Siang ini aku duduk di kursi
di sebuah rumah makan ayam goreng terkenal di kotaku bersama suami dan ketiga
anakku. Senin siang yang gerimis, pengunjung tidak seramai biasanya, mungkin
karena jam makan siang telah agak lewat, ini jam 14.00. Kami memesan makanan
dan minuman. Aku sedang tercengang-cengang melihat Revo yang semangat 45
mengunyah ayamnya sambil sesekali bilang enak banget. Duduk tak jauh dari meja
kami dalah beberapa gadis yang cukup menarik perhatian. Paling tidak bagiku.
Namun sepertinya banyak pengunjung lain juga tertarik untuk melirik dan
memandangi mereka.
Sebagai sekelompok remaja,
mereka sebenarnya tidak ribut, tidak tertawa-tawa sebagaimana remaja sekarang
yang jika kumpul-kumpul dunia seakan milik mereka. Mereka duduk manis saja
sesekali berkerumun memperhatikan lap top yang menyala. Aku tidak berusaha
menguping pembicaraan mereka yang memang tidak mencolok, hanya saat datang tadi
kulihat mereka menaiki grand livina dan melenggang bersama dengan percaya diri.
Menilik postur dan cara mereka berpakaian, aku mengira mereka ini habis
latihan, entah latihan senam, balet atau menari. Hampir semua memakai sepatu
olah raga, kaus senam yang disamarkan dengan atasan untuk rangkapan atau rok
panjang yang modis untuk menutup leging.
Seorang pelayan perempuan,
ibu-ibu paruh baya yang mungkin limapuluhan tahun usianya, seringkali kupergoki
menatap mereka dengan pandangan yang aku tidak tahu maknanya. Ibu ini memakai
seragam batik abu-abu kusam seragam para pelayan. Rambutnya yang sudah ada
semburat putih diikat dan digelung sederhana agar kelihatan rapi. Badannya yang
kecil dan agak kurusan mestilah menunjukkan bahwa ia bukan orang yang suka
makan sekalipun sebagai pelayan restoran kesehariannya berhadapan dengan
makanan.
Mungkin dunia para remaja
itu seolah tak terjangkau olehnya. Rombongan gadis manis dan cantik semampai, bermobil dan mampir ke rumah makan
manapun yang mereka suka. Saling mentraktir dan membincangkan suatu dengan
seriusnya. Mungkin seumur hidup ia tak pernah memiliki mobil, sehingga melihat
gadis muda itu menyetir dan membelanjakan uang tanpa menghitungnya, adalah
sesuatu yang diluar jangkauannya. Sedangkan hidupnya sendiri selalu ia habiskan
dengan kerja keras mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk biaya hidupnya dan
sekolah anak-anaknya. Sebagai pelayan, gajinya tak seberapa, di bawah UMR
malah. Entah apakah ia pernah
menginginkan anak gadisnya juga bisa seperti para remaja ini, atau justru
sebenarnya ia mengelus dada, sekalipun hanya dalam fikirannya.
Para gadis muda itu, seperti
tak menyadari pendangan penuh makna dari ibu pelayan. Ah mungkin hanya aku yang
iseng menebak fikiran orang.
Sembari menikmati makanan,
suara merdu ibu penyanyi yang tidak muda lagi, mendendangkan lagu-lagu pop yang
enak di dengar. Suaminya, sepertinya suaminya ya, bermain organ tunggal mengiringinya
menyanyi. Aku sendiri beberapa kali ikut menyanyi tepatnya menggumankan lirik, sambil makan dan manggut-manggut. Maka
sesekali kulihat ibu penyanyi dan memergoki bahwa lebih banyak ia melihat kumpulan
gadis muda itu. Ibu penyanyi ini usianya seprtinya 40-tahun. Mungkin di rumah
ia juga punya anak-anak ABG, mungkin ada pula yang perempuan.
Aku membayangkan percakapan
imajiner ibu penyanyi itu dengan dirinya sendiri.
“Siapa mereka ya? Gadis-gadis
muda yang sungguh beruntung. Mereka cantik, tinggi, ramping dan kaya.
Sepertinya juga bukan anak muda yang suka hura-hura atau hidup tak bertujuan.
Sepertinya mereka memiliki proyek yang tengah mereka kerjakan dengan serius.
Apakah kelak anak-anakku juga akan demikian?”
Pandangan matanya beralih ke
stoples tempat uang pemberian dari pengunjung. Stoples itu selalu dibiarkan
terbuka, diatas sebuah kursi plastik di depan mereka. Ada lembaran ribuan, dua
ribuan, limaribuan dan puluhan di dalamnya. Sesekali mampir juga lima puluhan ribu
dari orang kaya baik hati yang suka request lagu kesukaan mereka. Stoples
itulah yang menjadi mata pencahariannya untuk hidup bersama anak-anaknya.
Perempuan itu terus
menyanyi. Ia sudah sering duduk di situ menyanyi dan memperhatikan
berbagai-bagai pengunjung, karakter dan gaya mereka. Jadi untuk apa apa ia
repot memikirkan para gadis muda itu....
Seorang nenek menaiki tangga
dengan susah payah menuntun suaminya yang berjalan tertatih membawa tongkat.
Lelaki itu mungkin dulunya juga gagah perkasa, namun kini wajahnya pucat dengan
lingkaran hitam di seputar matanya. Menunjukkan bukan saja jalannya yang goyah,
tetapi juga berbagai penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Nenek itu tak lagi
perkasa, namun ia menuntun suaminya dengan penuh sabar dan cinta.
Tentu pandangannya juga
mampir ke kerumunan lima gadis muda itu. Kukira ia membatin:
“Aku dulu juga pernah, muda
remaja dan mempesona. Nikmatilah gadis muda, masa dimana engkau bisa melangkah
ceria. Kelak sampai masanya sepertiku, dengan tulang keropos dan harus menopang
suami berjalan menghibur hati....” Aku tak lagi melanjutkan pengamatanku karena
mereka duduk di belakangku.
Pemilik restoran itu adalah
anak sang pendiri restoran. Sudah lama aku mengenalnya walau sekedar tahu dan
melempar senyum tanpa berbincang. Seperti yang lainnya, ia juga suka memandangi
tamu-tamunya dari balik meja kasir. Kutahu ibu muda, cantik dan gemuk itu agak
cuek, jadi tentu ia tak terlalu memikirkan lebih jauh tamu-tamu. Seperti
keisenganku. Yang penting baginya hanya para tamu terlayani dengan baik, menu
pesanan segera diantar dan sesekali memandang para tamu yang lahap menyikat
ayam gorengnya. Cukup. Sepertinya ia tak terlalu ingin tahu dan dekat dengan
para pembelinya.
Akhirnya kelar juga anakku
yang menghabiskan dua setengan potong dada atas, artinya hampir separo ayam ia
makan sendiri...aku membungkus juga 10 potong untuk yang di rumah. Membayar dan
melotot melihat tagihan saat harus merogoh beberapa lembar ratusan ribu untuk
18 potong ayam, tiga piring nasi dan beberapa snack yang kubawa pulang. Sudah tahu
ini ayam goreng mahal, tapi begitulah berulang anakku minta ke situ walau hanya
sebulan sekali, dan setiap kali aku melotot melihat uang yang kubayarkan.
Kukira aku hanyalah satu dari perempuan di warung makan ini yang memiliki cara
hidup dan fikiranku sendiri. Sekalipun telah memiliki penghasilan, tetap saja
aku lebih suka berhemat karena banyaknya keperluan hidup.
Sudahlah, sebagian dari
cerita ini adalah khayalanku, terutama pada bagian pemikiran para perempuan di
warung makan. Ya hanya khayalan imajinerku. Tapi boleh saja anda
mempercayainya. Adapun anda, jika berada di sana, kira-kira apa yang anda
fikirkan?
Mbak Ida.. inspiratif sekali tulisannya.
ReplyDeleteterutama di bagian yang kata Mbak Ida imajiner itu..
saya belajar untuk 'andai di posisi itu' yang kebetulan posisinya kurang enak.
Dan dengan demikian, membuat kita lebih bersyukur.
makasih kunjungannya Titi Esti, saya sedang mencoba menyelami jika menjadi seseorang pada suatu waktu, suatu tempat dan melihat sesuatu...selamat berimajinasi juga
ReplyDeleteMasalah sepele tapi menjadi tulisan yang memiliki sarat makna.
ReplyDeleteTerimakasih Bunda.
Boleh ya, Ika panggil Bunda :)
Ibu itu mungkin ingat anak gadisnya di rumah Mbak..:)
ReplyDeleteSaya juga suka berimajinasi saat duduk dan makan di kedai gitu Mak Ida. Sayangnya imajinasi saya sering putus mendadak karena kedua anak saya tampaknya lebih membutuhkan perhatian. Setiap kali pergi bersama, saya harus berperan dobel2, jadi ibu, guru, polisi sekaligus wasit bagi 'pertandingan' anak2 saya hahahaaa... Anak cuma 2 tapi hebohnya se-Nusantara :)
ReplyDeleteimajinasiku tentang ayamnya kayanya hehehe
ReplyDeletesawang sinawang hehe...tapi saya salah fokus nih mbk,kok lagi ngelamunin ayam,enak nih kayaknya hehehe
ReplyDeleteayamnya menggoda..
ReplyDeletenama restonya apa nih bu? siapa tahu bisa mampir.. :D
*gagalfokus
Mbak Ida seorang pengamat yang baik ...
ReplyDeleteMbak Ida bisa menjabarkan cerita dari sisi masing-masing object yang dilihat ...
Keren ini Mbak
Salam Saya
(6/2 : 24)
makasih kunjungannya semua saja, salam kenal Nh 16, Bunda3R kalau mau tahu nama restonya japri ya, hehe soalnya gak dibayar untuk promo nih...mak hanna, mak Lidya...itu ilustrasi ayam hasil gorenganku sendiri hihi, Mak Uniek...sementara jadi wasit dan poslisi dulu, sayanya bisa melamun karena perginya sama ayahnya, jadi polisinya udah ada.mak Ika dan mak Evi, makasih ya...
ReplyDeletemakasih kunjungannya semua saja, salam kenal Nh 16, Bunda3R kalau mau tahu nama restonya japri ya, hehe soalnya gak dibayar untuk promo nih...mak hanna, mak Lidya...itu ilustrasi ayam hasil gorenganku sendiri hihi, Mak Uniek...sementara jadi wasit dan poslisi dulu, sayanya bisa melamun karena perginya sama ayahnya, jadi polisinya udah ada.mak Ika dan mak Evi, makasih ya...
ReplyDeleteSambil nunggu anak2 makan, dapety ide postingan ya mbaa hehe, ngiler liat ayamnyaa
ReplyDeletehehe buka mata dan telinga miss Hagemaru
ReplyDeleteHehehe.... makannya enak mbak, pas bayar jadi pikir2, dulu saya pas masih tinggal dg mertua kalau pingin apa2 gak bisa gak membungkus untuk keluarga. Apalagi suami gak suka makan di warung, masak saya makan sendiri, atau kalau bungkus masak cuma saya dan suami, sementara ada beberapa kepala di rumah bukan hanya bapak ibu saja. Kalau mau makan di luar pasti pikir2 lagi biayanya. Hehehehe.... sekarang? Sama saja sih mbak.
ReplyDeleteSaya suka dengan gaya cerita ini. Tiap-tiap sosok digambarkan dengan apik.Imajinasi yang kuta.
ReplyDeleteJika Emak juga berada di situ pasti juga akan diulas."Seorang wanita kurus berjilbab tampak duduk di pojok.Tak banyak bicara,wajahnya sumringah menatap seorang laki-laki ganteng.Itu pasti anaknya..ya anaknya. Berkali-kali wanita itu memanggil laki-laki berkumis itu dengan sebutan 'Nak'" ha ha ha ha
Salam hangat dari Surabaya
wah ada pake Cholik, makasih sudah nambahi ceritanya. Nunu el fasa hihi saya model emak ngirit...
ReplyDeletewah ada pake Cholik, makasih sudah nambahi ceritanya. Nunu el fasa hihi saya model emak ngirit...
ReplyDelete