Pages

Wednesday, October 9, 2013

Belajar dari Penjual Sayur

.

Pengajian ibu-ibu
Pada tahun 2000-an, saya pernah berkenalan, berinteraksi  beberapa tahun dengan seorang pedagang sayur. Mbak Yuli  namanya. Ibu dari dua anak ini, istri seorang aparat kepolisian.
Mbak Yuli  adalah tipe pedagang gaul dan modern, namun tetap bersahaja. Ia mengendarai sepeda motor butut untuk memuat keranjang sayurnya. Ia berbusana seperti kebanyak ibu-ibu paruh baya. Kadang pakai rok, kadang setelan celana. Rambutnya keriting kemerahan terpanggang sinar matahari.
Tahun 2000 dia sudah punya Hp dan sering menerima pesanan barang belanjaan via sms. Kadang pembelinya juga menelepon untuk dibawakan bahan sayur ini-itu. Kadang ia menelepon balik untuk memperjelas pesanan...hehe pulsanya tidak ditagihkan ke pemesan. Mungkin dihitung ongkos operasional.
Setiap hari ia menyempatkan mampir di depan Apotek tempat kerjaku dan aku menyempatkan belanja sayuran darinya untuk kumasak esok hari. Barang dagangannya lumayan lengkap, bahkan nuggetpun ia membawa. Jika membutuhkan sesuatu, aku memesan belanjaan agar esok aku tak perlu belanja ke tempat lain. Kami menjadi akrab dan sering bertukar cerita. Ia kadang meminta nasehat dan mengeluhkan suaminya yang kadang bermain judi.
“Polisi kok main judi…?” tanyaku heran.
“Begitulah bu, akibat pergaulan,  pripun  (bagaimana) caranya biar berhenti…”
“ Doakan saja selain menasehati, mbak Yuli  sholat malam, trus doakan suaminya agar taubat. Yakinlah bahwa Allah yang akan membukakan hati suamimu….”
“ Sudah bu. Saya kalau mendo’akan anak –anak dan suami, sampai saya sebut namanya, alamatnya, netonnya  (hari kelahirannya versi jawa), tanggal lahirnya, pokoknya datanya lengkap…saya doakan pakai bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, lha saya tidak bisa bahasa Arab.” Katanya dengan lugu.
“ Waah kenapa harus begitu, kan cukup namanya saja sambil membayangkan siapa yang kamu maksud” komentarku.
“ Lho, misalnya nama Agus, kan yang bernama Agus banyak bu. Nanti ndak keliru sama Agus yang lain…biar jelas gitu lho bu…” katanya mantap.
Aku tertawa, ada-ada saja, pikirku, masak bisa Allah keliru.
“ Pareng mboten bu…(boleh tidak bu )?  Mendoakan sampai disebut detail begitu…pakai bahasa Jawa ?” katanya sungguh-sungguh melihat aku justru tertawa.
“ Ya boleh saja…” jawabku meyakinkannya..
“ Ada lagi bu, dia itu tidak mau Jumatan kalau tidak diupahi…”
“ Berapa upahnya mbak…?” Tanya suamiku yang kebetulan sedang menjemputku, tertarik nimbrung.
“ Dua puluh ribu pak, kalau lima ribu, atau sepuluh ribu, tidak mempan…”
“ Waah…lha  yang khotbah Jumat dapat amplop sepuluh ribu kok suamimu yang peserta dapatnya dua puluh ribu…” kami tertawa bersama.
Sungguh mbak Yuli  ingin, suaminya menjadi baik, sampai rela memberi upah  agar mau berangkat sholat Jumat. Ketika saya sarankan untuk mengajak suaminya pengajian, kata mbak Yuli, tak ada pengajian bapak-bapak di lingkungannya.

Sudah lama saya tidak lagi berjumpa dengan mbak Yuli, lantaran sudah belasan  tahun ini saya pindah kerja. Yang selalu kuingat adalah dua hal itu, caranya berdoa yang sampai menyebut identitas orang yang didoakan hingga jelas dan caranya memberi  reward agar suaminya mau mengerjakan sholat. Semoga sekarang suaminya menjadi lebih baik, berhenti main judi dan rajin sholat. Semoga mbak Yuli  tidak pernah lelah membimbing dan mendoakan suami dan anak-anaknya, amin.

Banyak kutemui para perempuan yang lebih religius. Lebih mudah diajak untuk hadir di pengajian, mendengar ceramah dan sebagainya. Makanya banyak majelis taklim ibu-ibu dan mungkin tidak banyak majelis taklim bapak-bapak. Sesungguhnya memang timpang jika dalam keluarga yang baik hanya satu fihak saja. Mestinya kesadaran beragama dimiliki oleh orang tua, ayah dan ibu. Agar terjadi keselarasan dan kesamaan keteladan bagi anak-anaknya. Pe eR masih banyak untuk membaikkan keluarga dan masyarakat.

No comments:

Post a Comment