Oleh :
Ida Nur Laila
Dalam
kegelapan, aku berusaha mengenali lingkunganku. Jalan aspal ini untuk pedestrian,
membentang jauh. Diatas ada jembatan
layang, satu sisi jalan adalah ladang
kosong, lalu agak jauh sekitar 100m ada pagar kawat tinggi. Dari baliknya
nampak tenda-tenda putih berbaris rapi.
“ Tenda-tenda
itu adalah Mina baru, kawasan Muzdalifah yang bersambung dengan Mina dan
menjadi Mina baru “ terang seorang pembimbing.
“ Wah
kalau tenda kita di situ, pulang dari Muzdalifah gampang ya...apalagi kalau
mereobos tidak memutur lewat pintu....” seloroh seorang jama’ah.
“ Mau
dapat Maktab di situ ?”tanya Ustadz.
“Mauuu”
jawab beberapa jama’ah.
“Tapi
kalau mau lempar jumrah jalan kaki 10 km...bolak-balik 4 hari...” terang
ustadz.
“ Nggak
mauuuu” koor beberapa jama’ah sambil tertawa.
Itulah,
kadang kita kurang bersyukur dengan taqdir kita. Lokasi maktab kami di mina sungguh
strategis, lantaran jarak dari jumrah hanya 200 m, Alhamdulillah.
Sisi jalan
seberang adalah arah kami datang. Jalan raya yang cukup tinggi, setinggi 4 atau 5 meter di atas kami. Pagar kawat
tinggi sekitar 3 meter, jadi mustahil dilompati. Entah siapa yang membuat ide
membobol bagian bawah pagar di lokasi ini. Kira-kira aku tahu jawabannya,
karena lokasi tempat kami mabit ini dekat dengan toilet. Turunannya juga tidak
terlalu curam. Beberapa sisi yang lain menurunnya sangat curam.
Begitulah
kami menempatkan diri di atas aspal jalan, tak jauh dari toilet. Posisi ini
memudahkan untuk memenuhi hajat hidup orang banyak...panggilan alam dan
bersuci. Sekalipun keadaan toilet jauh dari memadai dan antrian juga bagian
dari ujian keshabaran, semuanya layak disyukuri. Ada cukup banyak pedagang di
sekitar tempat mabit ini. Ada yang berjualan
air panas untuk membuat popmie. Harga air panas satu reyal untuk satu cup pop mie. Jika dirupiahkan sekitar Rp.2500,-. Adapun Pop
mienya gratis dari travel. Ada juga yang membawa sendiri dari Tanah air.
Berbagai barang lain juga digelar oleh
pedagang tiban.Saya membeli sandal jepit seharga 5 reyal lantaran sepatu saya
telah jebol di Arafah. Ternyata penjualnya orang Indonesia. Waah jauh-jauh datang ke tanah suci ternyata
jualan sandal....
Kami menggelar
tikar berjajar dan melintang tidak karuan. Bergerombol menurut rombongan asal
kami. Ustadz menunjukkan arah kiblat, dan kami menunaikan sholat maghrib dan
isya’ berjamaah. Di Muzdalifah ini juga kami mengambil kerikil. Konon di padang
mabit telah disediakan gundukan batu kerikil. Namun lantaran ini bukan lokasi
resmi, mula-mula kami kesulitan mencari kerikil. Akhirnya jama’ah mengambil
kerikil di sekitar toilet, yang sebenarnya mungkin adalah kerikil untuk resapan
air. Semoga kami dimaklumi dan dimaafkan oleh pemerintah Saudi.
Banyaknya
kerikil yang diambil berjumlah 70 butir. 7 butir untuk melempar jumrah Aqobah
pada tanggal 10 dzulhijjah. Dan 3 x 21 butir untuk melempar di hari tasyriq tanggal
11, 12, 13. Sebenarnya batu kerikil tidak perlu dicuci. Namun lantaran
mengambil di sekitar area toilet, kami
khawarir terkena najis. Jadi atas saran ustadz, kami mencucinya.
Aku mengambil
kerikil tanpa menghitungnya. Kumasukkan ke dalam kantong kresek hitam yang
kulubangi bagian bawahnya untuk membuang air bekas cuciannya. Seorang gadis
cantik dari Mesir berpakaian abaya hitam
tersenyum melihat aku mengambil dan mencuci banyak kerikil.
“Your
bag is very very very very...big!!” katanya dengan takjub.
Aku tertawa
bersamanya.
“ This
all for my grand mother, my sister, my brother...not only for me...” jawabku.
Memang beberapa
orang meminta tolong aku untuk mengambil kerikil. Ketika orang lain memilih kerikil
satu persatu, menghitungnya dan memperhatikan ukuran agar seragam, aku hanya
meraup dengan tanganku kuperkirakan sebanyak
kebutuhan beberapa orang yang menitip padaku.
Demikianlah
urusan kerikil membuat kami berjongkok dan membungkuk dikeremangan malam,
mengais-ngais tanah.
“ Tidak
peduli jabatan ,pangkat , gelar, mau doktor, mau profesor, mau jendral , kaya atau
miskin...semua orang mengais-ngais kerikil di dekat toilet...” komentar bu Awie
rekanku. Kami bergembira dan menikmati proses itu dengan gurauan menjelang
tengah malam.
Begitulah
mungkin diantara hikmah berhaji. Menanggalkan
seluruh atribut dunia. Memakai baju ihram yang sama dan melakukan proses yang
sama. Antri toilet dan antri wudhlu. Sujud di tempat yang sama, mencari kerikil
dan juga tidur beralaskan tikar sama seharga 10 reyal. Seorang artis ibukota
dalam rombongan travel kami menggelar tikar berjajar dengan istrinya, kepala
mereka tak jauh dari kakiku....
Kami
disarankan mengisi malam itu untuk istirahat tidur. Namun tidak mudah
memejamkan mata di padang terbuka. Angin gurun mulai berhembus semilir. Semakin
malam terasa semakin dingin. Banyak yang tidak membawa selimut dan meringkuk
bergerombol untuk mengusir dingin. Beruntung aku membawa sleeping bag. Jadi aku
masuk kantung dan menikmati kehangatannya.
Berbaring
diantara ribuan orang, memandang langit malam yang luas, kurenungkan keberadaanku
di sini. Bintang-bintang nampak samar di ketinggian. Betapa besarnya semesta,
betapa besarnya kuasa Allah. Aku hanya setitik nyawa dalam luasnya gurun. Setitik
debu dalam semesta. Tak layak bagiku untuk menyombongkan diri. Aku beristighfar
dan membuat janji-janji kebaikan dalam diriku.
Kubaca doa dan dzikir amalan menjelang tidur. Kubaca
surat Al-Fatihah, ayat kursi, surat Al-Ikhlash, surat Al-Falaq dan surat Annas.
Kubaca subhanallah,walhamdulillah dan Allahu akbar 33 kali. Alhamdulillah bisa
terlelap juga.
Sesekali
terjaga oleh raungan sirene mobil patroli dan samar-samar suara kendaraan yang
menderu di atas dan di samping lokasi. Selebihnya adalah suara desau angin
gurun di kejauhan. Kuanggap saja iramanya
menjadi musik pengantar tidur.
Pukul 03.00
kami sudah terbangun. Ada yang menunaikan sholat fajar. Antrian toilet pagi
lumayan panjang. Hingga menjelang shubuh tak kurang 10 orang mengantri di tiap
pintu. Namun semua harus dijalani dengan shabar.
Dalam kesibukan
berkemas pagi , kusempatkan mengabadikan para jama’ah yang tidur berjajar. Berselimut
pakaian ihram, mereka layaknya mayat yang telah dikafani. Banyak orang berbuat
baik, saling menawarkan minuman air mineral, membagi bekal biskuit , mie dan
buah-buahan. Serombongan kakek-kak k berkulit hitam nampak senang ketika kami
membagi makanan. Kami juga senang bershodaqoh lantaran beban bawaan kami
berkurang.
Seorang
kakek tua yang sendirian, sedikit kebingungan ketika mendapat pop mie. Akhirnya
kami membelikannya air panas dan menyeduhkan sekalian agar dia bisa
mengkonsumsi pop mie tersebut. Malum kami tidak bisa bahasa Afrika, dan kakek
tersebut tidak faham dengan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Walaupun tidak saling mengenal, namun rasa
persaudaraan dalam Islam, senasib dan sepenanggungan telah menyatukan para jama’ah.
Terdengar
adzan bersahutan, kami sholat shubuh berjama’ah dan bergegas menuju bus yang
parkir cukup jauh. Tentu sekali lagi dengan prosesi menerobos pagar untuk
mencapai jalan raya...hmm astaghfirullah!
Muzdalifah
yang singkat dan penuh makna. Semoga kelak Allah mengizinkan kami kembali
mabit...
Kangen ke tanah suci lagi
ReplyDeleteSemoga kesampaian bisa umrah tiap tahun ya mak, amin...
ReplyDeleteItem2 yg perlu dibawa saya catat krn masuk porsi th ini..trim bu nur ya
ReplyDelete