Oleh :
Ida Nur Laila
Tanggal
9 Dzulhijjah, menjelang maghrib kami beranjak meninggalkan tenda Arafah .
Tempat parkir bus lumayan jauh, sekitar 1,5 km dari lokasi tenda kami.
Perjalanan menuju tempat parkir seharusnya tidak lebih dari 30 menit, namun
karena bersama kami ada seorang nenek yang menderita sakit lutut, kami ber tujuh, berjalan dengan
sangat lambat. Kami mencari alternatif kursi roda yang disewakan, namun tidak
ada yang menyewakan. Juga tidak ada ojek. Nenek terlalu berat untuk digendong,
jadi kami nikmati saja perjalanan kami.
Sepanjang
jalan banyak orang yang duduk-duduk dan berdiri
di pinggir jalan. Menanti matahari terbenam, saat yang tepat untuk meninggalkan
Arafah menuju Muzdalifah. Jalan utama
sebenarnya sangat lebar, namun kendaraan parkir di kiri dan kanan jalan sampai
dua lapis, jadi agak menyempitkan.
Detik-detik
sekitar matahari terbenam sungguh menakjubkan. Dunia seolah berhenti bergerak,
semua orang mematung menatap ke arah matahari terbenam. Hening dan senyap , memandang
dengan berbagai ekspresi sembari duduk, berdiri, dalam mobil, bus, bahkan yang
diatas truk, di atas bus menanti saat -saat Arafah yang sebentar lagi berakhir. Ada sepasang suami istri berdiri berdampingan
dengan khusyu’ menanti matahari terbenam.
Angin bertiup lembut, udara sejuk dan nyaman. Sepertinya hanya rombongan
kami yang bergerak perlahan.
Begitu
matahari terbenam, menyisakan langit senja yang indah kuning lembayung kemerahan,
semua bergerak dengan perlahan, makin lama temponya makin cepat dan yang
bergerak makin banyak. Suara riuh jamaah bertalbiyah dan berdzikir.
Tadinya kami berjalan santai, sekarang kami
harus menyingkir ke tepi jikalau tidak ingin menghalangi perjalanan orang yang
bergegas menuju Muzdalifah. Jumlah pejalan kaki menyemut tak terhitung. Ada yang
memang berjalan kaki hingga Muzdalifah,ada yang sekedar menuju kendaraan
seperti kami. Menjelang jam 19.00 kami baru sampai di terminal parkir bus.
Area terminal
terletak di perbatasan luar wilayah Arafah. Lapangan parkir yang sangat luas,
memuat aneka macam kendaraan bermotor , yang dominan adalah bus-bus besar. Banyak
jamaah haji yang menumpang hingga ke atas bus, tempat yang biasanya untuk
mengangkut koper-koper. Mereka enjoy saja. Aku tidak sempat mengabadikan momen
ini dengan kamera lantaran memapah nenek, sambil menenteng aneka bawaan.
Muzdalifah
terletak di antara Mina dan Arafah. Dinamakan demikian karena jama’ah haji
berdatangan ke tempat ini pada tengah malam atau karena para jama’ah pergi
meninggalkan tempat ini secara bersamaan. Ada pula yang menamakan tempat ini
sebagai jam’an yang artinya adalah berkumpul, karena Adam dan Hawa berkumpul di
tempat ini. Wallahu a’lam .
Batasnya
adalah antara lembah Muhassir sampai ke Al-Ma’zamain (dua gunung yang saling
berhadapan, yang di tengahnya ada jalan) yaitu 4,8 KM², sedangkan luasnya
adalah 12,25 KM². Di sana terdapat rambu-rambu pembatas yang menentukan batas
awal akhir dan akhir Muzhdalifah.
Ketika
jamaah haji berada di Muzdalifah untuk melaksanakan mabit (menginap pada malam
hari) serta mengambil batu guna melempar jumrah, hendaknya dia memperbanyak
doa, berdzikir, membaca talbiyah, dan tilawah Al-Qur`an. Sebab, malam tersebut
merupakan malam yang agung. Adapun doa yang biasa dibaca adalah,
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu untuk memberiku rezeki di tempat ini berupa kebaikan secara menyeluruh, Engkau perbaiki semua perilaku diriku, dan Engkau palingkan aku dari segala keburukan. Sesungguhnya tidak ada yang bisa melakukan itu, melainkan Engkau, dan tidak ada yang bisa memperbaiki itu kecuali Engkau.”
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu untuk memberiku rezeki di tempat ini berupa kebaikan secara menyeluruh, Engkau perbaiki semua perilaku diriku, dan Engkau palingkan aku dari segala keburukan. Sesungguhnya tidak ada yang bisa melakukan itu, melainkan Engkau, dan tidak ada yang bisa memperbaiki itu kecuali Engkau.”
Karena
posisi parkir bus yang kurang menguntungkan, kami masih juga tertahan dalam bus
sekitar 2 jam. Para jama;ah mengisi waktu dengan tidur, mengobrol atau makan
aneka bekal yang dibawa. Supir bus turun dan melakukan sholat. Setelah itu ia
memasak air dengan api unggun dan membuat kopi....Waah , ingin juga ikut
menikmati teh panas atau kopi panas, tapi tak ada orang berjualan di petang yang sibuk ini. Jadi kami hanya bisa
menatap supir yang asyik duduk bersila di halaman parkir, bersantai sambil
menyeruput kopinya.
Alhamdulillah,
bus kami berhasil meninggalkan parkiran jam 21.00 lewat , menjawab semua
kegelisahan kami . Kami khawatir terlambat sampai di Muzdalifah dan kehilangan
mabit. Pada awalnya perjalanan
tersendat, namun segela lancar setelah berpisah dengan rute para pejalan kaki.
Hingga kami sampai di Muzdalifah hanya butuh wakrtu sekitar 1 jam.
Di tepi
jalan raya yang berpagar kawat sangat tinggi, bus berhenti. Ada beberapa
rombongan lain yang juga berhenti. Bagiku yang belum pernah berhaji, masih
bertanya-tanya, seperti apa sebenarnya area mabit. Kami diajak memasuki wilayah
sebelah dalam pagar dengan menerobos pagar yang telah jebol di bagian bawah.
Sepertinya sengaja dijebol oleh seseorang atau sekelompok orang. Dan entah
kapan menjebolnya, yang jelas itu menjadi pintu masuk kami dan banyak jamaah
lain memasuki kawasan mabit.
Jalinan
kawat pagar itu terangkat tidak lebih dari setengan meter, jadi kami harus
membungkuk dan merangkak untuk melewatinya. Namun sisi dalam adalah tepian
jalan yang miring, cukup curam, sekitar 30-45 derajat. Berpasir dan berkerikil,
jadi kalau tidak hati-hati bisa tergelincir. Kasihan orang yang bertubuh besar
dan orang tua, sungguh sulit bagi mereka melalui rintangan pintu masuk yang
ilegal ini.
Di
tanah air seumur-umur seingat saya tidak pernah melakukan menerobos pagar, tapi
di tanah suci terjadi juga. Karena para ustadz melakukan, kami juga
melakukan... Mestinya tidak berdosa ya...? hehe...
Bersambung.
Bunda, doakan saya bisa naik haji dan ke Mudzdalifah spt bunda yah
ReplyDeletesalam kenal
Salam kenal juga. Semoga allah mengabulkan cita-cita Rizka Farizal untuk berhaji di waktu muda, berziyarah ke Mekkah Al-Mukaromah dan madinah Al-Munawaroh.
ReplyDeleteMabid di Muzdalifah adalah pengalaman y luar biasaa.. beratap langit ditempat berdebu..
ReplyDeletesatu masa y tak bisa ditebus dengan harta dunia... :'(