Foto koleksi pribadi putriku |
Suatu siang yang panas. Aku membaca komik yang sudah kuulang
tiga kali, bahkan aku hampir hafal dialog dan gambarnya. Ya bagaimana lagi aku
lagi bosan dan pengin mengantuk. Biasanya dengan membaca aku akan segera
mengantuk. Benar juga aku jadi uaaahhh…!
Aku baru saja dua menit memejamkan mata ketika kegaduhan yang
tidak kuharapkan datang.
“ Mamaa….mama……huu
huu…”
Anak tetangga, satu diantara tiga berandal kecil, sebutanku
untuk mereka lantaran salalu ribut dan membuat keributan. Kudengaria menangis
meraung-raung. Kuambil bantal dan kututup telinga dan wajahku. Namun suara
tangisan dan teriakan itu tidak mereda. Aku berpindah ke lantai dan tidur di
kolong diatas karpet, tidak juga membawa hasil.
”Mamaaa….maamaaa, huhu…..”
”Mamaaa….maamaaa, huhu…..”
Makin merajalela. Sudah setengah jam dan akhirnya aku beranjak
ke jendela dengan sebal. Kamarku ada di lantai dua, dan ada jendela menghadap
ke halaman belakang dan merupakan samping rumah tetangga belakangku.
Kupincingkan mata untuk melihat sela-sela pepohonana. Kulihat si anak tersebut
masih melolong. Ada satu anak kecil lagi di dekatnya sedang menunggui dengan
ketakutan.
Ternyata yang menangis dua anak. Pantesan saja sangat bising. Kulihat keduanya basah kuyup. Yang besar memegangi kran air yang bocor dan muncrat-muncrat.si anak satunya memegangi selang. Di sekitarnya air melimpah seperti sawah baru diairi…
Ternyata yang menangis dua anak. Pantesan saja sangat bising. Kulihat keduanya basah kuyup. Yang besar memegangi kran air yang bocor dan muncrat-muncrat.si anak satunya memegangi selang. Di sekitarnya air melimpah seperti sawah baru diairi…
Aku jadi sebal sendiri. Aku capek dan mengantuk, namun aku
juga kasihan melihat mereka sepertinya butuh pertolongan.
Kemana orang tuanya? O ya kuingat ayahnya ada di luar kota.
Hanya pulang jika Sabtu Ahad. Ibunya kerja, maghrib nanti baru pulang. Kemana
pula pembantunya. Jangan-jangan lagi pergi, kulihat pintu rumah tertutup.
Aku segera bergegas turun dan mengentuk pintu kamar nenekku.
Aku tidak mau ke sana sendirian. Aku akan minta pendapat nenekku. Wah kasihan
juga siang2 jam 14, Nenek yang tengah mengantuk bertanya, " Ada apa?”
Hmm aneh juga. Bukankah kamar nenek persis di bawah kamarku,
apakah nenek tidak mendengar keributan tetangga?
Kalau tidak melihat memang iya, kan rumah kami dipagar tembok tinggi. Tapi ya dasar nenek-nenek, mungkin sudah tidak terlalu mendengar kebisingan itu, sehingga masih bisa mengantuk.
Kalau tidak melihat memang iya, kan rumah kami dipagar tembok tinggi. Tapi ya dasar nenek-nenek, mungkin sudah tidak terlalu mendengar kebisingan itu, sehingga masih bisa mengantuk.
“Itu lho nek, anak tetangga…kok nangis dan teriak-teriak
terus…ayo kita tengok nek…"
Aku tak perlu mengulangi penjelasanku, nenek segera mengambil
kerudung dan bergegas keluar. Mengganti selopnya dengan sandal jepit. Setengah
berlari kami memutari rumah. Kami tidak punya pintu belakang, jadi harus
memutar rumah dan melewati satu rumah tetangga untuk sampai ke TKP…
Wah nenek jalannya cepat juga…
Segera nenek menuntun 2 anak yang melolong-lolong. Kulihat
ekspresi ketakutan, kecemasan dan kedinginan. Gentian aku yang memegangi kran
bocor sialan itu. Hingga akupun basah kuyup. Nenek mengetuk pintu dengan keras,
memutar ke pintu yang lain, pintu samping. Setelah beberapa saat, terbuka dan
greng..greng munculah sang pembantu.
Anda tentu tahu kelanjutannya, nenekku yang gagah segera memarahi pembantu yang membiarkan dua anak itu basah kuyup mengurus kran bocor, ah bukan bocor lagi, jebol!
“Ya biar nek, diberi tahu gak boleh main kran, main air kok
tidak nurut. Sekarang kapok tuh, krannya rusak kan, nanti biar dimarahi mamanya”
sahutnya sambil mendelik ke arah dua
anak yang menggigil antara dingin dan takut.
Waah hebat juga ya si embak, malah gantian marah.
Lah nenek juga jadi makin berang.
“Gimana tho mbak. Ya lihat-lihat. Ini kalau nanti sakit gimana
? Kalau mau marah nanti saja sekarang diganti dulu bajunya biar hangat. Biar
aku panggilin tukang untuk betulin krannya…”
Nah lo, kena batunya dia, pembantu kok seenaknya. Eh kulihat
juga tidak seenaknya, karena ternyata di dalam dia mengurus dua batita…walah !
Tapi aku juga gak enak nih. Masak aku jadi yang menanggung
akibat kran jebol ini. Berdiri dio bawah terik matahari dan kena muncratan air…
“Eyang biar saja ini tak tinggal ya. Listriknya dimatiin saja
biar pompanya mati. Ntar kalau air di tower habis kan berhenti sendiri…”
“Ya ya “ jawab eyang.
“...dan cukup untuk jadi kolam baru di halaman ini…"
kataku,tapi dalam hati saja.
Aku kembali pulang dan masuk kamar. Tapi hilang sudah selera kantukku.
Aku ganti baju dan tiduran terlentang.
Peristiwa tadi membuat aku berfikir, kalau aku sekecil dia,
tentu aku juga akan meraung-raung ketakutan dalam kondisi seperti itu. Sekarang
aku 17 tahun, klas 3 sma dan tinggiku saja 170 cm. Anak-anak itu baru klas 2 SD
dan TK. Huh salah sendiri iseng amat main air....gak nurut dinasehati. Tapi kan
kata ibuku waktu masih kecil aku juga usil banget. Entahlah, yang jelas aku gak
mau punya anak banyak yang kutinggal di rumah hanya dengan seorang pembantu.
( Cerita ini kudapat dari anak gadisku. Kututur ulang untuk
para pembaca dan untuk diriku sendiri. Bagaimanapun aku bersyukur bahwa anak
gadisku masih peduli pada urusan anak tetangga, sekalipun tetap menggerutu!).
No comments:
Post a Comment