“Istri saya pergi dari rumah bu...”
“Bagaimana awal mulanya? Kan tidak mungkin tanpa sebab dia
pergi dari rumah?”
“Tadi pagi dia bikin minum untuk saya. Memberikan dengan
wajah cemberut dan agak kasar meletakkan gelasnya. Saya bilang: kalau nggak
rela membuatkan minum, nggak usah membuatkan minum untuk saya selamanya. Lalu
ia marah...”
“Trus ia langsung pergi dari rumah?’
“Tidak, dia lalu membantah, mengungkit beberapa hal. Kami lalu
perang mulut dengan beberapa topik masalah kami selama ini. Trus saya bilang,
kalau kamu nggak kerasan di rumah ini, nggak nurut dengan saya, pulang saja ke
rumah orang tuamu. Trus dia beres-beres dan pergi dari rumah saat saya di
tempat kerja....’
Kami berdialog sore itu, suami ini menyadari saat pulang kerja,
istri dan anaknya telah angkat kaki. Eh saya tidak melanjutkan kisah ini, lain
kali saja ya dalam bahasan yang lain.
Yang ingin saya angkat adalah pemicu ledakan rumah tangga
itu, pada kalimat:
“Tadi pagi dia bikin minum. Memberikan dengan wajah cemberut
dan agak kasar meletakkan gelasnya....”
Saya tidak (hanya) sedang menyalahkan istri, karena kesalahan
ada pada keduanya. Memang dalam konflik rumah tangga, tak mungkin hanya satu
fihak 100% benar dan fihak lain 100% salah. Semua punya andil kesalahan, hanya
prosentasenya bergeser dari waktu ke waktu. Adakalanya besar di suami,
adakalanya besar di pihak istri.
Sekarang saya sedang bicara kepada para istri dulu. Untuk
para suami, biarlah suami saya yang bicara dalam Wonderful Husband.
Wahai para istri, hati-hati dengan sikap non verbal. Jangan sampai
sikap non verbal mempengaruhi kualitas hubungan dengan suami menjadi negatif.
Apa sih yang dimaksud komunikasi non verbal? Karena saya
bukan ahli teorinya, maka saya kutipkan dari mas Wikipedia:
“
Komunikasi nonverbal adalah
proses komunikasi dimana pesan disampaikan tidak
menggunakan kata-kata.
Contoh komunikasi nonverbal ialah menggunakan gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi
wajah dan kontak mata,
penggunaan objek seperti pakaian, potongan rambut,
dan sebagainya, simbol-simbol, serta cara
berbicara seperti intonasi, penekanan, kualitas suara, gaya emosi, dan gaya berbicara.
Para
ahli di bidang komunikasi nonverbal biasanya menggunakan definisi "tidak
menggunakan kata" dengan ketat, dan tidak menyamakan komunikasi non-verbal
dengan komunikasi nonlisan. Contohnya, bahasa
isyarat dan tulisan
tidak dianggap sebagai komunikasi nonverbal karena menggunakan kata, sedangkan
intonasi dan gaya berbicara tergolong sebagai komunikasi nonverbal. Komunikasi
nonverbal juga berbeda dengan komunikasi bawah sadar, yang dapat berupa
komunikasi verbal ataupun nonverbal.” dari link ini.
Adalah
penelitian menarik yang dilakukan oleh Albert Mahrabian(1971) yang menyimpulkan
bahwa ternyata oh ternyata dalam komunikasi, tingkat kepercayaan dari
pembicaraan orang hanya 7% yang berasal dari bahasa verbal. Selebihnya 38% dari
vocal suara. Yang dominan adalah dari ekspresi wajah karena mencapai 55%. Ini
yang perlu diperhatikan, masih menurut Albert mahrabian, jika terjadi
pertentangan antara apa yang diucapkan seseorang dengan perbuatannya, orang
lain cenderung mempercayai hal-hal yang bersifat nonverbal.
Whoi...luar biasa ya pengaruh bahasa non verbal nih. Nah ayo
kita gunakan untuk mengekspresikan kebaikan. Berlatih menggunakan bahasa tubuh
baik raut wajah, senyuman, gerakan kepala, pancaran mata, gerak tangan,
gerak-gerik tubuh, untuk mengungkapkan perasaan, isi hati, isi pikiran,
kehendak dan sikap kita. O ya bahkan cara kita bernafas, menunjukkan situasi
hati emosi kita.
Ada ungkapan yang saya temukan di sebuah buku: kamu adalah
cara kamu bernafas. Ada benarnya juga ya. Emosi seseorang mempengaruhi cara
bernafasnya. Namun emosi juga bisa dikendalikan dengan mengendalikan
pernafasan.
Tindakan atau perbuatan memang bukan pengganti kata-kata.
Namun ia dapat menghantarkan makna. Misalnya tadi meletakkan minuman dengan
kasar, mungkin saat mengaduknya sudah klutik-klutik ribut. Prilaku membanting
pintu, menggebrak meja atau meletakkan peralatan dapur dengan keras. Jika
hubungan suami istri sedang enak dan nyaman, ada suara glodakan di dapur atau
pintu yang berdebam keras, mungkin tak akan menimbulkan efek suudzon alias negatif thinking. Tapi pada saat situasi
sedang tegang, helaan nafas saja terasa cukup mengganggu.
Ayo kita perhatikan pendapat Mark
Knapp (1978) menyebut bahwa penggunaan bahasa nonverbal dalam berkomunikasi juga
memiliki fungsi untuk:
·
Meyakinkan apa yang diucapkannya (repetition)
·
Menunjukkan perasaan dan emosi yang tidak bisa
diutarakan dengan kata-kata (substitution)
·
Menunjukkan jati diri sehingga orang lain bisa
mengenalnya (identity)
·
Menambah atau melengkapi ucapan-ucapan yang
dirasakan belum sempurna.
Naah, sebenarnya kalau kita menyadari, justru bisa menset bahasa
non verbal untuk meraih perhatian dan cinta suami. Membumbui hubungan kita dengan
kesan manis ungkapan non verbal.
“Suami saya tidak bisa diajak bicara lagi bu...” demikian
curhatan seorang istri.
Jangan putus asa, masih ada peluang. Kata-kata, itulah keterbatasan
bahasa verbal. Adapun bahasa non verbal, ia akan mengalir terus 24 jam. Disengaja
maupun tidak. Bahasa verbal bisa terputus atau tersekat, namun peluang bahasa
non verbal terus terbuka. Suami punya dua pasang telinga, bukan hanya untuk
mendengarkan suara dari mulut istri, namun juga suara helaaan nafas kita yang
teratur. Punya mata untuk melihat senyum dan kesungguhan kita, punya kulit
untuk merasai belaian dan pijitan istri. Punya lidah untuk mencepat lezatnya
sajian istri. Punya hati untuk menghargai sebentuk hadiah kecil dari istri.
Whoi... jangan bilang saya tak adil karena menuntut istri
melakukan yang terbaik, termasuk dalam ketundukan bahasa non verbal. Setiap
orang menanggung amal perbuatannya. Di dunia ini hanya tengah diuji untuk
melakoni perannya. Jadi mari menjadi istri yang menyenangkan, lengkap dengan
bahasa non verbal kita.
Terakhir, saya masih percaya pada sunatullahnya cermin.
Cermin hanya memantulkan apa atau siapa yang bercermin. Cermin memberikan yang
sepadan. Terkadang sikap dan respon negatif seseorang, apakah itu pasangan kita
atau orang lain, bisa jadi disebabkan oleh umpan negatif. Umpan verbal maupun
non verbal. Umpan non verbal ini yang acapkali lengah dari penyadaran.
Masalah mungkin muncul jika cermin retak, dan memantulkan
bayangan yang rusak dan menimbulkan kesalahfahaman. Tak perlu menyalahkan setan
dalam berbagai wujudnya yang fungsinya memang merusak hubungan. Kita kuatkan
saja diri sendiri. Kebeningan hati dan niat tulus untuk membangun hubungan
sejati, semoga bisa memperbaiki cermin rusak, agar utuh kembali.
Tak lupa ya, selalu berdoa agar Yang di atas sana, selalu
membinbing kita, amin.
O,ya boleh kok melengkapi secuil bahasan yang terasa ‘cekak
aos’ ini lantaran kekurangan dan kebodohan penulisnya. Silahkan tulis di kolom komentar.
Artikel tentang keluarga juga bisa dilihat di http://ida-nurlaila.blogspot.com/2013/12/istri-ngeyel-akankah-disukai-suami.html
lagi2 postingan yang cantik Mak.. bismillah saya masih harus banyak belajar bahas nonverbal ini... :D
ReplyDeleteTulisan yg menarik mbak, saya musti bnyk belajar juga inih :D
ReplyDeleteMakasih mak Riski dan Ra Atthamir. atas kunjungannya. saya juga terus belajar...yuuk belajar bersama haha
ReplyDeletekeren mak Ida ulasannya ^^ seringkali komunikasi non verbal lebih 'berbicara' dibanding komunikasi verbal ya mak :p
ReplyDeleteiya betul mak...makasih kunjungannya
ReplyDelete