Tulisan ini pernah saya muat di FB, ini versi blog dengan tambahan informasi terbaru.
MARGINI SAAT IKUT PIKNIK KE RAWA PENING |
Perawakannya tegap untuk ukuran perempuan Jawa,
kulitnya tergolong gelap karena sering terpanggang matahari. Ia suka tersenyum
menampakkan geretan gigi yang cukup rapi dan cukup putih. Ia suka bergaul dan
terlebih lagi suka bercerita atau mengobrol. Kalau mulai bercerita, kita akan
kesulitan menghentikannya.
“Saya ini sekolah hanya sampai SMP klas 3 bu, tidak
saya lanjutkan karena keadaan...” katanya suatu ketika. Lalu
mengalirlah cerita tentang masa kecil dan keluarganya. Kehidupan yang cukup
berat dalam himpitan ekonomi.
Menurutku, ia tergolong perempuan unik yang super hebat. Mungkin satu-satunya di kampungku. Dia tidak lulus SMP , namun sekarang menjalankan banyak bisnis. Salah satunya menjadi juragan batu-bata, maksudnya menyewa tanah dan membayar orang upahan untuk memproduksi batu-bata, lalu menjualnya. Beberapa tetangga adalah karyawannya.
Mungkin tanah di kampungku dan sekitarnya, dialah diantaranya yang punya andil cukup besar dalam proses pengerukan hingga rata-rata turun 1 meter dari jalan raya. Kubayangkan 10 tahun lagi jika usaha produksi batu-bata tidak dihentikan, maka akan menjadikan jalan kampungku menjadi jalan layang. Atau lebih buruk lagi semua area sawah menjadi kubangan kolam.
Ia juga punya ternak sapi. Bukan hanya satu, bahkan tiga ekor, karena baru-baru ini sapinya yang satu melahirkan. Anak-anaknya yang mulai beranjak besar, juga diberdayakan dalam memberi makan dan memandikan sapi. Jadi bergantian mereka memberi makan, minum dan merawat sapinya.
Karena beberapa penduduk kampungku memelihara sapi bersama-sama, maka bagi Margini ada ladang bisnis lain, jasa membeli rendeng, yaitu pakan ternak berupa tanaman kacang tanah yang sudah dicabuti. Dia beli seharga Rp. 14.000 dan dijualnya Rp.17.000 perikat. Labanya tidak banyak, tapi sehari rata-rata ada pesanan 3-5 ikat. Kadang bisa 7-9 ikat ketika tetangga yang lain sedang sibuk, misal ada yang punya kerja. Dua ikat rendeng bisa untuk memberi makan 3 ekor sapinya selama sehari saja.
Dari ceritanya aku baru tahu, ternyata memelihara sapi juga memerlukan uang banyak. Tapi kalau sempat ngarit, mencari rumput sendiri, biaya rendeng bisa dikurangi. Sapinya juga dikombor dengan dedak dan air hangat. Kadang dengan campuran jerami. Dimandikan seminggu 2x. Ia sudah mahir memandikan sapi. Ada lokasi pemandian sapi di sungai tak jauh dari kandang sapi yang berjajar di tepi desa.
Ada lagi bisnis hebatnya yang tidak ada pesaing di kampungku. Biro jasa. Biro jasa segala macam. Dari mencarikan perijinan kartu miskin, Jamkesos, mengurus SIM, hingga advokasi ke LSM.
Beberapa kali terjadi, tetangga yang tidak mampu, harus melahirkan dengan proses cesar, maka dialah yang menguruskan hingga bisa gratis. Padahal sebagai keluarga muda, mereka belum punya kartu miskin. Demikian pula beberapa tetangga lagi yang opname, dia carikan bantuan ke LSM untuk mendapat advokasi dan keringanan pembiayaan.
Saat bencana meletusnya gunung Merapi, ia juga menjadi relawan bersama sebuah LSM, membagikan sembako dan lain-lain selama beberapa hari di lokasi pengungsian.
Wah aku geleng-geleng kepala melihat networking-nya. Aku adalah salah satu pelanggannya. Aku dibantunya untuk mengurus SIM A dan C, demikian pula banyak tetangga yang lain, karena ia sudah dikenal oleh para petugas di kepolisian. Orang memberinya tips sekedarnya sebagai ucapan terimakasih.Jika yang ia tolong orang yang tidak mampu, ia bahkan menolak tips itu. Kemarin seharian ia mengantar mbah tetanggaku yang sakit, berobat ke luar kota, tanpa mau diberi imbalan. Malamnya aku masih bertemu dengannya saat mencarikan obat tradisional untuk yang sakit.
Namun banyak lagi aktivitas sosialnya. Ia adalah orang yang paling rajin jemput bola berkeliling dari rumah ke rumah mengambil iuran beras saat ada penduduk yang meninggal. Ia juga tidak segan membantu memandikan jenazah. Jika ada yang punya kerja mantu dan sebagainya, ia termasuk aktivis rewangan. Aku sering dibantunya ketika piket memberi konsumsi pengajian di masjid, ia akan datang mengingatkan dan mengambil konsumsinya, lalu mengembalikan peralatannya. Sungguh ringan kaki dan tangan.
Jika ada orang yang akan nikah, maka ia akan mengantarkan pengurusan surat nikah. Jika ada yang akan cerai, dia juga mengantarkan orangnya, membantu mengurus surat-surat dan menunggui persidangannya. Sampai petugas KUA sudah hafal dengannya. Dan acapkali bertanya :
“Kamu ini tukang menceraikan orang atau tukang membantu orang menikah...?”
Dia tersipu-sipu, dan menjawab:
“Lha saya dimintai tolong tetangga, masak tidak mau Pak...”
“Pokoknya kamu mulai sekarang tidak boleh lagi mengantar orang
bercerai...” kata petugas. Margini mengiyakan saja.
Jika ada yang cari KTP, ia ikut repot. Sebelum ada E KTP, jika urusan KTP, serahkan saja padanya, layan antar dijamin beres dalam 1-2 hari.
Jika ada pilihan dukuh atau lurah, ada saja yang memakai
tenaganya untuk mengumpulkan suara. Kerennya, ia tak mau menerima imbalan uang
dari calon yang didukungnya karena sesuai dengan pilihannya sendiri.
Akhir-akhir ini bisnisnya merambah ke dunia pertanahan. Ia sudah sering menjadi makelar jual beli tanah. Informasinya luas untuk wilayah di sekitar saya. Jika anda mencari lokasi untuk menjadi tetangga saya, ia siap membantu hingga proses balik nama dan pengeringan.
“Saya kalau jadi makelar bicara apa adanya, tidak mbathi (mengambil keuntungan). Saya hanya mendapat persen saja. Tandanya mudah bu, kalau saya bicara blekak-blekuk, itu artinya saya tidak jujur. Kalau saya bicaranya lancar, berarti saya bicara apa adanya...” katanya padaku.
Namun semua jerih payahnya ada juga tetangga yang tidak suka, memandang miring, dan menyindir dengan berbagai ungkapan. Situasi seperti ini umum terjadi di perkampungan.
“Saya ndableg saja bu, yang penting pekerjaan saya jujur
dan halal. Saya sedang mencari ragad (biaya) untuk kuliah anak pertama saya
yang keterima di jurusan Pendidikan Matematika...uang masuknya 9 juta, baru
saya bayar 3 juta. Saya masih harus kerja keras lagi ”
Begitu katanya. Memang anak gadisnya mewarisi kecerdasannya dengan mengambil jurusan matematika di sebuah kampus swasta. Si anak gadis ini juga membuka les privat untuk meringankan beban orang tuanya.
“Selain itu, saya bekerja atas ridho suami saya, jika ia keberatan, maka usaha itu akan saya tinggalkan. Pokoknya saya manut suami saya...”
Saya membayangkan sosok suaminya, sangat lurus, tukang adzan di masjid, yang jarang bicara dan sedikit pemalu. Sehari-hari mengelola bisnis batu-bata dan batako di rumahnya. Nyaris tidak pernah bepergian. Pribadi yang sangat berbeda dengan istrinya. Suaminya, pak Marwan inilah yang menjaga Margini dari ketergelinciran langkah.
Perempuan itu, Margini namanya. Itulah perempuan desa berkulit gelap, tinggi besar yang kalau bicara lantang dan ceplas-ceplos.
Kira-kira kalau dulu lulus SMA dan sempat kuliah, dia bisa jadi
politisi di Senayan. Sekiranya sempat lulus SMA, mungkin akan tiba saatnya jadi
caleg partai di tingkat Kabupaten. Sedangkan tanpa tamat SMP, ia bisa lakukan
banyak hal. Kulihat kuncinya ada pada sikapnya yang terbuka, suka bergaul, suka
menolong dan keberaniannya yang luar biasa.
Tulisan ini adalah ungkapan kekagumanku pada sisi baik yang dimilikinya. Tentu ia juga punya kekurangan, namun bukan pada tempatnya untuk diceritakan.
Mungkin masih banyak pahlawan-pahlawan akar rumput semacam
Margini bertebaran di bumi ini. Hanya kita saja yang kurang tahu untuk dapat
mengapresiasi. Kudoakan semua kebaikan untuk Margini, agar ia selalu ikhlas dan
dilindungi. Amin.
Semoga anda dapat memetik hikmah dari cerita ini.
***
Wah, saya sampai capek baca kehebatan beliau. Saya yang masih muda jadi malu dan nggak mau kalah ah untuk berbuat baik dengan sesama.
ReplyDeletehidupnya bener2 bermanfaat untuk orang lai ya mbk...apalagi dengan restu dari suami,berkah tentunya :D
ReplyDeletekagum sama kehebatannya
ReplyDeleteWanita heubat yang luar biaa ...
ReplyDeleteitu salah satu dari tetangga saya yang sungguh menginspirasi. makasih kunjungannya Fitri anita, Lidya, Hanna, Ika hardyan...
ReplyDeleteKeren... jadi malu kalau ngaca :)
ReplyDeletejangan dibelah kacanya ya Euisry Noor...makasih sudah berkunjung.
ReplyDeletebetul sekali bu,, selalu saja ada yg mungkin iri dengan keberhasilan orang yang ulet seperti bu margini ini.. padahal banyak sekali yang bisa kita teladani dari seorang ibu margini ini..
ReplyDeletemakasih ya udah berkunjung mak.
Delete