Apa yang anda bayangkan tentang "anak mama"?
Seorang anak lelaki yang sayang dan disayang oleh mamanya. Menurut dan selalu berkata: " Yes, Mam".
Hmm, mungkin bagus selama belum menikah. Namun, sering menjadi masalah saat si anak lelaki telah menjadi seorang suami dan kepala rumah tangga.
Setidaknya, begitu yang kudengar dari para pelakunya.
Setidaknya, begitu yang kudengar dari para pelakunya.
Anda ingin dengar juga. Oke, semoga ada manfaatnya. Tapi catat ya, ini bukan tentang suami saya hehe.
Kisah pertama, adalah sebuah keluarga yang berpisah ranjang selama sekitar 5 tahun. Suami tinggal di rumah orang tuanya dan sang istri tinggal bersama 4 anaknya, dalam kota yang sama.
Awalnya, mereka tinggal di rumah ortu sang suami. Kebetulan sang suami membantu mengelola usaha keluarga. Karena satu dan lain hal, termasuk intervensi ibu mertua pada keluarga mereka, sang istri tak tahan lagi. Ia memohon untuk mereka pindah rumah.
Dengan persetujuan bersama, mereka membeli rumah dalam jarak yang terjangkau untuk lokasi tempat kerja, baik suami maupun istri. Anehnya, ibu mertua melarang anaknya untuk pindah.
Jadilah rumah tangga yang ganjil. Suami hanya sesekali menengok anak istrinya. Ia mengantar jemput sekolah salah satu anaknya, tapi ia tetap tinggal bersama orang tuanya.
Sang istri jungkir balik sendirian mengurus empat anaknya, sementara dalam konflik berkepanjangan, hubungannya dengan ibu mertua makin memburuk. Sampai pada titik sang menantu ini tak lagi diterima di rumah ibu mertuanya.
Hmmm....
Hmmm....
Kasus kedua, beberapa suami yang memilih menceraikan istrinya, karena menuruti perintah orang tuanya, khususnya ibunya. Ia menganggap, sebagai bagian dari baktinya, maka ia akan memilih nasehat ibunya dari pada istrinya sendiri.
Sepintas terdengar manis dan benar, ya. Namun, dalam memandang sebuah kasus, harus dilihat dengan seutuhnya.
Konflik keluarga selalu kompleks, bukan linier. Tak pula kesalahan hanya dibebankan pada satu pihak, apakah ibunya, suami atau justru sang istri.
Ada nasehat yang berbeda untuk masing-masing fihak.
Para ibu, hendaklah membuka ruang baru untuk para menantu perempuan. Anak lelaki yang direlakan menikah, telah menjadi kepala keluarga. Para mertua belajarlah untuk percaya, bahwa menantu perempuannya mencintai anak lelakinya, sebagai mana dirinya mencintai anaknya. Dan oleh karenanya, akan mengurus suami itu dengan baik.
Jika menantu masih mengecewakan, tak bisa langsung di PHK....heheh. Didiklah menantu, seperti mendidik anak sendiri. Ajarilah berlaku sebagai istri dan menantu yang baik.
Bayangkan saja, jika dulu ibu mertua terlalu menyetir suaminya, atau mengintervensi keluarganya, tentu tidaklah menyenangkan.
Kepada para menantu, telah banyak saya tulis nasehat pada para istri agar berbakti kepada mertua, terutama ibu mertua, sebagaimana ia berbakti pada ibunya sendiri.
Tetap sediakan ruang bahwa ibu mertuanya, selamanya akan merasa memiliki sang anak lelaki. Bantulah para suami agar menjadi anak berbakti. Di sisi lain, yakinkan pada mertua, bahwa kita menantu yang baik, yang mencintai anaknya sepenuh hati. Yakinkan dengan perbuatan, bukan kata-kata.
Jagalah kata-kata, karena seringkali menjadi sumber kesalah pahaman. Jangan pernah adukan suamimu pada orang tuamu, maupun pada ibu mertua. Itu hanya akan memperburuk suasana. Pujilah suami di depan mertua. Tunjukkan lebih-lebih sikap hormat pada suami, terutama jika bersama mertua.
Jangan menegur mertua, atau berbantah-bantah. Itu hanya akan melukai perasaannya. Iyakan saja setiap nasehatnya, sekalipun engkau memilih dan memilah, mana yang akan kau lakukan.
Jangan pernah bicarakan kekurangan ibu mertua pada suami, itu juga menjadi sumber konflik. Apalagi jika suami pengadu.
Kunci utama ada pada para suami. Wahai para suami, dengarkan!
Engkau telah memilih istrimu, maka hormatilah pilihanmu sendiri dengan konsisten dalan menjalankan hak dan kewajibanmu. Bukan hanya dalam nafkah, tetapi juga dalam mendidik, menjaga dan melindungi istri. Bahkan dari 'gangguan' keluargamu dan ibumu sendiri.
Jangan pernah ceritakan kekurangan istrimu pada ibumu, atau ibu mertuamu. Tegurlah, nasehatilah sendiri istrimu. Karena kini kewajiban ada di pundakmu. Dan jangan menjadi suami yang suka mengadu pada ibu.
Istrimu sedang belajar menjadi seorang istri dan menantu, sebagaimana dirimu sedang belajar menjadi suami dan menantu. Maka tolong menolonglah kalian seumpama satu tubuh.
Ingat kisah nabi Ibrahim, yang menyuruh nabi Ismail menceraikan istrinya, lantaran istrinya seorang pengadu dan berakhlak buruk.
Jadilah suami istri seumpama pakaian, yang saling menutupi aib dari keluarga besar. Selesaikan problem keluarga sebisa mungkin berdua saja. Jika gagal barulah mencari pihak ketiga yang kompeten. Jika gagal barulah melibatkan keluarga.
Sekali lagi, untuk para lelaki yang telah beristri, sadarilah tanggung jawab ini. Engkau kini kepala keluarga, punya tim sendiri, maka bermusyawarahlah dengan istrimu dalam melangkah. Tak lagi meminta pendapat utama dari ibu.
Kepada ibu, selalulah meminta restu dan doa, agar dimudahkan dalam menggapai keluarga sakinah. Tanpa perlu kau ceritakan renik-renik problemmu. Biarlah ibumu mengira, keadaanmu selalu baik-baik saja, agar tak membuat hati ibumu menderita.
Jangan lupa, mintalah pertolongan pada Allah dengan sholat dan doa: "Rabbana hablana min azwaajina wa dhurriyatina qurrata a'yunin, waja'alna lil muttaqiina imaman."
Amiin.
Amiin.
Saya hanya berangkat dari pengalaman hidup dan mengambil pelajaran dari berbagai problem yang masuk. Mungkin jauh dari teori berumah tangga. Semoga bermanfaat untuk anda.
Kalo menurut saya sih mungkin bukan anak mama, tapi si suami 'lebih' mengutamakan si ibu drpd istrinya Karena mungkin menurut nya si ibu Dan sodara perempuannya adalah tanggungjwbnya.
ReplyDeleteTinggal bagaimana si suami bersikap adil kepada istrinya supaya tidak merasa disisihkan.
Akuratu.com
betul deh. kunci utama ada di suami.
Deletewajib dibaca semua suami nih mba bukunya :)
ReplyDeleteia mak...makasih kunjungannya
Deletealhamdulillah suami saya cukup dewasa mba...dan membimbing kami :)...aku sukaaa buku ini mbaaa...makasih sudah diberi 1 kopi :)
ReplyDelete