Masih ingat
cerita saya tentang PRT yang berhenti bekerja karena anaknya merecoki dia saat
bekerja?
Ya itulah
PRTku yang sekarang memilih momong anaknya yang berusia 4 tahun. Karenanya saya
mendapat ganti seorang janda paruh baya beranak satu yang berasal dari kota
lain. Karena PRT baru ini, seorang teman yang juga mencari pengasuh bayi, mendapat
seorang pengasuh muda.
Pengasuh inilah
yang menginspirasi tulisan ini.
Jadi begini
kisahnya. Ia bekerja ratusan kilometer meninggalkan rumahnya untuk menjadi PRT
dan pengasuh bayi. Alasannya sebagai single
parents yang status pernikahannya digantung oleh suami tak
bertanggungjawab, ia harus menafkahi anaknya.
Usianya
masih muda, baru 22 tahun, namun anaknya sudah 2. Usia anaknya inilah yang
memilukan saya. Anak pertama usia 3 tahun dan anak kedua usia 1 tahun. Sekarang
berada di bawah pengasuhan neneknya.
Bayangkan
dilema yang dialami perempuan ini. Meninggalkan dua balita untuk mengasuh
balita lain, demi periuk nasinya agar selalu terisi.
Kukira ia
bukan satu-satunya. Cerita serupa bertebaran di sekitar saya dan mungkin di
sekitar anda. Seperti cerita mak Rufie Hikari di sini.
Tetanggaku
meninggalkan bayi merah untuk menjadi TKW. Bayi pertamanya baru satu bulan dan
diasuh oleh bapaknya duda yang sudah tua. Dan kita tak tahu siapa ayah si anak
dan dimana. Para tetangga jatuh kasihan setiapkali si anak rewel atau sakit dan
sang kakek kebingungan mengasuhnya.
Apakah anda
juga punya cerita pilu serupa?
Tapi
terkadang bukan alasan periuk nasi.
Ada wanita
yang menitipkan anaknya dalam jangka waktu lama atau berulang entah pada orang
tua, saudara, baby sitter atau PRT, bukan lantaran alasan ekonomi.
Mereka bisa
saja tidak mengambil pekerjaan itu, atau tidak mengambil aktivitas, hobby atau
apapun yang menyita perhatiannya. Namun alasan aktualisasi diri...walaupun
tidak sepenuhnya diakui dengan jujur, akan memenangkan dilemanya. Kadang alasan
kontribusi.
Kalau ada
yang yang nyengir dan bertanya:
“Memangnya
bu Ida tak pernah titip anak ke pembantu atau orang tua?”
Hegh. Ya pastilah
pernah. Sering bahkan. Namun tidak sepenuhnya.
Suamiku tak
pernah mengizinkan saya bekerja fulltimer
yang menjadikan anak-anak kleleran.
Itu istilah
yang dipakainya jika anak-anakku ribut, dan posisi saya sedang tidak di rumah.
“Anakmu
kleleran...” Haha... dan saya akan bersegera terbang pulang.
Tidak
sepenuhnya. Artinya jika menitipkan anak secara insidental karena memang ada
urusan tertentu, dapatlah dimaklumi. Itu berbatas waktu. Bukan bilangan tahun
atau bulan ya. Hanya bilangan hari atau jam.
Atau karena
ada prioritas yang mendesak misal harus merawat salah satu anggota keluarga,
menemani berobat dalam jangka waktu yang agak lama....itu darurat.
Lantas apa
yang tidak darurat?
Ah ketika
saya bertanya alasan banyak ibu-ibu, semua merasa darurat. Darurat ekonomi,
darurat bisnis, darurat sekolah, darurat....
Saya jadi
garuk-garuk kepala.
Terserahlah.
Yang penting
pastikan anak anda berada di tangan yang tepat, yang akan merawat dan mencintai
seperti anda merawat dan mencintainya. Bahkan lebih dari cara anda merawat dan
mencintainya.
Yang akan
mendidiknya seperti cara anda mendidiknya. Bahkan lebih baik dari anda.
Pastikan
kualitas dan kuantitas pertemuan anda dengan buah hati tetap proporsional dan
terjaga. Bukan banyak bersamanya tetapi mengabaikan dan banyak menyakiti mental
atau fisik. Bukan pula sedikit bersamanya tapi penuh sikap memanjakan sebagai
kompensasi rasa bersalah.
Dan yakinkan
dalam hati anda, bahwa ia tetap prioritas hidup anda. Dan anda tetap menjadi
nomer satu dihatinya.
Dan ingatlah
satu hal penting, Allah telah menitipkan dan mempercayakannya kepada anda.
Bukan orang lain. Anda yang akan dimintai pertanggungjawaban hal-ikhwalnya.
Bukan orang lain.
Jadi...dimana
posisi anda?
Antara anak,
periuk nasi dan aktualisasi diri ? Eh mungkin juga kontribusi.
Aduuh
maafkan saya.
Tips merawat
batita ada di sini.
Pendidikan
seks untuk anak di sini.
Haaai Maks Ida, aku memiliki PRT dan alhamdulillah jika aku sedang di rumah, anakku bersamaku.... PRTku kebetulan juga memiliki anak, namun karena sebuah sebab, diangkat anak oleh kakaknya dan sekarang setelah bekerja di rumahku, PRTku lebih sering ketemu anaknya karena dia tinggal di rumah kakaknya, PRTku pulang pergi Mak
ReplyDeletewaah baik itu mak. sebenarnya PRT muda lebih ideal kerja paruh waktu, agar tetap bisa bersama keluarganya. makasih udah mampir mak
DeleteMasalah anak dan periuk nasi memang benar2 meresahkan bagi para wanita pekerja :)
ReplyDeleteberbahagia para emak blogger yang menyadarinya mak....
Deletemmm... kadang tuntutan hidup yang benar2 menuntut itu menuntut mereka agar lebih keras lagi menjalaninya Mak.. ya semuanya harus dijalani karena semuanya adalah jawaban dari setiap keputusan yang diambil... :)
ReplyDeleteiya mak, prihatin dan sedih tapi tak bisa berbuat apa-apa. kasusnya terlalu banyak
DeleteKasus seperti di atas tidak sedikit. Dengan alasan ekonomi bisa saja seorang ibu meninggalkan anak-anaknya dan bekerja di luar rumah,bahkan sampai ke luar negeri.
ReplyDeleteJika memiliki ketrampilan memang sebaiknya bekerja di rumah sehingga anak-anak masih bisa diasuh,diasah dan diasih.
Salam hangat dari Surabaya
betul pakdhe, terutama pada masa emas yang butuh banyak perhatian ya
DeleteI am a working mom and Alhamdulillah I don't make my chidren "kleleran" mak Ida :). Ada suami yang bekerja freelance, adik saya, dan eyang kakung yang membantu mengawasi.
ReplyDeletealhamdulillah....bersyukur mak
DeleteKalo saya selalu inget cerita Bu Pipiek, istri Uje. Beliau selalu mencuci baju seluruh keluarganya, dgn tangan sendiri. Katanya, "gak mau pahalanya diambil orang." Pastinya itu berlaku jg utk pekerjaan RT lain. Saya sudah menitipkan kerjaan RT ke PRT part time, masa anak2 jg saya titipkan ke orang lain? Ntar saya dapat pahala apa, mak? Hiks...
ReplyDeleteiya dong...yuuk cari pahala yang berkah
Delete