Pages

Monday, May 18, 2015

Teman perjalanan

Pada suatu hari di bulan Januari, saya pergi ke Sergei. Kali ini tidak bersama suami. Tersebab, ada acara bersamaan yang harus diikutinya. Kami sudah menyanggupi agenda ini, sejak akhir tahun lalu. Eh, 2 pekan sebelum hari H, suamiku ada undangan sebuah acara. Akhirnya agenda, dimundurkan tgl 14-15 Januari 2015. 

Takdir kadang susah ditebak. Ternyata acara suamiku batal. Saya coba komunikasikan dengan panitia penyelenggara. Mereka tetap sepakat untuk mundur. Sayangnya menjelang hari H, suamiku tetap berhalangan. Jadilah, saya pergi bersama dengan narasumber pengganti.

"Jangan lupa pesan pada petugas, untuk minta jendela semua saat check in, " kata suamiku.
Beliau adalah orang yang sangat memperhatikan detail. Saya faham maksudnya. Karena tiket kami jadi satu, biasanya akan diberi nomer tempat duduk bersebelahan. Tentu tidak nyaman. Saya dan seorang lelaki bukan mahram, duduk bersebelahan? 
Hadeuh. 

Kalau enggak kenal sekalian, mendingan. Namanya darurat.
Saya datang lebih awal di bandara.  Segera mengambil trolly untuk ransel dan kardus bawaan berisi buku karya suamiku. Sendirian sedikit repot, namun tak apa, toh sesekali saja.

Rekanku belum datang, jadi saya check in duluan. Saat sedang mengantri, seorang petugas berseragam, mendekatiku dan menanyakan kode booking. Saya tunjukkan saja pesan di HP, sambil trus mengantri.
Eh, sebelum saya sampai di depan petugas check in, lelaki tadi sudah datang lagi dan memberikan tiket.

"Ini ibu, tiketnya sudah saya check in-kan. Ibu tinggal menyetor bagasi saja."
Saya terpana dengan kesigapannya,  menolong tanpa meminta ijin. Kuperiksa tiket yang diacungkannya, no 22E dan 22F. Ampuun deh. Ini tidak sesuai rencana.
"Maaf Mas, saya mau jendela semua," kataku membuat alasan yang logis.
"Ibu bilang saja nanti, ke petugas depan" katanya ringan.

Saat tiba giliranku, kusodorkan tiket dengan pesan sponsor.
"Kak, bisakah tukar tempat duduk, minta jendela semua?"
Perempuan cantik berseragam merah itu, meneliti layar di depannya.
"Ibu, ini sudah dari sistem. Kalau mau ganti, ada premium seat. Ibu mau nambah biaya?"
Tak ada nada suara ramah. Biasa saja.

"Berapa nambahnya, Kak?" 
Saya sedang menakar kemampuan untuk nomboki sebuah idealitas.
"Rp. 120.000."
"Ok, " jawabku cepat. 
Cuma segitu ternyata, biarlah. Yang penting saya tak punya beban moril selama perjalanan.
"Sebentar, ya bu ....," Ia meneliti lagi layarnya, "Ibu pilih seat mana? 2A apa 3A?"
"2A,"  
Senangnya... duduk di kursi depan saat naik pesawat. Berasa jadi orang penting gitu, haha.
Lain dengan naik bus. Saya paling anti di kursi depan, karena ngeri melihat supir bus yang ugal-ugalan.

"Seat 2A  tambah Rp. 95.000, " kata perempuan muda, petugas counter itu. Kuangsurkan uang Rp 100.000 dan mendapat kembalian beserta tiket perubahan.
Baru sekarang saya tahu, bahwa di maskapai ini, no tiket 1-5 dan 12-14 adalah premium seat. Enggak jelas juga apa bedanya. Memang saya sendirian menempati bangku sebaris. Bahkan hanya ada satu penumpang lagi, di kelas premium ini. Dia duduk jauh diujung baris sebelah.

Oo, nyaman juga ya. Cuma lebih lebih dingin, sekalipun Ac sudah ditutup semua. 
Begitulah saya merasa merdeka, dua jam tanpa tetangga. Mau tidur ngorok atau apapun, feel free. Eh, saya enggak tidur deh, khawatir ngorok beneran.

Btw, kenapa sih saya repot-repot memisahkan diri, dari teman perjalanan?
Terbiasa menerima curhat, saya banyak belajar dari pengalaman orang lain. Ada pepatah jawa: witing tresno jalaran soko kulino. Maka menjaga adab pergaulan dengan bukan mahram, adalah salah satu bentengnya.

Kuingat sebuah kisah, untuk menggambarkan kejadian yang tak disengaja pada awalnya. Dua keluarga yang bersahabat tinggal di sebuah kota. Kebetulan suami keluarga pertama dan istri keluarga kedua, bekerja di kota lain yang sama. Hanya berjarak dua jam perjalanan, dari kota tempat tinggal mereka.

Untuk alasan ekonomi dan kepraktisan, mereka berkongsi dalam transportasi. Berboncengan naik kendaraan bermotor, yang biaya bensinnya mereka tanggung bergantian.

Waktu berlalu. Ternyata kebersamaan itu menimbulkan efek samping yang tak mereka sangka: perselingkuhan. Menguras tenaga dan emosi tak sedikit, untuk melerai kasus yang menyebabkan retaknya bukan hanya pertemanan, tapi juga dua keluarga.

Ada lagi keluarga hancur, karena sang suami lanjut berhubungan dengan teman perjalanan, yang kebetulan perempuan. Padahal hanya sekali, tanpa rencana, duduk berdampingan di KA. Kemudian terjadilah obrolan panjang, selama belasan jam. Setelahnya, mereka tetap berkomunikasi. Sekalipun "konon' hanya berteman. Tapi sang istri terlanjur dibakar cemburu. Situasi itu, menjadi catatan kelam tak berujung dalam kehidupan rumah tangga mereka.

Masih banyak lagi kisah serupa, dengan peristiwa yang berbeda-beda.
So, jangan abaikan interaksi intens dalam waktu yang lama. Meskipun hanya teman perjalanan.

Yah, teman perjalanan. 
Apakah saat berkendara mobil, motor, bus, kereta api, pun pesawat. Apalagi teman kantor, teman satu team, teman organisasi yang bertemu sehari-hari selama berbilang seri.

Menjaga interaksi, menjaga hati adalah kemestian. Disertai doa.
Semoga selamat dunia akhirat. Amiin.

22 comments:

  1. Terima kasih bu Ida, kisahnya sangat menginspirasi--

    ReplyDelete
  2. boleh nih idenya kalo suatu hari nanti butuh, baru tahu bisa nambah biaya

    ReplyDelete
  3. Klo di kami, sy yg srg prhatikan hal detail gitu bu.. kaya seatnya mndng jngan sbelahan n lbh bail byr. Tp kaya suami mostly: "halaahh..biasa wae to.". Ya sudah, saya pun hanya bisa diam. Beda pemahaman kali ya bu..

    ReplyDelete
  4. baru tau bu kalau mau pindah seat harus bayar, tapi engga apa2 ya nambah biaya yang penting nyaman

    ReplyDelete
    Replies
    1. bener mak...hehe situasional saja. itu maskapai tertentu kok mak

      Delete
  5. klo sendirian, saya biasanya pura pura merem biar ngga diajak ngobrol ato pasang headset supaya tau klo ngga mau diganggu. Kemaren juga suami bela belain bayar 240rb PP premium seat hanya utk pindah tempat :D

    ReplyDelete
  6. Sdh sehrsnya kita punya pemahaman.... dan diaplikasikan dlm segala kondisi.... krn pemhaman itu yg akn membentengi diri kita dr hal2 yg tdk diinginkan.... tfs mbak...salam kenal :)

    ReplyDelete
  7. Syukron bu ida sudah diingatkan,sy dulu kuliah di jogja dan brpa kali sowan ke rumah sekedar ngantar undangan pembicara buat pak cah atau nemani umahat ke rumah njenengan.nyesel gak gau ada acara di sergai padahal dkt dr medan,smoga lain waktu dipertemukan allah untuk bertmu dgn bu ida, aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. waah iya sayang banget, semoga lain kali bisa ketemu deh

      Delete
  8. Syukron bu ida sudah diingatkan,sy dulu kuliah di jogja dan brpa kali sowan ke rumah sekedar ngantar undangan pembicara buat pak cah atau nemani umahat ke rumah njenengan.nyesel gak gau ada acara di sergai padahal dkt dr medan,smoga lain waktu dipertemukan allah untuk bertmu dgn bu ida, aamiin

    ReplyDelete
  9. Belum pernah naik pesawat, jdi gtau kalo pindah kursi harus bayar lgi :)

    ReplyDelete
  10. kisahnya sangat menginspirasi sekali mba :)

    ReplyDelete
  11. Semoga kita bisa terus "menjaga" jika keluar rumah bukan dg muhrim ya, Buk.

    ReplyDelete
    Replies
    1. amiin. selamat ya idah. bukunya udah sampaikan?

      Delete
  12. Wah jadi ingat waktu ke Bali, duduk sebelahan dg pria. Karena dia sy anggap terlalu tua utk macam2 & kenal seorang teman, sy beri no hp. Smp di Bali, sy ditelpon & di sms smp berkali-kali ngajak dinner. Sy nggak angkat telpon & nggak bales sms satupun. Serem ih

    ReplyDelete