Pages

Monday, October 14, 2013

BERMULA DARI KELUARGA


Anak hanyalah titipan dari Tuhan. Suatu saat Dia akan mengambil titipanNya dan juga meminta pertanggungjawaban atas titipan itu. Apa saja yang telah kita lakukan untuk merawat titipanNya? Apakah kita telah membuka peluang berkembangnya potensi anak, atau justru ada orang tua yang menutup banyak pintu kreativitas sang anak?
Kesadaran tanggung jawab inilah yang acapkali membuatku meneteskan air mata di malam-malam doa sujudku. Setengah lusin amanah Tuhan untukku, adakah aku telah memberikan yang terbaik untuk mereka ?
Sejak sebelum si nomer satu lahir 21 tahun yang lalu, aku telah tamat membaca buku tentang mendidik anak. Namun pada kenyataannya, aku harus terus belajar menjadi ibu. Belajar sepanjang hidupku. Saat hamil anak pertama, sangat kuperhatikan masalah kesehatanku, lahir maupun batin. Apalagi saat itu aku masih mengerjakan skripsi. Hyperemesis membuat berat badanku turun drastis dalam trimester pertama. Turun 6 kilo! Namun dengan ketelatenan suamiku dan tekat kuat kami untuk menjaga amanah kandungan itu, kami berhasil melewati masa-masa berat itu dan berat badanku naik lagi hingga bertambah 9 kg. Apalagi sejak kutemukan soulmate-ku, susu lactamil. Kuingat betul saat itu berhadiah gelas cantik, yang kukumpulkan hingga mencapai dua lusin. Gelas itu sangat berarti bagi kami yang mengawali rumah tangga dari titik nol.
Setelah kelahiran yang pertama, kami belajar menjadi orang tua. Belajar merawat bayi sementara jauh dari orang tua tempat bertanya. Alhamdulillah semua dimudahkan. Si kecil tumbuh menjadi bayi sehat dengan ASI eksklusif. Berat badannya bertambah dengan membanggakan dan kemampuannya berkembang melebihi pada umumnya bayi seusianya.
Hingga datang masa ujian bagi kami. Aku hamil anak kedua saat si nomer satu baru berusia 8 bulan. Walau ada sedikit kecemasan, namun sebagai rejeki dari Tuhan, kami menerimanya dengan suka cita. Sekarang bertambahlah kami belajar menjadi ibu dan mempersiapkan sang kakak untuk turut menyongsong kelahiran adiknya. Bidan mengijinkan aku untuk tetap menyusui dengan konsekuensi aku harus menggenjot makan dalam jumlah yang berlipat. Kemudahan mengiringi keadaan sulit, aku tidak mengalami mual dan muntah seperti saat kehamilan pertama. Aku terus menyusui sambil mengajari bayiku untuk mulai mengenal susu formula.

Peristiwa lucu terjadi karena bayiku menolak susu formula. Ia justru menyukai lactamil coklat yang terus menjadi menuku saat hamil dan menyusui. Aku berkonsultasi pada bidan dan diajari untuk mencampurkan sedikit demi sedikit susu bayi pada susu lactamil hingga akhirnya setelah beberapa bulan, anakku betul-betul bisa minum susu formula, sekalipun tetap dengan gelas hadiah lactamil.
Begitulah kami belajar punya dua anak. Melipat gandakan cinta, bukan membagi cinta. Hingga anak pertama tetap mendapat 100% cinta dan perhatian 100%. Lalu anak kedua juga tetap mendapat cinta 100% dan perhatian 100%. Bagaimana caranya ? Tentu kerjasama dengan suami sangat penting. Suamiku juga turun tangan untuk mengasuh dan mengurus anak pertama saat aku masih sangat dibutuhkan oleh adik. Kadang diajaknya sulung kami pergi ke stasiun, sekedar naik turun gerbong, sudah sangat menyenangkan. Pernah pula diajak naik kereta api ke Solo. Atau naik bus kota sekedar berputar-putar di Jogja. Kebun binatang juga menjadi tempat favorit kami untuk mengasah kecerdasan dan pengetahuan anak-anak kami.
Memiliki anak banyak membutuhkan trik tersendiri untuk mengajari mereka mandiri, peduli, dan bermanfaat. Mandiri adalah mendidik kesadaran dan ketrampilan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Peduli adalah untuk menjadikan mereka memiliki empati dan bisa bekerjasama. Bermanfaat adalah hal terbaik yang semestinya ingin dicapai untuk menjadi rahmatan lil alamin. Memiliki banyak saudara adalah wahana menarik untuk mengaplikasikan tiga nilai tersebut. Saat mereka mandiri, mereka siap menjadi pemimpin atas diri sendiri. Saat mereka peduli dan bermanfaat maka mereka siap untuk memimpin dan dipimpin oleh orang lain serta mengembangkan sikap kerjasama.
Waktu terus berlalu, kami belajar menjadi orang tua yang memiliki tiga, empat, lima hingga enam anak. Membersamai mereka menempuh pendidikan prasekolah dan jenjang-jenjang seterusnya. Untuk anak pertama, kami membuat merintis TKIT bersama beberapa teman. Murid awalnya hanya 7 anak dengan membawa bangku sendiri, membawa mainan, dan alat peraga sendiri. Orang tua bergiliran untuk menyediakan snack dan makan siang yang sesuai dengan kebutuhan gizi anak. Setelah 18 tahun, kini sekolah itu telah berkembang menjadi 4 TKIT di 4 lokasi dan 2 SDIT. Alhamdulillah.
Anak-anak kami bersekolah di tempat pendidikan yang kami gagas bersama teman-teman untuk menyempurnakan pengembangan intelektualitas, karakter, kepemimpinan,   dan memiliki landasan agama yang kokoh. Sekolah ini kita gagas untuk memperhatikan juga aspek pembiasaan pola hidup sehat termasuk dalam hal asupan nutrisi. Anak-anak mendapat camilan dan makan siang sehat dari sekolah. Kantin sekolah hanya menyediakan makanan yang halal dan sehat. Anak-anak tidak diijinkan berinteraksi membeli sembarang jajanan di luar sekolah. Orang tua juga didorong untuk membekali anak dengan bekal sekolah yang sehat ketimbang membekali uang jajan.
Ternyata kami harus terus belajar, terutama saat membersamai anak menjadi ABG. Terasa betul jatuh bangun sebagai orang tua, saat anak mulai memasuki usia remaja. ‘Dunia moderen tanpa batas’ sekarang ini telah menjadi tantangan berat bagi orang tua. Era teknologi informasi ini jika tidak betul-betul diregulasi bisa menjadi sampah yang meracuni kepolosan anak-anak. Nutrisi informasi yang sehat menjadi perhatian penting selain nutrisi makanan dan nutrisi keteladan karakter. Tugas berat mendidik anak agar mereka menjadi pemimpin atas diri mereka termasuk dalam memilih nutrisi informasi agar tidak menjadi korban penjajahan informasi sampah.
Saya memilih menambah profesi menjadi marketing berbagai buku ensiklopedi untuk bisa menfasililitasi anak-anak guna mendapatkan buku berkualitas namun dapat kami jangkau. Saat jendela buku dibuka, maka kita tutup jendela televisi. Diet televisi menjadi pilihan untuk asupan informasi yang lebih edukatif dan sehat. Anak-anak dilibatkan untuk membuat aturan main saat televisi harus hadir di rumah kami.
Saat internet mulai masuk ke ruang-ruang pribadi, tak dapat dipungkiri sebagai orang tua kami harus terus mengikuti. Kami belajar dan belajar lagi agar tetap bisa memahami dan mengontrol dunia jelajah anak-anak kami. Sungguh berbeda dunia masa kecil tempat kami tumbuh dan dunia anak-anak sekarang ini. Namun tetap ada kata kunci, yaitu kedekatan dan keteladan dari orang tua untuk tetap meraih jiwa anak-anak agar selalu dalam rengkuhan.

Berusaha menjadi sahabat bagi anak dengan membuka ruang dialog terus menerus agar tak ada jarak psikologis yang membatasi, sekalipun ada anak kami yang harus menempuh kuliah nun jauh di Bandung. ‘Dialog bantal’ adalah istilah kami untuk mengobrol dengan anak sebelum mengantarkan mereka tidur. Berbaring bersebelahan dalam satu bantal dan membincangkan berbagai kejadian yang dilalui hari itu. Topik-topik hangat seperti korupsi dan berbagai bahasan yang aktual, juga menjadi bahan diskusi untuk membentuk landasan moral. Meja makan adalah ladang diskusi yang selalu hangat. Makan bersama adalah sarana membangun kedekatan dan komunikasi yang efektif. Sekalian mengajari mereka terbiasa dengan menu sehat olahan orang tuanya atau masakan mereka sendiri.
Keteladanan adalah kunci utama. Bagaimanapun anak belajar dari lingkungan, terutama orang tuanya. Mereka melihat kesungguhan orang tua dalam beribadah, bersikap kepada anak, bergaul dengan tetangga, dan memiliki kepedulian pada urusan masyarakat. Anak-anak akan lebih mudah untuk menurut pada saat menyaksikan bahwa tak ada jarak antara nasehat dengan apa yang dilakukan orang tua. Satu kata dan perbuatan.
Senyatanya anak-anaklah yang telah menjaga kami untuk konsisten dalam ibadah, akhlaq pergaulan, dan amal kebaikan lain. Kesadaran bahwa apa yang terlintas dalam fikiran, hati, apa yang kita ucapkan, dan yang kita lakukan tak hanya berefek pada diri kita sendiri, tapi juga akan berakibat pada anak-anak, selalu membuat kami berhati-hati. Terkadang justru dari anak-anak kami belajar menyempurnakan kebaikan. Setiap prestasi dan sikap kritis-bijak-polosnya mereka terus menjadi pengingat. Jika ada onak duri ujian dengan berbagai tingkah mereka, itulah yang mematangkan kepribadian dan ketrampilan kami sebagai orang tua dan menjadi momen pembelajaran bagi anak.  Begitulah prinsip untuk menjadi orang tua yang belajar.
Kini anak kami menempati jenjang SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi. Enam anak yang dititipkan Tuhan kepada kami, memiliki warna dan karakter unik masing-masing. Hingga kini kami terus belajar bersama mereka, merajut hari demi hari, mengarungi kehidupan, dan menyiapkan pemimpin masa depan menuju kesempurnaan kebahagiaan dunia akhirat.
Kebaikan masyarakat dan bangsa bermula dari kebaikan keluarga. Para pemimpin yang baik terlahir dari keluarga yang baik, dan orang tua adalah bagian dari pemeran utama.

Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Penulisan Blog "Peran Ibu Untuk Si Pemimpin Kecil", yang diadakan oleh Nutrisi Untuk Bangsa



6 comments:

  1. keluarga memang hrs jd gerbang utama, ya, Mak :)

    ReplyDelete
  2. Setujuu Mak, Myra...terimaksih udah komen dan kasih semangat

    ReplyDelete
  3. semoga sukses lombanya dan menang Mbak..

    ReplyDelete
  4. Makasih doanya mak Rita Asmaraningsih.
    semua sangat berarti bagi pemula ini.

    ReplyDelete
  5. baguuus banget bu penyampaiannya. semoga sukses di lomba ini.

    ReplyDelete