Apa serunya pergi ke pasar?
Bukankah setiap hari banyak orang
pergi ke pasar?
Hmm bagi kami, pergi ke pasar itu
sesuatu banget.
Pada hari
biasa saya jarang ke pasar. Pasalnya di rumah tinggal sedikit orang, jadi masak
juga enggak terlalu banyak. Cukuplah tukang sayur jadi langganan.
Hari Ahad
ini, tak ada order jauh, hanya mengisi pengajian wali santri TPA di masjid
sebelah rumah. Itupun masih nanti jam 9.
So pagi ini
kuajak dua perjaka kecil jalan-jalan eh motor-motor
ke pasar Ngipik. Mumpung si kakak yang biasanya mondok di pesantren sedang
liburan.
Melewati persawahan dengan view kecantikan gunung Merapi dan Merbabu, mengundang perbincangan tentang keindahan alam. Revo sangat menikmati.
“ Gunungnya
sepertinya dekat ya Mi?” komentar Revo takjub.
“Iya,
sebentar lagi kalau kabut turun, enggak kelihatan lagi...”
“Aku pernah
kok pagi-pagi enggak bisa lihat karena tertutup kabut...” ia membenarkan.
Adakah yang
lebih indah dari momen seperti ini?
Sampai di
pasar kami berdiri di depan lapak jajanan pasar. Kuingat pada masa kecilku,
saat yang dinanti adalah membeli jajanan pasar. Ibuku selalu mengakhirkan sesi
ini dulu. Tapi saya ingin menomersatukan untuk menyenangkan
anak-anak.
" Yang ini namanya apa?" Revo menunjuk bungkusan daun mungil.
"Mendut" kata penjualnya.
"Isinya apa?'
"Ketan yang dibulat-bulat."
"Warnanya apa?"
"Ada putih dan hijau..."
Dialog bersambung terus. Revo tak henti bertanya sementara saya juga memilih belanjaan. Untungnya tidak ada yang mengantri dan penjualnya juga sabar meladeni pertanyaan revo tentang aneka jajan pasar.
Kami membeli
5 bungkus susu kedelai, 4 nagasari, 2 bungkus mie lethek, 2 bungkus klepon dan
sebotol juz sirsat. Oya tambah jenang sumsum-grendul dan mutiara. Semua orderan
Revo dan kakaknya.
Berpindah ke
lapak sayur.
"Mangganya berapa?"
"Lima ribu perkilo bu..."
"Murah ya..." kata Revo. Haha kami tertawa mendengar komentar tulus si anak kecil. Tetapi memang murah.
"Mangganya berapa?"
"Lima ribu perkilo bu..."
"Murah ya..." kata Revo. Haha kami tertawa mendengar komentar tulus si anak kecil. Tetapi memang murah.
“ Mangga
sengir ya bu?”
“Bukan bu,
namanya mangga kampung. Ya enggak tahu mangga kampung saja. Ini langsung petik
tua enggak pakai diperam. Kalau begini biasanya manis...” penjualnya
menerangkan panjang lebar dengan sukarela.
Kuperhatikan
memang masih segar, bahkan ada tangkainya yang masih keras. Saya memilih beberapa
tanpa menawar.
Di pasar
tradisional, tak tega menawar sedangkan harga-harga begitu murahnya.
"Umi belanjaannya banyak sekali...jadi laris ya..." komentar Revo yang mengundang senyum penjualnya.
"Umi belanjaannya banyak sekali...jadi laris ya..." komentar Revo yang mengundang senyum penjualnya.
Saya membeli sekilo terong, mangga, dua papan tempe dan Revo meminta pisang. Saya membeli sesisir pisang kapur. Mirip pisang emas, kecil-kecil kuning.
“Kok umi
selalu beli terong...?” Penjualnya tertawa.
Hadeuh jangan buka rahasia Po.
Pindah
mengantri di lapak ayam potong. Jika muslim liburan harus punya stok ayam yang
cukup banyak. Anak-anak suka dengan ayam
bu Ida, maksudnya ayam dengan bumbu spesial ala uminya. Saya membeli 2 kg
biar enggak harus bolak-balik masak.
"Pisaunya besar sekali..."
"Biar mudah motongnya Po"
Revo tercengang dengan aksi penjual ayam dan pisau besarnya yang dengan mudah memotong-motong ayam. Sebagian kerudungnya terciprat, namun ia tak merasa terganggu.
Datanglah seorang
pengemis muda, berbadan sehat meminta uang. Kuisi juga gelas plastik yang dia
sorongkan. Kubiarkan anakku memperhatikan aksi pengemis itu. Nantilah akan jadi
topik diskusi di rumah.
Kulihat
pengemis itu cepat mengambil uang kertas dariku, dan menggenggamnya erat. Gelas
plastiknya telah kosong kembali saat dia sorongkan ke padagang di sebelahnya. Tangan
satunya memegang buntalan plastik berisi uang receh yang dia sembunyikan di
balik punggung.
Saya mengira-ngira
isi tas cangklong lusuh yang dikenakan pengemis berbaju daster batik hijau itu.
Apakah juga penuh dengan uang? Entahlah.
Setelahnya
masih mampir lagi ke lapak kecambah, barulah kami berkendara pulang. Saya
sengaja melewati jalan-jalan kampung yang berliku. Berbeda dengan saat
berangkat. Sepanjang jalan mengenalkan nama kampung demi kampung yang kami
lalui dan tempat-tempat penting seperti sekolah, masjid, balai RW....
Biarlah
tidak sekedar menjadi perjalanan ke pasar, namun juga pengenalan lingkungan.
Beberapa orang yang mengenaliku menyapa dengan riang.
“Bu Ida...!”
Duuh
senangnya berasa jadi orang terkenal hehe.
Liburan ke
pasar menjadi pelajaran kehidupan tersendiri bagi kami semua. Anak-anak belajar
bertransaksi, mengenal berbagai jenis dagangan dan berinteraksi dengan banyak
orang. Anak-anak juga belajar bersikap yang baik sebagai seorang pembeli dan
pengunjung pasar.
Sayangnya enggak sempat foto-foto...malu sih!
Anda juga
bisa mengisi liburan dengan mengunjungi pasar bersama anak-anak.
Untuk yang ingin didoakan mengunjungi baitullah, mampir ke sini ya.
Untuk pilihan kegiatan liburan di rumah lihat di sini.
Untuk yang ingin didoakan mengunjungi baitullah, mampir ke sini ya.
Untuk pilihan kegiatan liburan di rumah lihat di sini.
Heheheee seru juga nih Revo jalan2 ke pasar. Revo jadi tau kan kalau ummi seleb, banyak yg kenal :))
ReplyDeletehihi...seleb kelas kampung mak. makasih sudah mampir
Delete