Revo sungguh
ceria. Senang melihatnya pulang sekolah dengan senyuman.
“Hah, ini
hari kebencianku yang terakhir!” serunya saat masuk rumah. Itu kalimat pertama
setelah mengucap salam.
Aku terkejut
sekaligus heran.
“Mengapa
hari kebencian dan mengapa terakhir, Po?’
“Karena aku
enggak suka hari ini, tapi besok aku senang...”
Serunya
penuh semangat.
“Mengapa ya,
besok Revo senang...?” pertanyaan retoris edisi emak penasaran.
“Kan, mau
nengok bang Dif...”
Oya, saya
menjanjikan besok pulang sekolah akan membawa Revo menengok abangnya yang
nyantri di Semarang.
Kerinduan Revo
pada abangnya memang terasa pahit dan sekaligus manis.
Manis saat
mengenang semua kegembiraan bersama abangnya. Pahit saat merasakan kesepian
tanpa teman bermain yang cocok.
“Mi, kuberi
tahu ya, “ katanya serius,” temanku Andre itu, tergoda oleh kecantikan Nina dan
Vivi lho...”
Hah?!
Gantian
telingaku yang menjadi tegak. Itu adalah nama-nama teman sekelasnya.
Sambil menemani Revo makan camilan, saya berfikir
keras.
Mencari
kata-kata yang tepat untuk merespon dan menggali lebih jauh tanpa membuat dia
jengah.
“Maksudnya apa,
kamu mendengar sendiri dari Andre?’
“Iya, tadi
ditanya ustadzah satu persatu...”
Aduuh
ustadzah nanya apa ya, kok jawabannya sampai segitunya.
“Ustadzah
bertanya,”ia berhenti sejenak, seolah membaca pertanyaan di benakku,” apa yang
kamu keluhkan dari sekolah ini?”
Hufh
ternyata....
“Aku jawab
pusing. Kalau di sekolah aku sering pusing, kalau Andre bilang keluhannya
tergoda oleh kecantikan Nina dan Vivi....ada yang bilang terganggu karena
temannya berisik. Ada yang kepanasan...ada yang diganggu....” Revo terus
menyerocos.
Anak kecil
memang polos. Apa yang ada dalam fikirannya itulah yang ia ucapkan. Tapi
mengejutkan bahwa ada anak usia 8 tahun yang tergoda kecantikan temannya.
Sepertinya orang tuanya layak waspada. Apa saja bacaan atau tontonannya, atau
siapa teman bergaulnya sehingga ia sudah mempersepsi yang demikian. Tentu tak ada orang tua yang mengajarkan atau mengharapkan anaknya 'dewasa' sebelum waktunya.
Kulihat Revo
masih berteman dengan Tifa, gadis kecil sahabatnya yang seringkali mengikuti
kemanapun Revo pergi. Revo perlakukan Tifa sebagaimana Aufa atau Bintang,
anggota gengnya. Kadang diajak main bola, lari-lari, main lego bersama,
mengerjakan PR atau makan bersama. Bertukar mainan dan saling membagi voucher.
Tak ada yang istimewa terkait perhatian pada fisik dsb.
Kalau Tifa
kelihatan sedikit poninya dari kerudungnya yang acak-acakan karena dipakai
memanjat atau berlarian, Revo akan berteriak:
“Tif,
rambutmu kelihatan!”
Tifa kecil
kadang peduli, kadang juga cuek dengan peringatan itu. Dan Revo tetap akan
reseh mengingatkan sampai Tifa merespon dengan merapikan poninya.
Kembali ke
pertanyaan ustadzah tadi. Sepertinya perlu ya secara berkala para guru bertanya
demikian pada siswa. Dengannya, guru menjadi mengerti apa keluhan dan harapan para
siswa kelas 2 SD ini.
Lebih bagus lagi jika catatan tindak lanjut atas survei
kecil-kecilan itu diteruskan pada fihak terkait. Misalnya ada catatan untuk
orang tua, ada yang untuk anak-anak, ada yang untuk guru dan ada yang untuk
sekolah. Hal demikian bagian dari deteksi dini dan mencari penanganan yang
sesuai.
***
Bakda sholat
maghrib, Revo memamerkan sejumlah gambar model lego.
“Jika
diijinkan, aku mau beli ya ini. Kalau enggak boleh, yang ini, kalau enggak
boleh, yang ini pasti boleh”
Dengan
pintarnya, ia menunjukkan lego yang ukuran menengah, lalu lebih kecil, lalu
yang paling kecil.
“Mungkin
harganya seratus ribu atau malah lima puluh ribu,” lanjutnya menjelaskan.
“Boleh?” ia
bertanya karena saya masih tersenyum saja memandangnya.
“Boleh kalau
Revo...”
“Tertib!”
sahutnya cepat.
“Yup!”
“Kalau yang
ini...pasti enggak boleh!” katanya sambil menunjuk gambar rumah-rumahan yang
agak besar.
“Mungkin ini
harganya 400 ribu...”
“Waah mahal
sekali,” kata Eyangnya menimpali,” kamu harus bisa cari uang sendiri kalau mau beli
mainan mahal,” lanjut eyang.
“Iya kok,
aku mau cari uang, hari Jumat akan mau jualan pisang goreng!” tukas Revo penuh
semangat.
Haha, pisang
goreng adalah dagangan favorit Revo saat market
day. Kalau enggak laku akan dia memakan sendiri, tapi biasanya habis
diborong para ustadzahnya.
“Tapi Umi sedang
enggak punya pisang, Po. Jadi jualan permen sunduk saja ya...” kataku.
“Oh ya, kan
aku mau menulis buku. Jadi nanti aku terkenal dan bukunya laris. Aku kalau besar
mau jadi penulis seperti Abi Umi, kemana-mana jalan-jalan dan bukunya banyak”
“Alhamdulillah,
semoga tercapai harapanmu, Nak” doaku sambil memeluknya.
“Sekarang
saja aku mulai menulis, di komputer ya, Mi?” Ia bergegas mengajakku ke ruang
tengah.
Saya
menyalakan PC dan Revo berusaha menuliskan sebuah cerita.
“Aku menulis apa ya Mi?” tanyanya sebelum
memulai.
“Tuliskan
saja apa yang kau alami dan pengalamanmu hari ini. Kamu juga boleh mengarang
cerita, seperti yang dilakukan Umi tadi pagi. Tadi pagi Umi cerita apa?” aku
mengetes perhatian dan ingatannya.
“Umi cerita
tentang Pangeran kecil”
“Benar,
Pangeran kecil itu tak pernah ada...itu namanya karangan. Seperti juga kisah
Cinderela, atau Naruto, mereka tak pernah ada, hanya karangan”
“Tapi Umi
bilang ‘pada jaman dulu..’”
“Yah, pada
jaman dulu itu kalimat pembuka, tapi tidak selalu terjadi. Itu yang disebut
fiksi.”
“Oke aku
mulai menulis deh.” Lalu mulailah Revo mengetik kalimat pertama. Lalu kalimat
kedua. Saya membacanya.
“ Kapan kamu
mandi sendiri, Po?” Seingatku tadi pagi aku membantunya menyelesaikan acara
mandi.
“Kata Umi
boleh mengarang, jadi aku mengarang sebagian.”
Aku
mengangguk-angguk. Setelah selesai ia menunjukkan karyanya. Anda mau tahu? Ini
dia.
Buku Revo
Revo hari ini sangat tertib.
Makan sendiri mandi sendiri.
Berangkat sekolah tepat waktu.
Lalu langsung shalat ashar.
Alhamdulillah semoga besok lebih baik
dari pada hari ini.
Sebenarnyalah
ia tidak terlalu tertib, tapi saya tak meluruskan tulisan itu karena sebelumnya
kami berdialog tentang buku fiksi dan non fiksi.
Kuanggap
saja itu adalah harapan dirinya, seorang anak 7,5 tahun, untuk menjadi lebih
baik. Semoga, amiin.
saya mampir mak, lihat buku revo :)
ReplyDeletehihi iya makasih
DeleteTerharu baca dialog revo dan umi. Teringat anak-anakku sendiri :')
ReplyDeleteMakasih mak Sary. Semoga anak-anak kita menjadi anak baik amiin.
DeleteKebayang kepolosan anak yg membuat bahagia sekitar dengan caranya. hihi....
ReplyDeleteRevo... jangan mulai dari yg besar ke kecil... awali dgn minta lego yg sedang lalu naik ke atas. hihihi...
Makasih mak susi hehe
DeleteRevo lucu.. dialog sama anak-anak itu suka bikin haru sekaligus geli ya.. :)
ReplyDeletebetul mak Ovi. Revo memang lucu cerdas menggemaskan
DeleteAnak-anak yang penuh kejutan. Ngomong-ngomong, hasil jawaban anak-anak itu lebih baik kalau bisa diketahui ortunya ya mbak jadi bisa diarahkan kalau melenceng kayak yang tergoda kecantikan temennya itu :D
ReplyDeleteiya sudah dikomunikasikan kok.
DeleteKirain Revo itu nama motor ternyata manusia :D
ReplyDeletehehe
Delete