Pages

Friday, January 6, 2012

Wellcome drink di Maktab 114 Yang Kualami di Tanah Suci (18)



 Oleh : Ida Nur Laila

Meninggalkan bandara Jeddah, dengan takjub kupandangi hamparan padang pasir. Ketika cahaya senja masih bisa menerangi gurun, kuperhatikan warna-warna tanah kecoklatan. Gunung yang kelabu,  sama sekali tidak berpohon. Sangat menarik bagiku yang belum pernah mengunjungi wilayah gurun. Setiap bangunan berbentuk kubus.
Aku ingat ucapan seorang saudara yang pernah berhaji, mengomentari bentuk bagunan yang nyaris semua berbentuk kubus.
“Wah semua rumah adanya berbentuk kubus. Gak kreatif deh. Gak ada model rumah. Warnanya juga mirip-mirip...”
Aku tidak sepakat dengan komentar tersebut, jadi tentang bentuk kubus ini kutanyakan pada Dr Retna yang arsitektur.

“ Angin di daerah gurun, tidak dapat dipastikan dari mana arahnya. Maka bentuk yang paling stabil untuk menahan adalah bentuk kubus. Karena disini jarang hujan, maka tidak diperlukan atap miring. Dindingnya juga biasanya berlapis, maka bentuk seperti beteng menjadi pilihan. Lihat mereka berkresainya dengan bentuk ornamen jendela...”
“ Dan mau dicat warna-warni juga rugi ya...karena panas yang sangat terik cepat memudarkan cat. Apalagi debu gurun, akan selalu membuatnya menjadi warna tanah...” tambahku.
Jadi bentuk dan model rumah menyesuaikan dengan lingkungan alam di sekitarnya.
Memasuki kota Mekkah, kami harus menjalani pemeriksaan dokumen. Sementara proses administrasi berjalan, kami mendapat air zam-zam dan sekotak snack. Ini adalah zam-zam pertama yang kuterima dengan tanganku sendiri di Tanah suci. Jadi kupandangi dan kupeluk dengan segenap perasaan. Aku meminumnya dengan berdoa dan menikmati teguk demi teguk. Hadiah ini dari bagian urusan haji pemerintah Saudi. Semoga berkah bagi semua.
“Allahumma inni as-aluka ‘ilman naafi’an wa rizqon waasi’an wasyifaan min kulli da-in wa saqomin, amin...”
Malam turun dan kami tidak lagi bisa leluasa memandang. Jalan raya menuju Mekkah seperti jalan tol, lancar. Hingga kami berhenti di sebuah rumah.
“ Silahkan turun untuk minum dulu, toilet juga tersedia, silahkan. Sholat nanti di apartemen saja “ demikian penjelasan dari pemimpin rombongan.
Empat bus kami berjajar di depan sebuah rumah. Konon inilah yang sebenarnya menjadi alamat kami selama berhaji di Mekkah. Rumah seorang Syeikh yang menjadi tuan rumah bagi Maktab 114.
Kami turun dan mendapati rumah yang indah, dengan bebagai ornamen dinding dan atap. Tersedia banyak meja kursi, kue, snack dan aneka minuman. Minuman panas seperti teh, kopi dan susu. Minuman dingin aneka jus buah dalam botol-botol kecil. Juga ada kurma dan buah-buahan. Beberapa orang melayani kami, orang Indonesia tapi mengenakan cadar. Ternyata mereka orang Makassar yang telah lama bekerja pada Syeikh tersebut. Tuan rumah dan para pembantunya sangat ramah mempersilahkan kami untuk duduk-duduk mengambil makanan seberapapun kami mau. Beberapa teman bahkan membawa jus dan snack untuk bekal perjalanan.
Sementara itu urusan administrasi diselesaikan oleh petugas. Setelah prosedur selesai, kami mendapat pembagian gelang karet warna biru bertuliskan maktab kami dan juga id card dalam bahasa Arab.
Tak lama kemudian kami kembali ke bus bersiap untuk menuju apartemen.
Lama kami menunggu dalam bus, para jama’ah agak resah dan bertanya-tanya mengapa bus tidak segera berangkat. Rupanya terjadi ketegangan dengan petugas imigrasi dan Maktab. Beberapa kali bus penumpang kami dihitung, dan pembimbing juga menjadi keheranan. Sebab yang terdata dan terlapor jumlah jamaah haji dalam bus kami ada 40, diatmbah 1 orang pembimbing, seharusnya hanya 41. Namun yang terjadi jumlah kami ada 43.Ada petugas yang marah-marah dalam bahasa Arab. Untungnya kami tidak faham, jadi tidak ikut marah.
Berhubung kami banyak yang baru saling kenal antara jamaah dan juga pembimbing belum hafal siapa saja jamaah dan nama-namanya, maka kami tidak tahu siapa dua orang tidak terdata yang bergabung dengan bus kami. Akhirnya, ketahuan juga.
Ada dua orang suami istri jamaah haji non kuota yang naik dari Malaysia, lalu bergabung dengan kami tanpa meminta ijin. Beberapa jamaah mengenali mereka sejak di Bandara Kuwait dan Jeddah, karena kebetulan mereka  satu pesawat dengan kami.
Jama’ah dalam rombongan bus kami berasal dari Jogjakarta, Jakarta, Balikpapan, Samarinda, Malang dan Jawa tengah. Penumpang non kuota tersebut mengaku dari Malang, jadi kami mengira mereka berdua adalah rombongan travel kami.
“Saya sudah curiga sejak di Bandara Kuwait” kata seorang rekan.
”Saat di Jakarta mereka tidak kelihatan, saat transit di Kualalumpur, kita tidak turun dari pesawat, malah banyak yang tetap tidur selama transit. Tahu-tahu saat di Kuwait mereka telah menempel pada kita. Demikian pula saat di Jeddah. Tapi saya hanya mengawasi saja karena tidak tahu hal-ikhwalnya”
Demikian kesaksian seorang jamaah.
Akhirnya pasangan suami istri yang mengaku dari malang ini terpaksa diturunkan dan diurus oleh petugas maktab. Proses mencari koper mereka yang tercampur dengan koper jamaah di atas atap bus, memakan waktu yang cukup lama. Keberangkatan kami tertunda lagi dan mendiskusikan nasib dua orang tersebut. Antara kasihan dan juga jengkel. Kasihan tentang bagaimana nasib mereka selanjutnya. Mereka harus mencari tempat menginap di malam yang cukup larut. Mereka harus berurusan dengan petugas maktab.
Sedikit jengkel lantaran gara-gara urusan ini, kami tertunda hampir dua jam. Setelah perjalanan panjang dari tanah air, dalam kepenatan badan dan keinginan untuk segera sampai ke Apartemen yang kami juga tidak tahu berapa jauh lagi. Tapi kami sedang berpakaian ihram untuk menunaikan umrah, maka kami menahan diri untuk tidak lagi banyak cakap yang tidak berguna. Biarlah petugas mengurus mereka dan semoga urusan mereka selanjutnya dimudahkan oleh Allah.
Konon jalur haji non kuota ini diminati lantaran murah. Mereka tidak perlu mengantri kursi dan bisa membeli tiket sendiri. Seperti yang dilakukan dua orang suami istri tersebut, berangkat dari Malaysia dengan paspor hijau. Kebetulan bertemu dengan rombongan haji khusus yang menggunakan penerbangan reguler. Jadi mereka bergabung saja dan mengira akan bisa numpang urusan akomodasi selama di Tanah suci.
Sebenarnya pengelola travel tidak keberatan. Hanya saja surat jalan itu telah rinci terkait data jamaah hingga nomer paspor. Bahkan para muthowif yang menemui kami di Mekkah dan membersamai kami selanjutnya dalam beribadah dan beraktivitas selama di Tanah suci, tidak diijinkan naik bus rombongan oleh petugas setempat. Dalam perjalanan menuju Madinah kelak mereka harus naik taksi, walaupun bus kami masih terdapat kursi kosong.
Peratutan memang harus ditegakkan. Peraturan dibuat untuk keselamatan dan kebaikan semua. Walaupun ada yang bilang bahwa peraturan ada untuk dilanggar, jangan pernah melakukan itu, apalagi saat berhaji.



No comments:

Post a Comment