Pages

Wednesday, May 21, 2014

Antara Anak dan Periuk Nasi, Antara Anak dan Aktualisasi Diri



Masih ingat cerita saya tentang PRT yang berhenti bekerja karena anaknya merecoki dia saat bekerja?

Ya itulah PRTku yang sekarang memilih momong anaknya yang berusia 4 tahun. Karenanya saya mendapat ganti seorang janda paruh baya beranak satu yang berasal dari kota lain. Karena PRT baru ini, seorang teman yang juga mencari pengasuh bayi, mendapat seorang pengasuh muda.
Pengasuh inilah yang menginspirasi tulisan ini.


Jadi begini kisahnya. Ia bekerja ratusan kilometer meninggalkan rumahnya untuk menjadi PRT dan pengasuh bayi. Alasannya sebagai single parents yang status pernikahannya digantung oleh suami tak bertanggungjawab, ia harus menafkahi anaknya.

Usianya masih muda, baru 22 tahun, namun anaknya sudah 2. Usia anaknya inilah yang memilukan saya. Anak pertama usia 3 tahun dan anak kedua usia 1 tahun. Sekarang berada di bawah pengasuhan neneknya.

Bayangkan dilema yang dialami perempuan ini. Meninggalkan dua balita untuk mengasuh balita lain, demi periuk nasinya agar selalu terisi.

Kukira ia bukan satu-satunya. Cerita serupa bertebaran di sekitar saya dan mungkin di sekitar anda. Seperti cerita mak Rufie Hikari di sini.

Tetanggaku meninggalkan bayi merah untuk menjadi TKW. Bayi pertamanya baru satu bulan dan diasuh oleh bapaknya duda yang sudah tua. Dan kita tak tahu siapa ayah si anak dan dimana. Para tetangga jatuh kasihan setiapkali si anak rewel atau sakit dan sang kakek kebingungan mengasuhnya.
Apakah anda juga punya cerita pilu serupa?

Tapi terkadang bukan alasan periuk nasi.
Ada wanita yang menitipkan anaknya dalam jangka waktu lama atau berulang entah pada orang tua, saudara, baby sitter atau PRT, bukan lantaran alasan ekonomi.

Mereka bisa saja tidak mengambil pekerjaan itu, atau tidak mengambil aktivitas, hobby atau apapun yang menyita perhatiannya. Namun alasan aktualisasi diri...walaupun tidak sepenuhnya diakui dengan jujur, akan memenangkan dilemanya. Kadang alasan kontribusi.

Kalau ada yang yang nyengir dan bertanya:
“Memangnya bu Ida tak pernah titip anak ke pembantu atau orang tua?”

Hegh. Ya pastilah pernah. Sering bahkan. Namun tidak sepenuhnya.
Suamiku tak pernah mengizinkan saya bekerja fulltimer yang menjadikan anak-anak kleleran.
Itu istilah yang dipakainya jika anak-anakku ribut, dan posisi saya sedang tidak di rumah.
“Anakmu kleleran...” Haha... dan saya akan bersegera terbang pulang.

Tidak sepenuhnya. Artinya jika menitipkan anak secara insidental karena memang ada urusan tertentu, dapatlah dimaklumi. Itu berbatas waktu. Bukan bilangan tahun atau bulan ya. Hanya bilangan hari atau jam.

Atau karena ada prioritas yang mendesak misal harus merawat salah satu anggota keluarga, menemani berobat dalam jangka waktu yang agak lama....itu darurat.
Lantas apa yang tidak darurat?

Ah ketika saya bertanya alasan banyak ibu-ibu, semua merasa darurat. Darurat ekonomi, darurat bisnis, darurat sekolah, darurat....
Saya jadi garuk-garuk kepala.

Terserahlah.
Yang penting pastikan anak anda berada di tangan yang tepat, yang akan merawat dan mencintai seperti anda merawat dan mencintainya. Bahkan lebih dari cara anda merawat dan mencintainya.

Yang akan mendidiknya seperti cara anda mendidiknya. Bahkan lebih baik dari anda.

Pastikan kualitas dan kuantitas pertemuan anda dengan buah hati tetap proporsional dan terjaga. Bukan banyak bersamanya tetapi mengabaikan dan banyak menyakiti mental atau fisik. Bukan pula sedikit bersamanya tapi penuh sikap memanjakan sebagai kompensasi rasa bersalah.

Dan yakinkan dalam hati anda, bahwa ia tetap prioritas hidup anda. Dan anda tetap menjadi nomer satu dihatinya.

Dan ingatlah satu hal penting, Allah telah menitipkan dan mempercayakannya kepada anda. Bukan orang lain. Anda yang akan dimintai pertanggungjawaban hal-ikhwalnya. Bukan orang lain.

Jadi...dimana posisi anda?
Antara anak, periuk nasi dan aktualisasi diri ? Eh mungkin juga kontribusi.
Aduuh maafkan saya.

Tips merawat batita ada di sini.

Pendidikan seks untuk anak di sini.


12 comments:

  1. Haaai Maks Ida, aku memiliki PRT dan alhamdulillah jika aku sedang di rumah, anakku bersamaku.... PRTku kebetulan juga memiliki anak, namun karena sebuah sebab, diangkat anak oleh kakaknya dan sekarang setelah bekerja di rumahku, PRTku lebih sering ketemu anaknya karena dia tinggal di rumah kakaknya, PRTku pulang pergi Mak

    ReplyDelete
    Replies
    1. waah baik itu mak. sebenarnya PRT muda lebih ideal kerja paruh waktu, agar tetap bisa bersama keluarganya. makasih udah mampir mak

      Delete
  2. Masalah anak dan periuk nasi memang benar2 meresahkan bagi para wanita pekerja :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. berbahagia para emak blogger yang menyadarinya mak....

      Delete
  3. mmm... kadang tuntutan hidup yang benar2 menuntut itu menuntut mereka agar lebih keras lagi menjalaninya Mak.. ya semuanya harus dijalani karena semuanya adalah jawaban dari setiap keputusan yang diambil... :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mak, prihatin dan sedih tapi tak bisa berbuat apa-apa. kasusnya terlalu banyak

      Delete
  4. Kasus seperti di atas tidak sedikit. Dengan alasan ekonomi bisa saja seorang ibu meninggalkan anak-anaknya dan bekerja di luar rumah,bahkan sampai ke luar negeri.
    Jika memiliki ketrampilan memang sebaiknya bekerja di rumah sehingga anak-anak masih bisa diasuh,diasah dan diasih.

    Salam hangat dari Surabaya

    ReplyDelete
    Replies
    1. betul pakdhe, terutama pada masa emas yang butuh banyak perhatian ya

      Delete
  5. I am a working mom and Alhamdulillah I don't make my chidren "kleleran" mak Ida :). Ada suami yang bekerja freelance, adik saya, dan eyang kakung yang membantu mengawasi.

    ReplyDelete
  6. Kalo saya selalu inget cerita Bu Pipiek, istri Uje. Beliau selalu mencuci baju seluruh keluarganya, dgn tangan sendiri. Katanya, "gak mau pahalanya diambil orang." Pastinya itu berlaku jg utk pekerjaan RT lain. Saya sudah menitipkan kerjaan RT ke PRT part time, masa anak2 jg saya titipkan ke orang lain? Ntar saya dapat pahala apa, mak? Hiks...

    ReplyDelete