foto koleksi pribadi |
Aceh, Baiturahman dan
Ocha
Mengunjungi Tanah
Retjong, belum sempurna jika belum ziyarah ke Masjid Baiturahman. Maka Senin, 1 Oktober 2012, saya menyempatkan
untuk mengunjunginya.
Setelah sarapan kami
chek out dari hotel Madinah, langsung menuju ke Masjid Baiturahman. Ini untuk
kali ke dua saya mengunjunginya. Pasca bencana tsunami, saya pernah sholat dan
mengisi pengajian ibu-ibu di masjid ini.
Yang mencengangkan
saat itu, Allah telah menyelamatkan masjid bersejarah ini dari bencana tsunami.
Banyak bangunan di sekitarnya yang rusak, namun masjid ini termasuk yang hanya
mengalami kerusakan kecil. Hanya satu tiang yang patah. Selebihnya utuh. Sisa
noda lumpur masih melekat di dindingnya.
Maka pada kali ke dua
aku menatapnya, keadaan sudah jauh berbeda. Lingkungan masjid sudah hidup
dengan berbagai pertokoan dan pasar. Di halaman masjid banyak tukang foto
menawarkan jasa foto sekali jadi. Rupanya sudah menjadi obyek wisata juga.
Setelah berfoto di
halaman, aku mengambil wudhu di tempat wudlu wanita. Terpisah dari bangunan masjid,
toilet dan tempat wudhu cukup bersih. Aku terkenang toilet di masjid nabawi
yang memiliki tempat duduk untuk berwudhu.
Memasuki ruang
serambi depan, terasa suasana khusyu’. Beberapa pengunjung sedang sholat dhuha.
Ada yang duduk berwirid. Ada juga yang membaca Al-Qur’an. Di serambi kanan, ada
sekelompok bapak-bapak sepertinya sedang rapat atau pengajian. Mereka duduk
melingkar.
Aku merasakan kenangan
seolah memasuki masjid Nabawi. Tenang, teduh dan suasana spiritual yang luar biasa.
Ku silent HP sebelum sholat dhuha. Saat itu seseorang menegurku. Subhanallah
rupaya Ocha, sahabat lama. Dr. Rosaria Indah (Ocha), adalah orang asli Aceh. Pernah kuliah di UGM, dan kami
berteman dulu. Sekarang beliau mengajar Fakultas Kedokteran Universitas di banda Aceh. Aku tidak
menyangka pertemuan ini.
“ Mbak Ida sholat
dulu, nanti biar ngobrolnya enak...” katanya mempersilahkan. Rupanya beliau
sudah hadir beberapa saat sebelum aku, dan tengah tilawah Qur’an saat
melihatku.
Hanya sedikit
diantara sekian masjid yang kukunjungi,
saat melaksanakan sholat, air
mataku bisa menderas. Tak ada kesedihan amat sangat yang kurasakan, namun aku
menangis saja. Seperti inilah rasanya saat berada di masjid Nabawi. Air mata
mengucur saja sejak menbaca Al-Fatihah hingga usai sholat.
Jika di rumah, betapa
hanya pada saat emosi yang ekstrim, air mata terbit saat sholat.
Setelah puas mereguk
nikmatnya dhuha di masjid, kami mengobrol sambil menuju halaman.
Rupanya Ocha sengaja
menunggu kami, karena sudah mengontak suamiku bahwa kami akan mampir ke masjid
sebelum meninggalkan Aceh.
Ocha bercerita
tentang sejarah masjid, menunjukkan lokasi bangunan utama yang mana, dibangun
oleh Sultan Iskandar Muda pada tahun
1022 H/1612 M. Mesjid raya ini memang pertama kali dibangun oleh pemerintahan
Sultan Iskandar Muda, namun telah terbakar habis pada agresi tentara
Belanda kedua pada bulan shafar 1290/April 1873 M, dimana dalam
peristiwa tersebut tewas Mayjen Khohler yang kemudian diabadikan tempat tertembaknya
pada sebuah monumen kecil dibawah pohon ketapang/geulumpang dekat pintu masuk
sebelah utara mesjid. Ocha menunjukkan lokasi meninggalnya jendral Khohler
tepat di air mancur di kolam halaman masjid.
Empat tahun setelah
Masjid Raya Baiturrahman itu terbakar, pada pertengahan shafar 1294 H/Maret
1877 M, dengan mengulangi janji jenderal Van Sweiten, maka Gubernur Jenderal
Van Lansberge menyatakan akan membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman yang
telah terbakar itu. Janji tersebut dilaksanakan oleh Jenderal Mayor Vander
selaku Gubernur Militer Aceh pada waktu itu. Dan tepat pada hari Kamis 13
Syawal 1296 H/9 Oktober 1879 M, diletakan batu pertamanya yang diwakili oleh
Tengku Qadhi Malikul Adil. Masjid Raya Baiturrahman ini siap dibangun kembali
pada tahun 1299 Hijriyah bersamaan dengan kubahnya hanya sebuah saja.
Pada tahun 1935 M,
Masjid Raya Baiturrahman ini diperluas bahagian kanan dan kirinya dengan
tambahan dua kubah. Dan pada tahun 1975 M terjadinya perluasan kembali.
Perluasan ini bertambah dua kubah lagi dan dua buah menara sebelah utara dan selatan.
Dengan perluasan kedua ini Masjid Raya Baiturrahman mempunyai lima kubah dan
selesai dikerjakan dalam tahun 1967 M. Saat itu aku belum lahir.
Demikianlah masih
dilakukan beberapa perluasan yang pembangunan kembali, hingga bentuknya yang
sekarang ini.
Kami mendengarkan dengan
penuh minat walaupun aku tidak bisa mengingat cerita sejarah masjid ini
sepenuhnya. Ocha bercerita layaknya guide dengan cukup cepat dan aku tidak
sempat mencatatnya. Jadi sebagian informasi ini aku cari info dari internet.
Ocha bercerita pula bahwa bulan depan akan pergi ke Canada untuk
presentasi makalah penelitiannya. Lalu sedang memproses S3nya ke Inggris. Hmm ibu
muda yang luar biasa.
Setelah membeli
beberapa suvenir, kami melanjutkan perjalanan menuju bandara Sultan Iskandar Muda.
Ocha yang ikut mengantar kami sibuk bercerita tentang berbagai macam hal.
Tentang proyek bukunya yang macet pada bab ke lima.
“ Gimana mbak, biar
bisa menyelesaikan buku nih. Saya macet nih...’
“ Wah jangan tanya
saya. Buku saya yang mangkrak juga banyak...” jawabku.” Tanya pak Cah saja...”
“ Judulnya apa Ocha
?” tanya suamiku.
“ Mak comblang
ustadz. Saya nih pernah sukses memproses nikah 38 orang. Dengan berbagai
lika-likunya. Saya mau berbagi cerita itu, walaupun nama-nama pelaku saya samarkan.
Namun juga ada 60 proses yang gagal ustadz...”
Kami tertawa bersama.
Ocha bercerita tentang mayam. Mahar emas yang biasanya diminta pihak calon
mempelai putri. Harganya sekarang sekitar 1,8 juta untuk satu mayam. Pada
wilayah satu dan lainnya berbeda dalam menetapkan ukuran mayam. Ada yang 10,
12, 14, 16, 17, 20, 25 mayam. Tergantung wilayahnya, status sosialnya dsb.
“ Kadang saya tutup
saja dulu biar segera berjalan prosesnya. Nanti mereka mencicil ke saya sampai
kapanpun semampunya. Karena berat tuh, nanti masih ada uang untuk beli tanda,
uang hangus, isi kamar lah...”
Hmmm lain ladang lain
belalang ya...
Dari perbincangan
dengan Ocha dan beberapa rekan lain, kami mengetahui sedikit banyak tentang
proses pernikahan dan adat istiadat di Aceh.
“ Bukunya yang 4 bab
diterbitkan dulu saja Ocha, bab selanjutnya nanti diterbitkan lagi...” usul.
suamiku.
”Masalahnya ustadz,
itu hanya sedikit. Tiap bab hanya 8 halaman, jadi baru 32 halaman...kan Cuma
jadi buku saku...” dan kami pun tertawa geli.
Suamiku menuturkan
resepnya untuk tetap produktif menulis. Ocha menyimak dengan penuh semangat.
Sesekali mengomentari dengan situasi yang dia alami.
Saya senang mendengar
cerita-cerita Ocha. Semua penuh semangat dan sarat hikmah.
“ Kalau saya bantu
teman untuk membayar mayam, saya rasakan rejeki saya terus berlimpah. Misal ada
nih yang akan nikah, saya tutup saja maharnya. Setelah itu saya dapat dana
penelitian 100 juta. Begitu terus berulang. Suatu ketika orang yang pinjam melunasi
pinjamannya, setelah itu waah kok agak seret nih rizki...”
“ Subhanallah mungkin
melapangkan orang lain dalam membayar hutang, akan membuat rizki kita bertambah
terus ya. Tapi kalau dia sudah mampu mengembalikan, masak ditolak mbak...”
“ Biar tetap ngalir
rizkinya Ocha, kalau ada yang mengembalikan pinjaman, kasih ke saya saja....”
seloroh saya. Begitulah obrolan kami penuh canda tawa.
“ Sekarang saya juga
praktek ustadz. Soalnya dipaksa sama mamak saya. Masak dokter tidak praktek,
begitu kata mamak saya...ya sudah saya praktek di dekat rumah. Praktek
bekam...’
“ Waah dokter bekam
dong...” kami pun terbahak lagi.
“ Orang Aceh nih,
kira-kira yang percaya dokter hanya 40 %. Itupun mereka lari ke Malaysia.
Lainnya percaya pada pengobatan alternatif...ada dukunlah, tabiblah...”
“ Jadi Ocha jadi
dokter alternatif...?” kataku. Dan kami tertawa lagi.
“ Saya banyak pakai
herbal mbak, pasien saya ada yang polisi, pejabat, anggota dewan, pengusaha...yah
macam-macamlah...kadang juga saya resepi obat modern. Tapi rata-rata pelanggan
saya adalah orang sehat yang ingin menjaga kesehatannya dan ingin memiliki
kesehatan jangka panjang...”
Hmmm menarik juga ya...
Hmmm menarik juga ya...
Rekan kami, pak Daniel
Mas, ikut menambah cerita.
“Ada cerita nih, orang
sakit pergi ke dokter. Dikasihlah resep sama dokternya. Maka diapun pulang.
Esok harinya datang kembali ia ke dokter, bilang terima kasih karena sudah
sembuh. Ketika ditanya apakah resepnya sudah diminum, betul tuh sudah diminum.
Kertas resepnya dimasukin air minum, lalu diminumlah dan ia merasa sembuh.
Kagetlah dokter dengan paien yang salah maksud...”
Kami makin geli.
Rupanya kepercayaan
itu masih kuat di kalangan masyarakat.
“ Nanti jam 2 saya
mau menghadap Rektor nih, kita mau kasih laporan berapa mahasiswa yang hafal
qur’an, berapa yang belum bisa baca qur’an...sekarang nih hanya 30 % mahasiswa
yang bisa baca Quran. Lainnya belum bisa baca. Ada juga yang tidak sholat. Saya
juga ngajar kuliah agama. Pernah saya bertanya siapa yang dari kampung dibawai
jimat berupa tulisan oleh orang tuanya. Dapatlah mengaku, ada 5 anak yang
membawa jimat rajah...”tambah Ocha.
Dr Ocha punya 2 anak,
sulung berusia 10 tahun, adiknya 8 tahun. Keduanya perempuan.
“ Saya pelihara
kambing untuk mengajari tanggung jawab pada anak. Kebetulan suami suka pelihara
ternak dan tanah kami masih luas. Saya bilang ke anak-anak, menggembala kambing
itu pekerjaan para nabi, jadi kita ikuti
para nabi yang memelihara kambing. Anak-anak bergantian mengambil rumput
untuk makanan kambing. Kambing kami ada 4 ekor....”
Aku salut dengan
semangat dan idealitas Ocha.
“ Anak-anak ternyata
suka, mereka sayang sekali sama kambing-kambing kami....”
Kami masih terus
berbincang beberapa topik sepanjang jalan.
Tak terasa kami telah
sampai di bandara. Perjalanan singkat yang penuh makna. Membuat kami terkesan
dengan Aceh dan banyak sahabat di sana.
Selamat tinggal Aceh,
selamat tinggal dr Ocha, pak Daniel, pak Roji dan pak wakil ketua, yang aku
lupa siapa namanya. Jazakillah untuk semua yang memudahkan kunjungan kami.
Semoga Allah memberi
kesempatan, kami bisa mengunjungi Aceh untuk kali yang selanjutnya, amin.
Jogjakarta, 2 Oktober
2012.
Penulis bersama dr. Ocha di depan Baiturahman |
Setelah bertahun-tahun ditulis, baru saja saya baca. Setelah menjalankan tugas menggoogle myself dari dosen di University of Sydney. Hahaha...senang sekali baca tulisan ini. Mbak Ida...jadi kangen
ReplyDeleteSila mampir ke blog saya
ReplyDeletehttp://drrosariaindah.blogspot.com.au/
Itu pak daniel mas yang dimaksud bu laila..pak daniel mas yang dilhokseumawe kah bu?
ReplyDeleteWah keren beliau..ikut bagian dari cerita.
..
Itu pak daniel mas yang dimaksud bu laila..pak daniel mas yang dilhokseumawe kah bu?
ReplyDeleteWah keren beliau..ikut bagian dari cerita.
..