Pernahkan suatu ketika anda tanpa
sengaja menyenggol atau menginjak orang yang belum anda kenal. Mungkin di
kendaraan umum, di tempat belanja, di terminal, di trotoar, di rumah makan atau
di tempat keramaian yang lain.
Apa yang kemudian anda ucapkan pertama kali ?
“Maaf tidak sengaja.. “ Tentu dengan tatapan bersalah, anda
akan segera meminta maaf.
Pernahkan ketika anda sedang berbincang dengan rekan kerja
anda, sahabat, relasi atau orang sudah anda kenal, tiba-tiba wajah teman
berbincang tersebut berubah. Menampakkan suasana hatinya. Jika anda merasakan
perubahan tersebut, anda akan bertanya,
“ Maaf, apakah saya telah menyinggung perasaan anda?”
“ Maaf, apakah pertanyaan saya membuat anda tersinggung...?
Kalau begitu lupakan saja”
Itu adalah dialog dan etika sehari-hari yang kita pakai pada
umumnya.
Demikian pula ketika seseorang yang tidak anda kenal berbuat
baik kepada anda. Suatu ketika tanpa sengaja ada barang anda yang tercecer,
mungkin pulpen, buku, kaca mata, topi atau dompet. Lalu seseorang mengejar anda
untuk mengembalikan barang tersebut. Tentu anda akan mengucapkan terima kasih.
Semakin besar nilai barangnya, anda akan semakin amat sangat berterima kasih.
Ketika seorang rekan berbaik hati membawakan barang anda,
menawari anda permen atau tisu, atau kebaikan kecil lainnya, anda akan
berterima kasih. Jika kebaikan itu dilakukan berulang-ulang, anda tentu ingin
membalasnya.
Itu juga bagian dari etika dan akhlaq yang baik.
Namun pernahkan anda memperhatikan hubungan dalam sebuah
keluarga.
Justru antara suami dengan istri, atau istri dengan suami,
atau orang tua dengan anak dan sebaliknya. Dalam hubungan yang sangat intens
dan berlangsung dalam waktu yang lama, tidak mustahil ada hal-hal yang membuat
tidak nyaman. Kesalahan kecil atau bahkan kesalahan besar. Namun apakah terjadi
pola segera meminta maaf?
Ketika ada kata-kata yang
menyakitkan, ketika meninggalkan musyawarah dalam mengambil keputusan, ketika lupa
janji. Terasa berat untuk meminta maaf justru pada orang yang dekat, dengan
pasangan atau dengan anak. Padahal istri sampai menangis tidak dapat tidur
karena terluka hatinya. Padahal anak sampai terisak-isak lantaran sedihnya.
Atau mungkin suami sudah sangat geram
dan sedih lantaran perbuatan istri.
Demikian pula dalam hal mengukur
dan menghargai kebaikan pasangan, anak atau orang tua. Seorang istri yang
mendapat nafkah bulanan dari suaminya, apakah setiap kali suaminya memberi maka
ia mengucapakan terima kasih ?
“Alhamdulillah, terimakasih ayah, atas uang belanjanya..”
Namun tak jarang yang justru memberengut, dan berkata ketus:
“ Kok cuma segini ayah, mana cukup...?!”
Atau mungkin ada yang berdalih, “ kan suami memberi istri
itu adalah kewajibannya, jadi memang seharusnya demikian. Tidak perlu setiap
kali berterimakasih...”
Ketika pasangan mau melayani hubungan, ketika suami memberi
nafkah bati, pernahkan terucap terima kasih kepada pasangan ?
Saat seseorang tidak melakukan
kewajiban, secara umum akan dianggap sebagai orang yang tidak baik.Maka setiap
orang melakukan kewajiban, tentu merupakan kebaikan.Bukankah tukang parkir yang
membantu anda memutar mobil, dan andapun membayarnya, masih anda ucapkan terima
kasih...?
Ada pasangan yang telah lama pisah
ranjang lantaran istri menolak melayani suami, atau sebaliknya suami yang tak
pernah lagi memberi nafkah batin, padahal pasangannya sangat membutuhkan. Jika
ada yang melakukan kewajiban tersebut, bukankah itu kebaikan yang layak untuk
mengucap terima kasih.
Sebaliknya juga seorang suami yang
menyaksikan istrinya melakukan banyak hal untuk dirinya dan anak-anaknya.
Mendapati anak yang sudah dimandikan, wangi bersih dan sehat, acapkali seorang
ayah menganggap biasa saja. Tak ada terima kasih pada istri yang telah
melakukannya. Namun jika pembantu yang melakukan dan menyerahkan anak yang
sudah bersih dan cakep itu, sang ayah akan bilang “ terima kasih bik..”
Seorang istri yang sudah ikut
banting tulang mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga, membantu
menemani anak belajar, membuat minum, menyuapi anak, memasak makanan....belum
tentu terucap terimakasih dari suami dan anak-anak.
Jika anda membayar guru les privat
yang menemani anak belajar selama 1 jam, dan anda telah membayarnya, ia
berpamitan dan anda akan mengucapkan terima kasih. Apalagi jika nilai anak
menjadi bagus, mungkin anda rela memberinya bonus. Para suami yang mendapati
istrinya membimbing anak segera bisa membaca, menjadi juara dan berprestasi,
belum tentu berterima kasih atas semua jasa istrinya.
“ Ah kan kewajiban ibu untuk menemani belajar dan mendidik
anak...” sesekali ada juga yang berdalih demikian.
Lah, kalau ada ibu yang menelantarkan anaknya, anak belajar
malah ditinggal nonton sinetron. Anak lapar tidak diberi makan, anak sakit
dibiarkan...apakah itu perbuatan baik? Tentu orang akan menyumpahi...,” ibu
macam apa itu!”
Jadi, jadi...
Hmm mulailah merenungkan. Apakah
diri kita bagian dari ilustrasi standar ganda? Dimanakah posisi anda? Apakah
anda adalah orang yang mudah meminta maaf kepada orang asing dan enggan untuk
segera meminta maaf pada istri atau anak. Semoga tidak demikian. Semoga anda
adalah orang yang ringan untuk meminta maaf dan memaafkan pasangan.
Apakah anda orang yang pelit berterimakasih kepada pasangan
dan anak, sementara mudah berterimakasih kepada teman atau orang asing...?
Jika demikian, saatnya untuk bertaubat. Sadarlah, segera
meminta maaf dan segera berterima kasih.Sebelum terlambat.
Maaf jika ada yang tersinggung.
Sekedar perenungan dan pengingatan ya...
malam Mak..
ReplyDeleteoiya.. mak mau jd sponsor di GA saya?
bisa japri ke emailku ya mak..
di andic.noorma@gmail.com
terima kasih
Haloo Mak Noorma, siapa nih jadinya pemebang GA nya ?
ReplyDelete