.
Pengajian ibu-ibu |
Mbak Yuli adalah
tipe pedagang gaul dan modern, namun tetap bersahaja. Ia mengendarai sepeda
motor butut untuk memuat keranjang sayurnya. Ia berbusana seperti kebanyak
ibu-ibu paruh baya. Kadang pakai rok, kadang setelan celana. Rambutnya keriting
kemerahan terpanggang sinar matahari.
Tahun 2000 dia sudah punya Hp dan sering menerima pesanan
barang belanjaan via sms. Kadang pembelinya juga menelepon untuk dibawakan
bahan sayur ini-itu. Kadang ia menelepon balik untuk memperjelas pesanan...hehe
pulsanya tidak ditagihkan ke pemesan. Mungkin dihitung ongkos operasional.
Setiap hari ia menyempatkan mampir di depan Apotek tempat
kerjaku dan aku menyempatkan belanja sayuran darinya untuk kumasak esok hari. Barang
dagangannya lumayan lengkap, bahkan nuggetpun ia membawa. Jika membutuhkan
sesuatu, aku memesan belanjaan agar esok aku tak perlu belanja ke tempat lain. Kami
menjadi akrab dan sering bertukar cerita. Ia kadang meminta nasehat dan
mengeluhkan suaminya yang kadang bermain judi.
“Polisi kok main judi…?” tanyaku heran.
“Begitulah bu, akibat pergaulan, pripun (bagaimana) caranya biar berhenti…”
“ Doakan saja selain menasehati, mbak Yuli sholat malam, trus doakan suaminya agar
taubat. Yakinlah bahwa Allah yang akan membukakan hati suamimu….”
“ Sudah bu. Saya kalau mendo’akan anak –anak dan suami,
sampai saya sebut namanya, alamatnya, netonnya (hari kelahirannya versi jawa), tanggal
lahirnya, pokoknya datanya lengkap…saya doakan pakai bahasa Jawa dan bahasa
Indonesia, lha saya tidak bisa bahasa Arab.” Katanya dengan lugu.
“ Waah kenapa harus begitu, kan cukup namanya saja sambil
membayangkan siapa yang kamu maksud” komentarku.
“ Lho, misalnya nama Agus, kan yang bernama Agus banyak
bu. Nanti ndak keliru sama Agus yang lain…biar jelas gitu lho bu…” katanya
mantap.
Aku tertawa, ada-ada saja, pikirku, masak bisa Allah
keliru.
“ Pareng mboten bu…(boleh tidak bu )? Mendoakan sampai disebut detail begitu…pakai
bahasa Jawa ?” katanya sungguh-sungguh melihat aku justru tertawa.
“ Ya boleh saja…” jawabku meyakinkannya..
“ Ada lagi bu, dia itu tidak mau Jumatan kalau tidak
diupahi…”
“ Berapa upahnya mbak…?” Tanya suamiku yang kebetulan
sedang menjemputku, tertarik nimbrung.
“ Dua puluh ribu pak, kalau lima ribu, atau sepuluh ribu,
tidak mempan…”
“ Waah…lha yang
khotbah Jumat dapat amplop sepuluh ribu kok suamimu yang peserta dapatnya dua
puluh ribu…” kami tertawa bersama.
Sungguh mbak Yuli ingin, suaminya menjadi baik, sampai rela
memberi upah agar mau berangkat sholat
Jumat. Ketika saya sarankan untuk mengajak suaminya pengajian, kata mbak Yuli,
tak ada pengajian bapak-bapak di lingkungannya.
Sudah lama saya tidak lagi berjumpa dengan mbak Yuli,
lantaran sudah belasan tahun ini saya
pindah kerja. Yang selalu kuingat adalah dua hal itu, caranya berdoa
yang sampai menyebut identitas orang yang didoakan hingga jelas dan caranya
memberi reward agar suaminya mau
mengerjakan sholat. Semoga sekarang suaminya menjadi lebih baik, berhenti
main judi dan rajin sholat. Semoga mbak Yuli tidak pernah lelah membimbing dan mendoakan
suami dan anak-anaknya, amin.
Banyak kutemui para perempuan yang lebih religius. Lebih
mudah diajak untuk hadir di pengajian, mendengar ceramah dan sebagainya.
Makanya banyak majelis taklim ibu-ibu dan mungkin tidak banyak majelis taklim
bapak-bapak. Sesungguhnya memang timpang jika dalam keluarga yang baik hanya
satu fihak saja. Mestinya kesadaran beragama dimiliki oleh orang tua, ayah dan
ibu. Agar terjadi keselarasan dan kesamaan keteladan bagi anak-anaknya. Pe eR
masih banyak untuk membaikkan keluarga dan masyarakat.
No comments:
Post a Comment