Pages

Sunday, December 21, 2014

Serial Liburan: Pergi ke Pasar



Apa serunya pergi ke pasar?
Bukankah setiap hari banyak orang pergi ke pasar?
Hmm bagi kami, pergi ke pasar itu sesuatu banget.

Pada hari biasa saya jarang ke pasar. Pasalnya di rumah tinggal sedikit orang, jadi masak juga enggak terlalu banyak. Cukuplah tukang sayur jadi langganan.
Hari Ahad ini, tak ada order jauh, hanya mengisi pengajian wali santri TPA di masjid sebelah rumah. Itupun masih nanti jam 9.

So pagi ini kuajak dua perjaka kecil jalan-jalan eh motor-motor ke pasar Ngipik. Mumpung si kakak yang biasanya mondok di pesantren sedang liburan.

Melewati persawahan dengan view kecantikan gunung Merapi dan Merbabu, mengundang perbincangan tentang keindahan alam. Revo sangat menikmati.
“ Gunungnya sepertinya dekat ya Mi?” komentar Revo takjub.
“Iya, sebentar lagi kalau kabut turun, enggak kelihatan lagi...”
“Aku pernah kok pagi-pagi enggak bisa lihat karena tertutup kabut...” ia membenarkan.

Adakah yang lebih indah dari momen seperti ini?
 Menyusuri jalan, memandang petak sawah yang subur di kiri kanan, langit biru cerah menaungi dengan sedikit awan putih. Matahari bersinar lembut pada jam 07.00. Sementara tangan kecil anakku memeluk erat pinggangku dan mulutnya tak berhenti mengoceh ini itu?

Sampai di pasar kami berdiri di depan lapak jajanan pasar. Kuingat pada masa kecilku, saat yang dinanti adalah membeli jajanan pasar. Ibuku selalu mengakhirkan sesi ini dulu. Tapi saya ingin menomersatukan untuk menyenangkan anak-anak.

" Yang ini namanya apa?" Revo menunjuk bungkusan daun mungil.
"Mendut" kata penjualnya.
"Isinya apa?'
"Ketan yang dibulat-bulat."
"Warnanya apa?"
"Ada putih dan hijau..."

Dialog bersambung terus. Revo tak henti bertanya sementara saya juga memilih belanjaan. Untungnya tidak ada yang mengantri dan penjualnya juga sabar meladeni pertanyaan revo tentang aneka jajan pasar.

Kami membeli 5 bungkus susu kedelai, 4 nagasari, 2 bungkus mie lethek, 2 bungkus klepon dan sebotol juz sirsat. Oya tambah jenang sumsum-grendul dan mutiara. Semua orderan Revo dan kakaknya.

Berpindah ke lapak sayur.
"Mangganya berapa?"
"Lima ribu perkilo bu..."
"Murah ya..." kata Revo. Haha kami tertawa mendengar komentar tulus si anak kecil. Tetapi memang murah.

“ Mangga sengir ya bu?”
“Bukan bu, namanya mangga kampung. Ya enggak tahu mangga kampung saja. Ini langsung petik tua enggak pakai diperam. Kalau begini biasanya manis...” penjualnya menerangkan panjang lebar dengan sukarela.
Kuperhatikan memang masih segar, bahkan ada tangkainya yang masih keras. Saya memilih beberapa tanpa menawar.

Di pasar tradisional, tak tega menawar sedangkan harga-harga begitu murahnya.
"Umi belanjaannya banyak sekali...jadi laris ya..." komentar Revo yang mengundang senyum penjualnya.

Saya membeli sekilo terong, mangga, dua papan tempe dan Revo meminta pisang. Saya membeli sesisir pisang kapur. Mirip pisang emas, kecil-kecil kuning.
“Kok umi selalu beli terong...?” Penjualnya tertawa.
Hadeuh jangan buka rahasia Po.

Pindah mengantri di lapak ayam potong. Jika muslim liburan harus punya stok ayam yang cukup banyak. Anak-anak suka dengan ayam bu Ida, maksudnya ayam dengan bumbu spesial ala uminya. Saya membeli 2 kg biar enggak harus bolak-balik masak.

"Pisaunya besar sekali..."
"Biar mudah motongnya Po"
Revo tercengang dengan aksi penjual ayam dan pisau besarnya yang dengan mudah memotong-motong ayam. Sebagian kerudungnya terciprat, namun ia tak merasa terganggu.

Datanglah seorang pengemis muda, berbadan sehat meminta uang. Kuisi juga gelas plastik yang dia sorongkan. Kubiarkan anakku memperhatikan aksi pengemis itu. Nantilah akan jadi topik diskusi di rumah.

Kulihat pengemis itu cepat mengambil uang kertas dariku, dan menggenggamnya erat. Gelas plastiknya telah kosong kembali saat dia sorongkan ke padagang di sebelahnya. Tangan satunya memegang buntalan plastik berisi uang receh yang dia sembunyikan di balik punggung.

Saya mengira-ngira isi tas cangklong lusuh yang dikenakan pengemis berbaju daster batik hijau itu. Apakah juga penuh dengan uang? Entahlah.

Setelahnya masih mampir lagi ke lapak kecambah, barulah kami berkendara pulang. Saya sengaja melewati jalan-jalan kampung yang berliku. Berbeda dengan saat berangkat. Sepanjang jalan mengenalkan nama kampung demi kampung yang kami lalui dan tempat-tempat penting seperti sekolah, masjid, balai RW....

Biarlah tidak sekedar menjadi perjalanan ke pasar, namun juga pengenalan lingkungan. Beberapa orang yang mengenaliku menyapa dengan riang.
“Bu Ida...!”
Duuh senangnya berasa jadi orang terkenal hehe.

Liburan ke pasar menjadi pelajaran kehidupan tersendiri bagi kami semua. Anak-anak belajar bertransaksi, mengenal berbagai jenis dagangan dan berinteraksi dengan banyak orang. Anak-anak juga belajar bersikap yang baik sebagai seorang pembeli dan pengunjung pasar.

Sayangnya enggak sempat foto-foto...malu sih!

Anda juga bisa mengisi liburan dengan mengunjungi pasar bersama anak-anak.

Untuk yang ingin didoakan mengunjungi baitullah, mampir ke sini ya.
Untuk pilihan kegiatan liburan di rumah lihat di sini.

2 comments:

  1. Heheheee seru juga nih Revo jalan2 ke pasar. Revo jadi tau kan kalau ummi seleb, banyak yg kenal :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. hihi...seleb kelas kampung mak. makasih sudah mampir

      Delete