Meninggalkan
bandara Jeddah, dengan takjub kupandangi hamparan padang pasir. Ketika cahaya
senja masih bisa menerangi gurun, kuperhatikan warna-warna tanah kecoklatan.
Gunung yang kelabu, sama sekali tidak
berpohon. Sangat menarik bagiku yang belum pernah mengunjungi wilayah gurun.
Setiap bangunan berbentuk kubus.
Aku
ingat ucapan seorang saudara yang pernah berhaji, mengomentari bentuk bagunan
yang nyaris semua berbentuk kubus.
“Wah
semua rumah adanya berbentuk kubus. Gak kreatif deh. Gak ada model rumah.
Warnanya juga mirip-mirip...”
Aku tidak
sepakat dengan komentar tersebut, jadi tentang bentuk kubus ini kutanyakan pada
Dr Retna yang arsitektur.
“ Angin
di daerah gurun, tidak dapat dipastikan dari mana arahnya. Maka bentuk yang
paling stabil untuk menahan adalah bentuk kubus. Karena disini jarang hujan,
maka tidak diperlukan atap miring. Dindingnya juga biasanya berlapis, maka
bentuk seperti beteng menjadi pilihan. Lihat mereka berkresainya dengan bentuk
ornamen jendela...”
“ Dan
mau dicat warna-warni juga rugi ya...karena panas yang sangat terik cepat
memudarkan cat. Apalagi debu gurun, akan selalu membuatnya menjadi warna
tanah...” tambahku.
Jadi
bentuk dan model rumah menyesuaikan dengan lingkungan alam di sekitarnya.
Memasuki
kota Mekkah, kami harus menjalani pemeriksaan dokumen. Sementara proses
administrasi berjalan, kami mendapat air zam-zam dan sekotak snack. Ini adalah
zam-zam pertama yang kuterima dengan tanganku sendiri di Tanah suci. Jadi
kupandangi dan kupeluk dengan segenap perasaan. Aku meminumnya dengan berdoa
dan menikmati teguk demi teguk. Hadiah ini dari bagian urusan haji pemerintah
Saudi. Semoga berkah bagi semua.
“Allahumma
inni as-aluka ‘ilman naafi’an wa rizqon waasi’an wasyifaan min kulli da-in wa saqomin,
amin...”
Malam
turun dan kami tidak lagi bisa leluasa memandang. Jalan raya menuju Mekkah
seperti jalan tol, lancar. Hingga kami berhenti di sebuah rumah.
“ Silahkan
turun untuk minum dulu, toilet juga tersedia, silahkan. Sholat nanti di
apartemen saja “ demikian penjelasan dari pemimpin rombongan.
Empat
bus kami berjajar di depan sebuah rumah. Konon inilah yang sebenarnya menjadi
alamat kami selama berhaji di Mekkah. Rumah seorang Syeikh yang menjadi tuan
rumah bagi Maktab 114.
Kami
turun dan mendapati rumah yang indah, dengan bebagai ornamen dinding dan atap.
Tersedia banyak meja kursi, kue, snack dan aneka minuman. Minuman panas seperti
teh, kopi dan susu. Minuman dingin aneka jus buah dalam botol-botol kecil. Juga
ada kurma dan buah-buahan. Beberapa orang melayani kami, orang Indonesia tapi
mengenakan cadar. Ternyata mereka orang Makassar yang telah lama bekerja pada Syeikh
tersebut. Tuan rumah dan para pembantunya sangat ramah mempersilahkan kami
untuk duduk-duduk mengambil makanan seberapapun kami mau. Beberapa teman bahkan
membawa jus dan snack untuk bekal perjalanan.
Sementara
itu urusan administrasi diselesaikan oleh petugas. Setelah prosedur selesai, kami
mendapat pembagian gelang karet warna biru bertuliskan maktab kami dan juga id
card dalam bahasa Arab.
Tak
lama kemudian kami kembali ke bus bersiap untuk menuju apartemen.
Lama
kami menunggu dalam bus, para jama’ah agak resah dan bertanya-tanya mengapa bus
tidak segera berangkat. Rupanya terjadi ketegangan dengan petugas imigrasi dan
Maktab. Beberapa kali bus penumpang kami dihitung, dan pembimbing juga menjadi
keheranan. Sebab yang terdata dan terlapor jumlah jamaah haji dalam bus kami
ada 40, diatmbah 1 orang pembimbing, seharusnya hanya 41. Namun yang terjadi
jumlah kami ada 43.Ada petugas yang marah-marah dalam bahasa Arab. Untungnya
kami tidak faham, jadi tidak ikut marah.
Berhubung
kami banyak yang baru saling kenal antara jamaah dan juga pembimbing belum
hafal siapa saja jamaah dan nama-namanya, maka kami tidak tahu siapa dua orang
tidak terdata yang bergabung dengan bus kami. Akhirnya, ketahuan juga.
Ada dua
orang suami istri jamaah haji non kuota yang naik dari Malaysia, lalu bergabung
dengan kami tanpa meminta ijin. Beberapa jamaah mengenali mereka sejak di
Bandara Kuwait dan Jeddah, karena kebetulan mereka satu pesawat dengan kami.
Jama’ah
dalam rombongan bus kami berasal dari Jogjakarta, Jakarta, Balikpapan,
Samarinda, Malang dan Jawa tengah. Penumpang non kuota tersebut mengaku dari
Malang, jadi kami mengira mereka berdua adalah rombongan travel kami.
“Saya
sudah curiga sejak di Bandara Kuwait” kata seorang rekan.
”Saat
di Jakarta mereka tidak kelihatan, saat transit di Kualalumpur, kita tidak
turun dari pesawat, malah banyak yang tetap tidur selama transit. Tahu-tahu
saat di Kuwait mereka telah menempel pada kita. Demikian pula saat di Jeddah.
Tapi saya hanya mengawasi saja karena tidak tahu hal-ikhwalnya”
Demikian
kesaksian seorang jamaah.
Akhirnya
pasangan suami istri yang mengaku dari malang ini terpaksa diturunkan dan diurus
oleh petugas maktab. Proses mencari koper mereka yang tercampur dengan koper
jamaah di atas atap bus, memakan waktu yang cukup lama. Keberangkatan kami
tertunda lagi dan mendiskusikan nasib dua orang tersebut. Antara kasihan dan
juga jengkel. Kasihan tentang bagaimana nasib mereka selanjutnya. Mereka harus
mencari tempat menginap di malam yang cukup larut. Mereka harus berurusan
dengan petugas maktab.
Sedikit
jengkel lantaran gara-gara urusan ini, kami tertunda hampir dua jam. Setelah
perjalanan panjang dari tanah air, dalam kepenatan badan dan keinginan untuk
segera sampai ke Apartemen yang kami juga tidak tahu berapa jauh lagi. Tapi
kami sedang berpakaian ihram untuk menunaikan umrah, maka kami menahan diri
untuk tidak lagi banyak cakap yang tidak berguna. Biarlah petugas mengurus
mereka dan semoga urusan mereka selanjutnya dimudahkan oleh Allah.
Konon
jalur haji non kuota ini diminati lantaran murah. Mereka tidak perlu mengantri
kursi dan bisa membeli tiket sendiri. Seperti yang dilakukan dua orang suami
istri tersebut, berangkat dari Malaysia dengan paspor hijau. Kebetulan bertemu
dengan rombongan haji khusus yang menggunakan penerbangan reguler. Jadi mereka
bergabung saja dan mengira akan bisa numpang urusan akomodasi selama di Tanah
suci.
Sebenarnya
pengelola travel tidak keberatan. Hanya saja surat jalan itu telah rinci
terkait data jamaah hingga nomer paspor. Bahkan para muthowif yang menemui kami
di Mekkah dan membersamai kami selanjutnya dalam beribadah dan beraktivitas
selama di Tanah suci, tidak diijinkan naik bus rombongan oleh petugas setempat.
Dalam perjalanan menuju Madinah kelak mereka harus naik taksi, walaupun bus
kami masih terdapat kursi kosong.
Peratutan
memang harus ditegakkan. Peraturan dibuat untuk keselamatan dan kebaikan semua.
Walaupun ada yang bilang bahwa peraturan ada untuk dilanggar, jangan pernah
melakukan itu, apalagi saat berhaji.
No comments:
Post a Comment