Pages

Thursday, March 13, 2014

Anakku Korban Bullying (4)

Bagian ke 4.

Takut

Inikah ujianku ya Allah? Saya yang seringkali berceramah tentang pendidikan anak, bahkan hingga ke banyak kota di Indonesia. Saya yang sering menerima konsultasi dan melakukan pendampingan anak-anak yang bermasalah...sekarang seperti dipurukkan pada situasi yang sebaliknya. Anakku sendiri menjadi kasusku!

Tak cukup hanya meratapi dan menyesakkan dada sendiri. Saya menenangkan diri dan kembali ke kantor. Saya berpesan pada suami agar jika anak pulang, segera menelepon mengabariku. Tak sabar rasanya bertanya tentang banyak hal.

Jam 12 suamiku memberi kabar kalau anakku sudah pulang.
Saya bergegas pulang bagai terbang saja menyetir sambil menata hati dan rencana percakapan. Saya tahu karakter anakku, hatinya sangat lembut, tentu saya tak ingin melukai dengan berbagai tuduhan. Saya hanya ingin mendengar cerita dulu versi dia. Itu saja.

Sampai  di rumah, kudapati ia meringkuk tidur di kamarnya di lantai 2 dalam keadaan sesak nafas yang parah.
Kusentuh kakinya perlahan.
“Mas...”
“Aku sesak Mi...”
“Ya, Umi nebulasi sekarang....” kataku sambil menahan tangis. Apakah tega aku menuduhnya macam-macam sedangkan ia dalam keadaan yang demikian.  Kusiapkan alat mengasapi dan ventolin untuk mengurangi sesaknya. Selama nebulasi saya hanya memandanginya tanpa kata-kata. Biarlah ia menyelesaikan sesak nafasnya dulu.

(Hmm sebentar ya, harus jeda dulu, sekarang saya menangis lagi saat menuliskan ini.)


Acara nebulasi selesai. Ia berbaring dan diam mematung. Aku duduk disampingnya setelah memberesi alat.
“ Mas mau cerita apa sama Umi...?”
“Aku takut...”
“Takut sama siapa?”

Ia mulai menangis, aku berhenti untuk menunggu tangisnya reda.
“Gurumu tadi ke sini, katanya kamu tidak sekolah, bahkan kamu belum pernah masuk sekolah sejak pulang umrah...’
“Aku takut pergi ke sekolah...’
“Takut sama siapa? Sama guru?” ia menggeleng sambil menyeka air matanya.
“Sama temanmu?”

 Ia mengiyakan lirih.
“Teman sekelas?” ia menggeleng.
“Teman sekelasku baik semua...”
“Kakak kelas?” ia mengangguk.
“Makanya aku minta pindah sekolah, aku takut diancam sama kakak kelas...” katanya lirih.
“Diancam apa?”
“Aku tak bisa cerita...” ia mulai menangis lagi. Aku khawatir sesaknya yang barusan reda kambuh lagi. Jadi aku tak melanjutkan.

“Kamu bangun sholat dan makan yuk, nanti Umi akan urus pindah sekolah. Cuma kata gurumu mungkin kamu tidak naik kelas, jadi di sekolah yang baru bisa jadi kamu juga tidak naik kelas...”
“Gak papa, aku tidak naik kelas yang penting aku pindah sekolah, makannya nanti saja, aku mau tidur dulu” ia kembali meringkuk, aku meninggalkannya setelah memberinya obat dan menyuruhnya sholat sebelum tidur.

Siang itu suamiku langsung menelepon ke sekolah yang dulu pernah kami kunjungi, membuat janjian untuk bertemu kepala sekolah. Suamiku berangkat untuk menanyakan apakah anakku bisa langsung pindah dan masuk esok pagi. Alhamdulillah, diijinkan. Bahkan surat pindahnya boleh telat sehari. Kebetulan Kepala sekolah dan guru adalah teman-temanku sendiri yang telah mengenal anakku sejak kecil.

Begitulah hari Selasa anakku berangkat ujian dalam keadaan sedikit sesak nafas. Aku pergi ke sekolah lamanya untuk mengajukan surat pindah yang kedua kali. Rasanya tak punya muka layaknya orang tua yang gagal dalam mendidik anak. Saya diminta datang lagi esok hari karena prosesnya tidak bisa sehari. Ada berkas dan rapor yang harus diproses. Jadi hari Rabu saya akan kembali lagi.

Menindaklanjuti laporan guru bahwa anakku pernah merokok dan kecanduan game, saya menggeledah tas dan lemari buku anakku.

Dan sungguh saya terkejut. Kudapati dalam salah satu tas yang sering dibawanya ada korek api dan ada cd game. Kubau-baui barang-barangnya untuk mencari bau rokok, namun saya tidak bisa menemukan. Hingga saat itu semua masih gelap. Apakah betul anakku merokok? Apakah betul ia membolos untuk main game?

Sore hari kupanggil anakku ke kamar. Kebetulan rumah sepi karena semua anak yang lain diajak pergi oleh suamiku. Kami bicara empat mata. Setelah menanyakan kabar ujiannya hari ini, saya memulai topik yang seharusnya kami bicarakan.

“Mas, Umi ingin kroscek beberapa laporan gurumu...”
Ia duduk terpekur menanti. Hati-hati saya bicara,
“Pertama, selama ini kalau kamu pamit berangkat sekolah, kamu pergi kemana?”

Setelah diam sejenak ia menjawab:
“Aku bersembunyi di kos temanku, teman SMP dulu”
“Bukannya temanmu sekolah?”
“Iya, tapi aku sudah biasa masuk kamarnya. Pernah juga aku masuk warnet, tapi cuma sekali”
“Ngapain di warnet?”
“ Aku mencopy film”
“Bukan main game?”
“Bukan, aku kan pernah janji sama umi, untuk main game hanya di rumah saja”
Okee.
“Mengapa kamu tidak jujur saja sama Umi?”
“Aku takut Umi marah. Aku merasa tak ada yang bisa menolongku...” Ia mulai terisak lagi.

Duuh gimana rasanya menghadapi anak lelaki 16 tahun yang terisak-isak...Apakah aku tega memarahinya?

(Bersambung ke bagian ke 5)

24 comments:

  1. Menunggu episode selanjutnya bu....

    ReplyDelete
  2. jadi ikutan nangis nih, mba.....hiks..

    ReplyDelete
  3. sedih mbak bacanya, banyak belajar juga nih aku disini

    ReplyDelete
  4. bu ida.. deg-degan bacanya dari yang bagian 1.. ikut sedih.. semoga semua baik2 saja ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih Ofi....insya Allah sekarang semua terkendali

      Delete
  5. Maaak.... ikut sedih...
    Subhanallah.. aku justru banyak melihat keteladanan Mak ida dan pak Cah dlm menghadapi kasus ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. yuuk saling mendoa mak agar diberi pertolongan allah

      Delete
  6. mak Ida ...
    anak lelaki saya juga lembuut hatinya, suka gak tega kalo cerita2 yang tidak mengenakkan, dia juga punya asmatis meski jarang (hampir gak pernah) anfal. Jadi sediih, mak.

    ReplyDelete
  7. Replies
    1. hatimu halus mak...moga besok menikah dan punya anak-anak yang kuat amin

      Delete