman.  Maka Senin, 1 Oktober 2012, saya menyempatkan untuk mengunjunginya.
Setelah sarapan kami chek out dari hotel Madinah, langsung menuju ke Masjid Baiturahman. Ini untuk kali ke dua saya mengunjunginya. Pasca bencana tsunami, saya pernah sholat dan mengisi pengajian ibu-ibu di masjid ini.
Yang mencengangkan saat itu, Allah telah menyelamatkan masjid bersejarah ini dari bencana tsunami. Banyak bangunan di sekitarnya yang rusak, namun masjid ini termasuk yang hanya mengalami kerusakan kecil. Hanya satu tiang yang patah. Selebihnya utuh. Sisa noda lumpur masih melekat di dindingnya.
Maka pada kali ke dua aku menatapnya, keadaan sudah jauh berbeda. Lingkungan masjid sudah hidup dengan berbagai pertokoan dan pasar. Di halaman masjid banyak tukang foto menawarkan jasa foto sekali jadi. Rupanya sudah menjadi obyek wisata juga.
Setelah berfoto di halaman, aku mengambil wudhu di tempat wudlu wanita. Terpisah dari bangunan masjid, toilet dan tempat wudhu cukup bersih. Aku terkenang toilet di masjid nabawi yang memiliki tempat duduk untuk berwudhu.
Memasuki ruang serambi depan, terasa suasana khusyu’. Beberapa pengunjung sedang sholat dhuha. Ada yang duduk berwirid. Ada juga yang membaca Al-Qur’an. Di serambi kanan, ada sekelompok bapak-bapak sepertinya sedang rapat atau pengajian. Mereka duduk melingkar.
Aku merasakan kenangan seolah memasuki masjid Nabawi. Tenang, teduh dan suasana spiritual yang luar biasa. Ku silent HP sebelum sholat dhuha. Saat itu seseorang menegurku. Subhanallah rupaya Ocha, sahabat lama. Dr. Rosaria Indah (Ocha), adalah orang  asli Aceh. Pernah kuliah di UGM, dan kami berteman dulu. Sekarang beliau mengajar Fakultas Kedokteran  Universitas di banda Aceh. Aku tidak menyangka pertemuan ini.
“ Mbak Ida sholat dulu, nanti biar ngobrolnya enak...” katanya mempersilahkan. Rupanya beliau sudah hadir beberapa saat sebelum aku, dan tengah tilawah Qur’an saat melihatku.
Hanya sedikit diantara sekian masjid yang kukunjungi,  saat melaksanakan  sholat, air mataku bisa menderas. Tak ada kesedihan amat sangat yang kurasakan, namun aku menangis saja. Seperti inilah rasanya saat berada di masjid Nabawi. Air mata mengucur saja sejak menbaca Al-Fatihah hingga usai sholat.
Jika di rumah, betapa hanya pada saat emosi yang ekstrim, air mata terbit saat sholat.
Setelah puas mereguk nikmatnya dhuha di masjid, kami mengobrol sambil menuju halaman.
Rupanya Ocha sengaja menunggu kami, karena sudah mengontak suamiku bahwa kami akan mampir ke masjid sebelum meninggalkan Aceh.
Ocha bercerita tentang sejarah masjid, menunjukkan lokasi bangunan utama yang mana, dibangun oleh  Sultan Iskandar Muda pada tahun 1022 H/1612 M. Mesjid raya ini memang pertama kali dibangun oleh pemerintahan Sultan Iskandar Muda, namun telah terbakar habis pada agresi tentara Belanda   kedua pada bulan shafar 1290/April 1873 M, dimana dalam peristiwa tersebut tewas Mayjen Khohler yang kemudian diabadikan tempat tertembaknya pada sebuah monumen kecil dibawah pohon ketapang/geulumpang dekat pintu masuk sebelah utara mesjid. Ocha menunjukkan lokasi meninggalnya jendral Khohler tepat di air mancur di kolam halaman masjid.
Empat tahun setelah Masjid Raya Baiturrahman itu terbakar, pada pertengahan shafar 1294 H/Maret 1877 M, dengan mengulangi janji jenderal Van Sweiten, maka Gubernur Jenderal Van Lansberge menyatakan akan membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman yang telah terbakar itu. Janji tersebut dilaksanakan oleh Jenderal Mayor Vander selaku Gubernur Militer Aceh pada waktu itu. Dan tepat pada hari Kamis 13 Syawal 1296 H/9 Oktober 1879 M, diletakan batu pertamanya yang diwakili oleh Tengku Qadhi Malikul Adil. Masjid Raya Baiturrahman ini siap dibangun kembali pada tahun 1299 Hijriyah bersamaan dengan kubahnya hanya sebuah saja.
Pada tahun 1935 M, Masjid Raya Baiturrahman ini diperluas bahagian kanan dan kirinya dengan tambahan dua kubah. Dan pada tahun 1975 M terjadinya perluasan kembali. Perluasan ini bertambah dua kubah lagi dan dua buah menara sebelah utara dan selatan. Dengan perluasan kedua ini Masjid Raya Baiturrahman mempunyai lima kubah dan selesai dikerjakan dalam tahun 1967 M. Saat itu aku belum lahir.
Demikianlah masih dilakukan beberapa perluasan yang pembangunan kembali, hingga bentuknya yang sekarang ini.
Kami mendengarkan dengan penuh minat walaupun aku tidak bisa mengingat cerita sejarah masjid ini sepenuhnya. Ocha bercerita layaknya guide dengan cukup cepat dan aku tidak sempat mencatatnya. Jadi sebagian informasi ini aku cari info dari internet.
Ocha bercerita pula  bahwa bulan depan akan pergi ke Canada untuk presentasi makalah penelitiannya. Lalu sedang memproses S3nya ke Inggris. Hmm ibu muda yang luar biasa.
Setelah membeli beberapa suvenir, kami melanjutkan perjalanan menuju bandara Sultan Iskandar Muda. Ocha yang ikut mengantar kami sibuk bercerita tentang berbagai macam hal. Tentang proyek bukunya yang macet pada bab ke lima.
“ Gimana mbak, biar bisa menyelesaikan buku nih. Saya macet nih...’
“ Wah jangan tanya saya. Buku saya yang mangkrak juga banyak...” jawabku.” Tanya pak Cah saja...”
“ Judulnya apa Ocha ?” tanya suamiku.
“ Mak comblang ustadz. Saya nih pernah sukses memproses nikah 38 orang. Dengan berbagai lika-likunya. Saya mau berbagi cerita itu, walaupun nama-nama pelaku saya samarkan. Namun juga ada 60 proses yang gagal ustadz...”
Kami tertawa bersama. Ocha bercerita tentang mayam. Mahar emas yang biasanya diminta pihak calon mempelai putri. Harganya sekarang sekitar 1,8 juta untuk satu mayam. Pada wilayah satu dan lainnya berbeda dalam menetapkan ukuran mayam. Ada yang 10, 12, 14, 16, 17, 20, 25 mayam. Tergantung wilayahnya, status sosialnya dsb.
“ Kadang saya tutup saja dulu biar segera berjalan prosesnya. Nanti mereka mencicil ke saya sampai kapanpun semampunya. Karena berat tuh, nanti masih ada uang untuk beli tanda, uang hangus, isi kamar lah...”
Hmmm lain ladang lain belalang ya...
Dari perbincangan dengan Ocha dan beberapa rekan lain, kami mengetahui sedikit banyak tentang proses pernikahan dan adat istiadat di Aceh.
“ Bukunya yang 4 bab diterbitkan dulu saja Ocha, bab selanjutnya nanti diterbitkan lagi...” usul. suamiku.
”Masalahnya ustadz, itu hanya sedikit. Tiap bab hanya 8 halaman, jadi baru 32 halaman...kan Cuma jadi buku saku...” dan kami pun tertawa geli.
Suamiku menuturkan resepnya untuk tetap produktif menulis. Ocha menyimak dengan penuh semangat. Sesekali mengomentari dengan situasi yang dia alami.
Saya senang mendengar cerita-cerita Ocha. Semua penuh semangat dan sarat hikmah.
“ Kalau saya bantu teman untuk membayar mayam, saya rasakan rejeki saya terus berlimpah. Misal ada nih yang akan nikah, saya tutup saja maharnya. Setelah itu saya dapat dana penelitian 100 juta. Begitu terus berulang. Suatu ketika orang yang pinjam melunasi pinjamannya, setelah itu waah kok agak seret nih rizki...”
“ Subhanallah mungkin melapangkan orang lain dalam membayar hutang, akan membuat rizki kita bertambah terus ya. Tapi kalau dia sudah mampu mengembalikan, masak ditolak mbak...”
“ Biar tetap ngalir rizkinya Ocha, kalau ada yang mengembalikan pinjaman, kasih ke saya saja....” seloroh saya. Begitulah obrolan kami penuh canda tawa.
“ Sekarang saya juga praktek ustadz. Soalnya dipaksa sama mamak saya. Masak dokter tidak praktek, begitu kata mamak saya...ya sudah saya praktek di dekat rumah. Praktek bekam...’
“ Waah dokter bekam dong...” kami pun terbahak lagi.
“ Orang Aceh nih, kira-kira yang percaya dokter hanya 40 %. Itupun mereka lari ke Malaysia. Lainnya percaya pada pengobatan alternatif...ada dukunlah, tabiblah...”
“ Jadi Ocha jadi dokter alternatif...?” kataku. Dan kami tertawa lagi.
“ Saya banyak pakai herbal mbak, pasien saya ada yang polisi, pejabat, anggota dewan, pengusaha...yah macam-macamlah...kadang juga saya resepi obat modern. Tapi rata-rata pelanggan saya adalah orang sehat yang ingin menjaga kesehatannya dan ingin memiliki kesehatan jangka panjang...”
Hmmm menarik juga ya...
Rekan kami, pak Daniel Mas, ikut menambah cerita.
“Ada cerita nih, orang sakit pergi ke dokter. Dikasihlah resep sama dokternya. Maka diapun pulang. Esok harinya datang kembali ia ke dokter, bilang terima kasih karena sudah sembuh. Ketika ditanya apakah resepnya sudah diminum, betul tuh sudah diminum. Kertas resepnya dimasukin air minum, lalu diminumlah dan ia merasa sembuh. Kagetlah dokter dengan paien yang salah maksud...”
Kami makin geli.
Rupanya kepercayaan itu masih kuat di kalangan masyarakat.
“ Nanti jam 2 saya mau menghadap Rektor nih, kita mau kasih laporan berapa mahasiswa yang hafal qur’an, berapa yang belum bisa baca qur’an...sekarang nih hanya 30 % mahasiswa yang bisa baca Quran. Lainnya belum bisa baca. Ada juga yang tidak sholat. Saya juga ngajar kuliah agama. Pernah saya bertanya siapa yang dari kampung dibawai jimat berupa tulisan oleh orang tuanya. Dapatlah mengaku, ada 5 anak yang membawa jimat rajah...”tambah Ocha.
Dr Ocha punya 2 anak, sulung berusia 10 tahun, adiknya 8 tahun. Keduanya perempuan.
“ Saya pelihara kambing untuk mengajari tanggung jawab pada anak. Kebetulan suami suka pelihara ternak dan tanah kami masih luas. Saya bilang ke anak-anak, menggembala kambing itu pekerjaan para nabi, jadi kita ikuti  para nabi yang memelihara kambing. Anak-anak bergantian mengambil rumput untuk makanan kambing. Kambing kami ada 4 ekor....”
Aku salut dengan semangat dan idealitas Ocha.
“ Anak-anak ternyata suka, mereka sayang sekali sama kambing-kambing kami....”
Kami masih terus berbincang beberapa topik sepanjang jalan.
Tak terasa kami telah sampai di bandara. Perjalanan singkat yang penuh makna. Membuat kami terkesan dengan Aceh dan banyak sahabat di sana.
Selamat tinggal Aceh, selamat tinggal dr Ocha, pak Daniel, pak Roji dan pak wakil ketua, yang aku lupa siapa namanya. Jazakillah untuk semua yang memudahkan kunjungan kami.
Semoga Allah memberi kesempatan, kami bisa mengunjungi Aceh untuk kali yang selanjutnya, amin.
Jogjakarta, 2 Oktober 2012.




Penulis bersama dr. Ocha di depan Baiturahman



4 comments:

  1. Setelah bertahun-tahun ditulis, baru saja saya baca. Setelah menjalankan tugas menggoogle myself dari dosen di University of Sydney. Hahaha...senang sekali baca tulisan ini. Mbak Ida...jadi kangen

    ReplyDelete
  2. Sila mampir ke blog saya
    http://drrosariaindah.blogspot.com.au/

    ReplyDelete
  3. Itu pak daniel mas yang dimaksud bu laila..pak daniel mas yang dilhokseumawe kah bu?
    Wah keren beliau..ikut bagian dari cerita.
    ..

    ReplyDelete
  4. Itu pak daniel mas yang dimaksud bu laila..pak daniel mas yang dilhokseumawe kah bu?
    Wah keren beliau..ikut bagian dari cerita.
    ..

    ReplyDelete