Pages

Thursday, February 6, 2014

Perempuan-perempuan di sebuah rumah makan


Siang ini aku duduk di kursi di sebuah rumah makan ayam goreng terkenal di kotaku bersama suami dan ketiga anakku. Senin siang yang gerimis, pengunjung tidak seramai biasanya, mungkin karena jam makan siang telah agak lewat, ini jam 14.00. Kami memesan makanan dan minuman. Aku sedang tercengang-cengang melihat Revo yang semangat 45 mengunyah ayamnya sambil sesekali bilang enak banget. Duduk tak jauh dari meja kami dalah beberapa gadis yang cukup menarik perhatian. Paling tidak bagiku. Namun sepertinya banyak pengunjung lain juga tertarik untuk melirik dan memandangi mereka.

Sebagai sekelompok remaja, mereka sebenarnya tidak ribut, tidak tertawa-tawa sebagaimana remaja sekarang yang jika kumpul-kumpul dunia seakan milik mereka. Mereka duduk manis saja sesekali berkerumun memperhatikan lap top yang menyala. Aku tidak berusaha menguping pembicaraan mereka yang memang tidak mencolok, hanya saat datang tadi kulihat mereka menaiki grand livina dan melenggang bersama dengan percaya diri. Menilik postur dan cara mereka berpakaian, aku mengira mereka ini habis latihan, entah latihan senam, balet atau menari. Hampir semua memakai sepatu olah raga, kaus senam yang disamarkan dengan atasan untuk rangkapan atau rok panjang yang modis untuk menutup leging.

Seorang pelayan perempuan, ibu-ibu paruh baya yang mungkin limapuluhan tahun usianya, seringkali kupergoki menatap mereka dengan pandangan yang aku tidak tahu maknanya. Ibu ini memakai seragam batik abu-abu kusam seragam para pelayan. Rambutnya yang sudah ada semburat putih diikat dan digelung sederhana agar kelihatan rapi. Badannya yang kecil dan agak kurusan mestilah menunjukkan bahwa ia bukan orang yang suka makan sekalipun sebagai pelayan restoran kesehariannya berhadapan dengan makanan.

Mungkin dunia para remaja itu seolah tak terjangkau olehnya. Rombongan gadis manis dan cantik  semampai, bermobil dan mampir ke rumah makan manapun yang mereka suka. Saling mentraktir dan membincangkan suatu dengan seriusnya. Mungkin seumur hidup ia tak pernah memiliki mobil, sehingga melihat gadis muda itu menyetir dan membelanjakan uang tanpa menghitungnya, adalah sesuatu yang diluar jangkauannya. Sedangkan hidupnya sendiri selalu ia habiskan dengan kerja keras mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk biaya hidupnya dan sekolah anak-anaknya. Sebagai pelayan, gajinya tak seberapa, di bawah UMR malah. Entah apakah ia pernah menginginkan anak gadisnya juga bisa seperti para remaja ini, atau justru sebenarnya ia mengelus dada, sekalipun hanya dalam fikirannya.

Para gadis muda itu, seperti tak menyadari pendangan penuh makna dari ibu pelayan. Ah mungkin hanya aku yang iseng menebak fikiran orang.

Sembari menikmati makanan, suara merdu ibu penyanyi yang tidak muda lagi, mendendangkan lagu-lagu pop yang enak di dengar. Suaminya, sepertinya suaminya ya, bermain organ tunggal mengiringinya menyanyi. Aku sendiri beberapa kali ikut menyanyi tepatnya menggumankan lirik,  sambil makan dan manggut-manggut. Maka sesekali kulihat ibu penyanyi dan memergoki bahwa lebih banyak ia melihat kumpulan gadis muda itu. Ibu penyanyi ini usianya seprtinya 40-tahun. Mungkin di rumah ia juga punya anak-anak ABG, mungkin ada pula yang perempuan.

Aku membayangkan percakapan imajiner ibu penyanyi itu dengan dirinya sendiri.
“Siapa mereka ya? Gadis-gadis muda yang sungguh beruntung. Mereka cantik, tinggi, ramping dan kaya. Sepertinya juga bukan anak muda yang suka hura-hura atau hidup tak bertujuan. Sepertinya mereka memiliki proyek yang tengah mereka kerjakan dengan serius. Apakah kelak anak-anakku juga akan demikian?”

Pandangan matanya beralih ke stoples tempat uang pemberian dari pengunjung. Stoples itu selalu dibiarkan terbuka, diatas sebuah kursi plastik di depan mereka. Ada lembaran ribuan, dua ribuan, limaribuan dan puluhan di dalamnya. Sesekali mampir juga lima puluhan ribu dari orang kaya baik hati yang suka request lagu kesukaan mereka. Stoples itulah yang menjadi mata pencahariannya untuk hidup bersama anak-anaknya.

Perempuan itu terus menyanyi. Ia sudah sering duduk di situ menyanyi dan memperhatikan berbagai-bagai pengunjung, karakter dan gaya mereka. Jadi untuk apa apa ia repot memikirkan para gadis muda itu....

Seorang nenek menaiki tangga dengan susah payah menuntun suaminya yang berjalan tertatih membawa tongkat. Lelaki itu mungkin dulunya juga gagah perkasa, namun kini wajahnya pucat dengan lingkaran hitam di seputar matanya. Menunjukkan bukan saja jalannya yang goyah, tetapi juga berbagai penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Nenek itu tak lagi perkasa, namun ia menuntun suaminya dengan penuh sabar dan cinta.

Tentu pandangannya juga mampir ke kerumunan lima gadis muda itu. Kukira ia membatin:
“Aku dulu juga pernah, muda remaja dan mempesona. Nikmatilah gadis muda, masa dimana engkau bisa melangkah ceria. Kelak sampai masanya sepertiku, dengan tulang keropos dan harus menopang suami berjalan menghibur hati....” Aku tak lagi melanjutkan pengamatanku karena mereka duduk di belakangku.

Pemilik restoran itu adalah anak sang pendiri restoran. Sudah lama aku mengenalnya walau sekedar tahu dan melempar senyum tanpa berbincang. Seperti yang lainnya, ia juga suka memandangi tamu-tamunya dari balik meja kasir. Kutahu ibu muda, cantik dan gemuk itu agak cuek, jadi tentu ia tak terlalu memikirkan lebih jauh tamu-tamu. Seperti keisenganku. Yang penting baginya hanya para tamu terlayani dengan baik, menu pesanan segera diantar dan sesekali memandang para tamu yang lahap menyikat ayam gorengnya. Cukup. Sepertinya ia tak terlalu ingin tahu dan dekat dengan para pembelinya.

Akhirnya kelar juga anakku yang menghabiskan dua setengan potong dada atas, artinya hampir separo ayam ia makan sendiri...aku membungkus juga 10 potong untuk yang di rumah. Membayar dan melotot melihat tagihan saat harus merogoh beberapa lembar ratusan ribu untuk 18 potong ayam, tiga piring nasi dan beberapa snack yang kubawa pulang. Sudah tahu ini ayam goreng mahal, tapi begitulah berulang anakku minta ke situ walau hanya sebulan sekali, dan setiap kali aku melotot melihat uang yang kubayarkan. 

Kukira aku hanyalah satu dari perempuan di warung makan ini yang memiliki cara hidup dan fikiranku sendiri. Sekalipun telah memiliki penghasilan, tetap saja aku lebih suka berhemat karena banyaknya keperluan hidup.


Sudahlah, sebagian dari cerita ini adalah khayalanku, terutama pada bagian pemikiran para perempuan di warung makan. Ya hanya khayalan imajinerku. Tapi boleh saja anda mempercayainya. Adapun anda, jika berada di sana, kira-kira apa yang anda fikirkan?

17 comments:

  1. Mbak Ida.. inspiratif sekali tulisannya.
    terutama di bagian yang kata Mbak Ida imajiner itu..
    saya belajar untuk 'andai di posisi itu' yang kebetulan posisinya kurang enak.
    Dan dengan demikian, membuat kita lebih bersyukur.

    ReplyDelete
  2. makasih kunjungannya Titi Esti, saya sedang mencoba menyelami jika menjadi seseorang pada suatu waktu, suatu tempat dan melihat sesuatu...selamat berimajinasi juga

    ReplyDelete
  3. Masalah sepele tapi menjadi tulisan yang memiliki sarat makna.
    Terimakasih Bunda.
    Boleh ya, Ika panggil Bunda :)

    ReplyDelete
  4. Ibu itu mungkin ingat anak gadisnya di rumah Mbak..:)

    ReplyDelete
  5. Saya juga suka berimajinasi saat duduk dan makan di kedai gitu Mak Ida. Sayangnya imajinasi saya sering putus mendadak karena kedua anak saya tampaknya lebih membutuhkan perhatian. Setiap kali pergi bersama, saya harus berperan dobel2, jadi ibu, guru, polisi sekaligus wasit bagi 'pertandingan' anak2 saya hahahaaa... Anak cuma 2 tapi hebohnya se-Nusantara :)

    ReplyDelete
  6. imajinasiku tentang ayamnya kayanya hehehe

    ReplyDelete
  7. sawang sinawang hehe...tapi saya salah fokus nih mbk,kok lagi ngelamunin ayam,enak nih kayaknya hehehe

    ReplyDelete
  8. ayamnya menggoda..

    nama restonya apa nih bu? siapa tahu bisa mampir.. :D

    *gagalfokus

    ReplyDelete
  9. Mbak Ida seorang pengamat yang baik ...

    Mbak Ida bisa menjabarkan cerita dari sisi masing-masing object yang dilihat ...

    Keren ini Mbak

    Salam Saya

    (6/2 : 24)

    ReplyDelete
  10. makasih kunjungannya semua saja, salam kenal Nh 16, Bunda3R kalau mau tahu nama restonya japri ya, hehe soalnya gak dibayar untuk promo nih...mak hanna, mak Lidya...itu ilustrasi ayam hasil gorenganku sendiri hihi, Mak Uniek...sementara jadi wasit dan poslisi dulu, sayanya bisa melamun karena perginya sama ayahnya, jadi polisinya udah ada.mak Ika dan mak Evi, makasih ya...

    ReplyDelete
  11. makasih kunjungannya semua saja, salam kenal Nh 16, Bunda3R kalau mau tahu nama restonya japri ya, hehe soalnya gak dibayar untuk promo nih...mak hanna, mak Lidya...itu ilustrasi ayam hasil gorenganku sendiri hihi, Mak Uniek...sementara jadi wasit dan poslisi dulu, sayanya bisa melamun karena perginya sama ayahnya, jadi polisinya udah ada.mak Ika dan mak Evi, makasih ya...

    ReplyDelete
  12. Sambil nunggu anak2 makan, dapety ide postingan ya mbaa hehe, ngiler liat ayamnyaa

    ReplyDelete
  13. hehe buka mata dan telinga miss Hagemaru

    ReplyDelete
  14. Hehehe.... makannya enak mbak, pas bayar jadi pikir2, dulu saya pas masih tinggal dg mertua kalau pingin apa2 gak bisa gak membungkus untuk keluarga. Apalagi suami gak suka makan di warung, masak saya makan sendiri, atau kalau bungkus masak cuma saya dan suami, sementara ada beberapa kepala di rumah bukan hanya bapak ibu saja. Kalau mau makan di luar pasti pikir2 lagi biayanya. Hehehehe.... sekarang? Sama saja sih mbak.

    ReplyDelete
  15. Saya suka dengan gaya cerita ini. Tiap-tiap sosok digambarkan dengan apik.Imajinasi yang kuta.
    Jika Emak juga berada di situ pasti juga akan diulas."Seorang wanita kurus berjilbab tampak duduk di pojok.Tak banyak bicara,wajahnya sumringah menatap seorang laki-laki ganteng.Itu pasti anaknya..ya anaknya. Berkali-kali wanita itu memanggil laki-laki berkumis itu dengan sebutan 'Nak'" ha ha ha ha

    Salam hangat dari Surabaya

    ReplyDelete
  16. wah ada pake Cholik, makasih sudah nambahi ceritanya. Nunu el fasa hihi saya model emak ngirit...

    ReplyDelete
  17. wah ada pake Cholik, makasih sudah nambahi ceritanya. Nunu el fasa hihi saya model emak ngirit...

    ReplyDelete