Pada suatu hari di bulan Januari, saya pergi ke
Sergei. Kali ini tidak bersama suami. Tersebab, ada acara bersamaan yang harus
diikutinya. Kami sudah menyanggupi agenda ini, sejak akhir tahun lalu. Eh, 2
pekan sebelum hari H, suamiku ada undangan sebuah acara. Akhirnya agenda,
dimundurkan tgl 14-15 Januari 2015.
Takdir kadang susah
ditebak. Ternyata acara suamiku batal. Saya coba komunikasikan dengan panitia
penyelenggara. Mereka tetap sepakat untuk mundur. Sayangnya menjelang hari
H, suamiku tetap berhalangan. Jadilah, saya pergi bersama dengan narasumber pengganti.
"Jangan lupa
pesan pada petugas, untuk minta jendela semua saat check in, " kata suamiku.
Beliau adalah orang
yang sangat memperhatikan detail. Saya faham maksudnya. Karena tiket kami jadi
satu, biasanya akan diberi nomer tempat duduk bersebelahan. Tentu tidak nyaman.
Saya dan seorang lelaki bukan mahram, duduk bersebelahan?
Hadeuh.
Hadeuh.
Kalau enggak kenal sekalian, mendingan. Namanya darurat.
Saya datang lebih
awal di bandara. Segera mengambil trolly untuk ransel dan kardus bawaan
berisi buku karya suamiku. Sendirian sedikit repot, namun tak apa, toh sesekali
saja.
Rekanku belum datang,
jadi saya check in duluan. Saat sedang mengantri, seorang
petugas berseragam, mendekatiku dan menanyakan kode booking. Saya
tunjukkan saja pesan di HP, sambil trus mengantri.
Eh, sebelum saya
sampai di depan petugas check
in, lelaki tadi sudah datang lagi dan memberikan tiket.
"Ini ibu,
tiketnya sudah saya check in-kan.
Ibu tinggal menyetor bagasi saja."
Saya terpana dengan
kesigapannya, menolong tanpa meminta ijin. Kuperiksa tiket yang
diacungkannya, no 22E dan 22F. Ampuun deh. Ini tidak sesuai rencana.
"Maaf Mas, saya
mau jendela semua," kataku membuat alasan yang logis.
"Ibu bilang saja
nanti, ke petugas depan" katanya ringan.
Saat tiba giliranku, kusodorkan tiket dengan pesan sponsor.
"Kak, bisakah tukar tempat duduk, minta jendela semua?"
Perempuan cantik
berseragam merah itu, meneliti layar di depannya.
"Ibu, ini sudah
dari sistem. Kalau mau ganti, ada premium
seat. Ibu mau nambah biaya?"
Tak ada nada suara ramah. Biasa saja.
Tak ada nada suara ramah. Biasa saja.
"Berapa
nambahnya, Kak?"
Saya sedang menakar kemampuan untuk nomboki sebuah idealitas.
"Rp. 120.000."
"Ok, " jawabku cepat.
Cuma segitu ternyata, biarlah. Yang penting saya tak punya beban moril selama perjalanan.
Saya sedang menakar kemampuan untuk nomboki sebuah idealitas.
"Rp. 120.000."
"Ok, " jawabku cepat.
Cuma segitu ternyata, biarlah. Yang penting saya tak punya beban moril selama perjalanan.
"Sebentar, ya bu
....," Ia meneliti lagi layarnya, "Ibu pilih seat mana? 2A apa 3A?"
"2A,"
"2A,"
Senangnya... duduk di
kursi depan saat naik pesawat. Berasa jadi orang penting gitu, haha.
Lain dengan naik bus.
Saya paling anti di kursi depan, karena ngeri melihat supir bus yang
ugal-ugalan.
"Seat 2A tambah Rp. 95.000, "
kata perempuan muda, petugas counter itu. Kuangsurkan uang Rp 100.000 dan
mendapat kembalian beserta tiket perubahan.
Baru sekarang saya
tahu, bahwa di maskapai ini, no tiket 1-5 dan 12-14 adalah premium seat. Enggak jelas juga
apa bedanya. Memang saya sendirian menempati bangku sebaris. Bahkan hanya ada
satu penumpang lagi, di kelas premium ini. Dia duduk jauh diujung baris
sebelah.
Oo, nyaman juga ya.
Cuma lebih lebih dingin, sekalipun Ac sudah ditutup semua.
Begitulah saya merasa merdeka, dua jam tanpa tetangga. Mau tidur ngorok atau apapun, feel free. Eh, saya enggak tidur deh, khawatir ngorok beneran.
Begitulah saya merasa merdeka, dua jam tanpa tetangga. Mau tidur ngorok atau apapun, feel free. Eh, saya enggak tidur deh, khawatir ngorok beneran.
Btw, kenapa sih saya
repot-repot memisahkan diri, dari teman perjalanan?
Terbiasa menerima
curhat, saya banyak belajar dari pengalaman orang lain. Ada pepatah jawa: witing tresno jalaran soko kulino.
Maka menjaga adab pergaulan dengan bukan mahram, adalah salah satu bentengnya.
Kuingat sebuah kisah,
untuk menggambarkan kejadian yang tak disengaja pada awalnya. Dua keluarga yang
bersahabat tinggal di sebuah kota. Kebetulan suami keluarga pertama dan istri
keluarga kedua, bekerja di kota lain yang sama. Hanya berjarak dua
jam perjalanan, dari kota tempat tinggal mereka.
Untuk alasan ekonomi
dan kepraktisan, mereka berkongsi dalam transportasi. Berboncengan naik
kendaraan bermotor, yang biaya bensinnya mereka tanggung bergantian.
Waktu berlalu.
Ternyata kebersamaan itu menimbulkan efek samping yang tak mereka sangka: perselingkuhan. Menguras tenaga
dan emosi tak sedikit, untuk melerai kasus yang menyebabkan retaknya bukan
hanya pertemanan, tapi juga dua keluarga.
Ada lagi keluarga
hancur, karena sang suami lanjut berhubungan dengan teman perjalanan, yang
kebetulan perempuan. Padahal hanya sekali, tanpa rencana, duduk berdampingan di
KA. Kemudian terjadilah obrolan panjang, selama belasan jam. Setelahnya, mereka
tetap berkomunikasi. Sekalipun "konon' hanya berteman. Tapi sang istri
terlanjur dibakar cemburu. Situasi itu, menjadi catatan kelam tak berujung
dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Masih banyak lagi
kisah serupa, dengan peristiwa yang berbeda-beda.
So, jangan abaikan
interaksi intens dalam waktu yang lama. Meskipun hanya teman perjalanan.
Yah, teman
perjalanan.
Apakah saat berkendara mobil, motor, bus, kereta api, pun pesawat. Apalagi teman kantor, teman satu team, teman organisasi yang bertemu sehari-hari selama berbilang seri.
Apakah saat berkendara mobil, motor, bus, kereta api, pun pesawat. Apalagi teman kantor, teman satu team, teman organisasi yang bertemu sehari-hari selama berbilang seri.
Menjaga interaksi,
menjaga hati adalah kemestian. Disertai doa.
Semoga selamat dunia
akhirat. Amiin.
Terima kasih bu Ida, kisahnya sangat menginspirasi--
ReplyDeletesama-sama mbak
Deleteboleh nih idenya kalo suatu hari nanti butuh, baru tahu bisa nambah biaya
ReplyDeleteyuuk mak....
DeleteKlo di kami, sy yg srg prhatikan hal detail gitu bu.. kaya seatnya mndng jngan sbelahan n lbh bail byr. Tp kaya suami mostly: "halaahh..biasa wae to.". Ya sudah, saya pun hanya bisa diam. Beda pemahaman kali ya bu..
ReplyDeletepelan-pelan ajari suami mak
Deletebaru tau bu kalau mau pindah seat harus bayar, tapi engga apa2 ya nambah biaya yang penting nyaman
ReplyDeletebener mak...hehe situasional saja. itu maskapai tertentu kok mak
Deleteklo sendirian, saya biasanya pura pura merem biar ngga diajak ngobrol ato pasang headset supaya tau klo ngga mau diganggu. Kemaren juga suami bela belain bayar 240rb PP premium seat hanya utk pindah tempat :D
ReplyDeletewaah trik bagus tuh. nonok pakai headset...
DeleteSdh sehrsnya kita punya pemahaman.... dan diaplikasikan dlm segala kondisi.... krn pemhaman itu yg akn membentengi diri kita dr hal2 yg tdk diinginkan.... tfs mbak...salam kenal :)
ReplyDeletesalam kenal juga bu. makasih sudah mampir.
DeleteSyukron bu ida sudah diingatkan,sy dulu kuliah di jogja dan brpa kali sowan ke rumah sekedar ngantar undangan pembicara buat pak cah atau nemani umahat ke rumah njenengan.nyesel gak gau ada acara di sergai padahal dkt dr medan,smoga lain waktu dipertemukan allah untuk bertmu dgn bu ida, aamiin
ReplyDeletewaah iya sayang banget, semoga lain kali bisa ketemu deh
DeleteSyukron bu ida sudah diingatkan,sy dulu kuliah di jogja dan brpa kali sowan ke rumah sekedar ngantar undangan pembicara buat pak cah atau nemani umahat ke rumah njenengan.nyesel gak gau ada acara di sergai padahal dkt dr medan,smoga lain waktu dipertemukan allah untuk bertmu dgn bu ida, aamiin
ReplyDeleteBelum pernah naik pesawat, jdi gtau kalo pindah kursi harus bayar lgi :)
ReplyDeletekisahnya sangat menginspirasi sekali mba :)
ReplyDeleteSemoga kita bisa terus "menjaga" jika keluar rumah bukan dg muhrim ya, Buk.
ReplyDeleteamiin. selamat ya idah. bukunya udah sampaikan?
DeleteWah jadi ingat waktu ke Bali, duduk sebelahan dg pria. Karena dia sy anggap terlalu tua utk macam2 & kenal seorang teman, sy beri no hp. Smp di Bali, sy ditelpon & di sms smp berkali-kali ngajak dinner. Sy nggak angkat telpon & nggak bales sms satupun. Serem ih
ReplyDeletenyimak :)
ReplyDeletemakasih ya ibu ida ... ceritanya sangat keren
ReplyDelete