Ibuku |
Seorang nenek yang menurutku sangat tua, setiap hari melintas
di depan rumahku. Badannya yang kurus kecil, berjalan membungkuk 90 derajat.
Setiap sekitar sepuluh meter, ia akan berhenti dan duduk bersimpuh.
Kucoba mengamati, apa yang dilakukan nenek tua yang sudah
‘buyuten’ atau tremor ini. Pagi-pagi sekali, sekitar pukul 05.30, nenek ini
pergi membeli sarapan. Ia membeli bubur, sayur dan beberapa potong gorengan
yang akan menjadi menunya sepanjang hari. Kadang ia agak kesiangan sehingga
buburnya telah habis, atau bahkan penjualnya telah berkemas. Pada saat
demikian, ia mencegat penjual sayur langgananku untuk membeli lauk dan
panganan. Jika menjumpainya, saat ia belanja bersamaan denganku, aku akan mentraktirnya saat si nenek membeli
apa saja. Biasanya belanjaannya tak akan lebih dari Rp.5.000,-
Nenek itu juga selalu pergi ke kebun depan rumahku.
“ Dulu saya yang menyapu kebun bu Kaji ini...ketika saya
masih kuat...” tuturnya padaku, memakai bahasa Jawa tentu, dengan suara yang gemetar
di sela nafasnya yang terengah.
Sebenarnyalah kebun itu adalah tanah desa yang di sewa bu Haji
tetanggaku, lalu ditanami pohon pisang, melinjo dan rambutan. Apa yang
dilakukan nenek di kebun yang penuh sampah dedaunan kering itu ?
Nenek memunguti buah melinjo yang telah jatuh di tanah. Ia
membawa plastik untuk menampung buah-buah warna merah dan dengan susah payah ia
temukan disela-sela daun kering. Tak banyak yang ia temukan, mungkin hanya segenggam
atau dua genggam setiap harinya. Kadang nenek juga membawa pulang beberapa
ranting kering, kardus bekas dan plastik bekas.
“ Kangge urup-urup...”. Maksudnya untuk menyalakan api, atau
memasak.
Bulik suamiku |
Mungkin tak ada yang tahu berapa umurnya, bahkan mungkin nenek
itu sendiri juga tidak tahu. Cicitnya sudah banyak. Untuk membayangkan usianya,
anak sulung si nenek sudah meninggal karena sakit tua, ia adalah tukang pijit
langganan suamiku.
Setiap melihat nenek itu melintas, ibuku berusaha memberi
sesuatu, apakah uang atau makanan. Sekalipun tidak bermaksud meminta-minta, namun
ia tak menolak jika diberi sodaqoh. Jika
ada makanan berlebih di rumah, ibu akan
menyuruh karyawanku untuk mengantarkan ke rumah nenek itu. Demikian pula setiap
Hari Raya, ibu mengalokasikan zakatnya untuk beberapa nenek, dan nenek bungkuk
itu adalah prioritasnya.
“ Kasihan nenek, aku bersyukur masih punya anak yang mau
memperhatikan aku...” kata ibuku setiap kali.
Aku pernah mencoba menggali
berita, apakah betul keluarganya tidak peduli, atau si nenek yang tidak mau
dilarang pergi-pergi. Tak pernah kudapat cerita yang tepat. Wallahu a’lam,
siapa yang benar.
Beberapa kali saat tengah malam atau dini hari aku mengintip
ke jalan. Betapa kagetnya aku melihat si nenek berjalan sendirian. Dan dengan
sesekali diselingi duduk bersimpuh untuk mengambil nafas. Aku tak tahu, mengapa
tengah malam lewat nenek masih saja berjalan-jalan.
Menurut orang-orang, mungkin nenek pergi ke sungai untuk
buang air. Padahal mestinya, anak dan keluarganya yang tinggal
sebelah-menyebelah juga memiliki jamban. Namun si nenek sudah terbiasa
melakukannya di sungai. Tak dapat dicegah.
Hmm siapa juga yang akan mencegahnya pergi keluar pada jam
01.00 dini hari.
*******
Ibu mertuaku |
Melihat nenek, aku memikirkan tentang sebuah kemestian :
menjadi tua.
Mungkin pada sebagian orang, menjadi tua bukan kemestian,
lantaran mati muda. Namun bagi yang dikaruniai umur panjang, menjadi tua adalah
kemestian. Sekalipun dewasa ini banyak tawaran program anti aging,
melawan ketuaan, menjadi tua tak bisa dihindari. Kulit berkerut bisa saja
dilicinkan dengan setrika wajah, akupuntur atau suntik botox. Mungkin dengan
operasi plastik. Namun menjadi tua bukan hanya permasalahan kulit. Bukan hanya
permukaan. Tidak mungkin setiap organ yang menua dan mulai menurun
fungsinya diselesaikan dengan cangkok organ. Namanya ganti orang semuanya. Orang tua mengalami gangguan pencernaan,
sering merasa penuh di perut, karena
pencernaan yang lambat, susah buang air besar atau sembelit. Mungkin lambung
dan ususnya sudah capek bekerja.
Orang tua kehabisan gigi lantaran keropos, atau tanggal,
kesulitan mengunyah membuat mereka tak lagi mengunyah, akibatnya mengalami juga
gangguan pendengaran. Selain karena memang sudah menurun fungsinya, juga karena
kotoran telinga tak lagi bisa keluar secara alamiah.
Bagi perempuan, pengeroposan tulang tak dapat dihindari
sejalan dengan menurunnya kadar hormon estrogen. Apalagi pasca menopause. Rasa
ngilu dan pegal di tulang dan persendian, sangat mengganggu apalagi saat
menjelang tidur dan bangun tidur. Hanya anda yang berusia di atas 40 tahun yang
memahami rasa ini. Dan masih banyak lagi....
pakde dari suamiku |
Apakah aku siap menghadapi semua itu ?
Apakah anda siap menjadi tua ?
Ukuran sederhana saja : apa reaksi anda ketika pertama kali
menemukan beberapa lembar uban di kepala anda ?
Jawabannya anda sendiri yang tahu. Boleh saja memberi tahu
saya.
Yang penting, ayo bersiap menjadi tua.
Menambah amal ibadah, menghargai orang tua, dan menikmati menjadi tua.
Karena menjadi tua itu kemestian!
ket: Foto koleksi pribadi.
Hm,siapkah menjadi tua? pertanyaan yang menohok Mba. Beberapa waktu lalu, saya menenemukan sehelai rambut putih di kepala. Hehehe, ternyata saya sudah mulai tua Mba ida. Jika tua itu suatu kepastian,saya harus bersiap menyambutnya..semoga bisa menikmati..
ReplyDeleteAyo bersiap menjadi tua. Menambah amal ibadah....dst. i like it. Suami sy baru berumur 33 tp sdh ada satu dua uban di kepalanya. Setiap kutanya,"abi kok sdh ubanan,beban hidupnya berat ya?mikir aku sama anak2 ya?" Suami menjawab,"mungkin itu salah satunya. Karena kamu dan anak2 kita adalah tanggung jawabku dan kelak aku akan dimintai pertanggungjawabannya."
ReplyDeleteTp kadang dia menjawab ,"uban adalah kehormatan seperti halnya nabi ibrahim yg diberi uban oleh Alloh lantas bertanya "apakah ini?" Alloh jawab,"itu adalah kehormatan yg kuberikan padamu." So...menjadi tua adalah sebuah kemestian tapi menjadi dewasa adalah pilihan
wah diatas 30 tahun saja sdh byk perubahan fisik yg dirasakan mba,siap gak siap kayaknya mesti siap menjadi tua ya mba
ReplyDeletemakasih ya kunjungannya Evi Nursanti, Ety Handayaningsih, Fitri anita dan Johanes Gultom. jadi pengin membuat penelitian tentang respon saat melihat uban untuk pertamakali di kepala sendiri....
ReplyDeletesaya malah kepikiran dan penasaran sama nenek itu bu, kasian
ReplyDeletebunda santi, nenek itu meninggal bulan ramadhan kemarin...makasih sudah berkunjung
ReplyDeletesiap ga siap tua pasti akan datang ya mak :),, semoga saya menjadi tua yang berfikiran dewasa yah :0
ReplyDelete