Anak
hanyalah titipan dari Tuhan. Suatu saat Dia akan mengambil titipanNya dan juga
meminta pertanggungjawaban atas titipan itu. Apa saja yang telah kita lakukan
untuk merawat titipanNya? Apakah kita telah membuka peluang berkembangnya
potensi anak, atau justru ada orang tua yang menutup banyak pintu kreativitas
sang anak?
Kesadaran
tanggung jawab inilah yang acapkali membuatku meneteskan air mata di
malam-malam doa sujudku. Setengah lusin amanah Tuhan untukku, adakah aku telah
memberikan yang terbaik untuk mereka ?
Sejak
sebelum si nomer satu lahir 21 tahun yang lalu, aku telah tamat membaca buku
tentang mendidik anak. Namun pada kenyataannya, aku harus terus belajar menjadi
ibu. Belajar sepanjang hidupku. Saat hamil anak pertama, sangat kuperhatikan
masalah kesehatanku, lahir maupun batin. Apalagi saat itu aku masih mengerjakan
skripsi. Hyperemesis membuat berat badanku turun drastis dalam trimester
pertama. Turun 6 kilo! Namun dengan ketelatenan suamiku dan tekat kuat kami
untuk menjaga amanah kandungan itu, kami berhasil melewati masa-masa berat itu
dan berat badanku naik lagi hingga bertambah 9 kg. Apalagi sejak kutemukan soulmate-ku,
susu lactamil. Kuingat betul saat itu berhadiah gelas cantik, yang kukumpulkan
hingga mencapai dua lusin. Gelas itu sangat berarti bagi kami yang mengawali
rumah tangga dari titik nol.
Setelah
kelahiran yang pertama, kami belajar menjadi orang tua. Belajar merawat bayi
sementara jauh dari orang tua tempat bertanya. Alhamdulillah semua dimudahkan.
Si kecil tumbuh menjadi bayi sehat dengan ASI eksklusif. Berat badannya
bertambah dengan membanggakan dan kemampuannya berkembang melebihi pada umumnya
bayi seusianya.
Hingga
datang masa ujian bagi kami. Aku hamil anak kedua saat si nomer satu baru
berusia 8 bulan. Walau ada sedikit kecemasan, namun sebagai rejeki dari Tuhan,
kami menerimanya dengan suka cita. Sekarang bertambahlah kami belajar menjadi
ibu dan mempersiapkan sang kakak untuk turut menyongsong kelahiran adiknya. Bidan
mengijinkan aku untuk tetap menyusui dengan konsekuensi aku harus menggenjot
makan dalam jumlah yang berlipat. Kemudahan mengiringi keadaan sulit, aku tidak
mengalami mual dan muntah seperti saat kehamilan pertama. Aku terus menyusui
sambil mengajari bayiku untuk mulai mengenal susu formula.
Peristiwa
lucu terjadi karena bayiku menolak susu formula. Ia justru menyukai lactamil
coklat yang terus menjadi menuku saat hamil dan menyusui. Aku berkonsultasi
pada bidan dan diajari untuk mencampurkan sedikit demi sedikit susu bayi pada
susu lactamil hingga akhirnya setelah beberapa bulan, anakku betul-betul bisa
minum susu formula, sekalipun tetap dengan gelas hadiah lactamil.
Begitulah
kami belajar punya dua anak. Melipat gandakan cinta, bukan membagi cinta. Hingga
anak pertama tetap mendapat 100% cinta dan perhatian 100%. Lalu anak kedua juga
tetap mendapat cinta 100% dan perhatian 100%. Bagaimana caranya ? Tentu
kerjasama dengan suami sangat penting. Suamiku juga turun tangan untuk mengasuh
dan mengurus anak pertama saat aku masih sangat dibutuhkan oleh adik. Kadang
diajaknya sulung kami pergi ke stasiun, sekedar naik turun gerbong, sudah
sangat menyenangkan. Pernah pula diajak naik kereta api ke Solo. Atau naik bus
kota sekedar berputar-putar di Jogja. Kebun binatang juga menjadi tempat
favorit kami untuk mengasah kecerdasan dan pengetahuan anak-anak kami.
Memiliki
anak banyak membutuhkan trik tersendiri untuk mengajari mereka mandiri, peduli, dan bermanfaat. Mandiri adalah mendidik
kesadaran dan ketrampilan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Peduli adalah
untuk menjadikan mereka memiliki empati dan bisa bekerjasama. Bermanfaat adalah
hal terbaik yang semestinya ingin dicapai untuk menjadi rahmatan lil alamin.
Memiliki banyak saudara adalah wahana menarik untuk mengaplikasikan tiga nilai
tersebut. Saat mereka mandiri, mereka siap menjadi pemimpin atas diri sendiri.
Saat mereka peduli dan bermanfaat maka mereka siap untuk memimpin dan dipimpin
oleh orang lain serta mengembangkan sikap kerjasama.
Waktu
terus berlalu, kami belajar menjadi orang tua yang memiliki tiga, empat, lima
hingga enam anak. Membersamai mereka menempuh pendidikan prasekolah dan jenjang-jenjang
seterusnya. Untuk anak pertama, kami membuat merintis TKIT bersama beberapa
teman. Murid awalnya hanya 7 anak dengan membawa bangku sendiri, membawa mainan,
dan alat peraga sendiri. Orang tua bergiliran untuk menyediakan snack dan makan
siang yang sesuai dengan kebutuhan gizi anak. Setelah 18 tahun, kini sekolah
itu telah berkembang menjadi 4 TKIT di 4 lokasi dan 2 SDIT. Alhamdulillah.
Anak-anak
kami bersekolah di tempat pendidikan yang kami gagas bersama teman-teman untuk
menyempurnakan pengembangan
intelektualitas, karakter, kepemimpinan, dan memiliki landasan agama yang kokoh.
Sekolah ini kita gagas untuk memperhatikan juga aspek pembiasaan pola hidup sehat termasuk dalam hal asupan nutrisi. Anak-anak
mendapat camilan dan makan siang sehat dari sekolah. Kantin sekolah hanya
menyediakan makanan yang halal dan sehat. Anak-anak tidak diijinkan
berinteraksi membeli sembarang jajanan di luar sekolah. Orang tua juga didorong
untuk membekali anak dengan bekal sekolah yang sehat ketimbang membekali uang
jajan.
Ternyata
kami harus terus belajar, terutama saat membersamai anak menjadi ABG. Terasa
betul jatuh bangun sebagai orang tua, saat anak mulai memasuki usia remaja. ‘Dunia
moderen tanpa batas’ sekarang ini telah menjadi tantangan berat bagi orang tua.
Era teknologi informasi ini jika tidak betul-betul diregulasi bisa menjadi
sampah yang meracuni kepolosan anak-anak. Nutrisi informasi yang sehat menjadi
perhatian penting selain nutrisi makanan dan nutrisi keteladan karakter. Tugas
berat mendidik anak agar mereka menjadi pemimpin atas diri mereka termasuk dalam
memilih nutrisi informasi agar tidak menjadi korban penjajahan informasi
sampah.
Saya
memilih menambah profesi menjadi marketing berbagai buku ensiklopedi untuk bisa
menfasililitasi anak-anak guna mendapatkan buku berkualitas namun dapat kami
jangkau. Saat jendela buku dibuka, maka kita tutup jendela televisi. Diet
televisi menjadi pilihan untuk asupan informasi yang lebih edukatif dan sehat.
Anak-anak dilibatkan untuk membuat aturan main saat televisi harus hadir di
rumah kami.
Saat
internet mulai masuk ke ruang-ruang pribadi, tak dapat dipungkiri sebagai orang
tua kami harus terus mengikuti. Kami belajar dan belajar lagi agar tetap bisa
memahami dan mengontrol dunia jelajah anak-anak kami. Sungguh berbeda dunia masa
kecil tempat kami tumbuh dan dunia anak-anak sekarang ini. Namun tetap ada kata
kunci, yaitu kedekatan dan keteladan
dari orang tua untuk tetap meraih jiwa anak-anak agar selalu dalam rengkuhan.
Berusaha
menjadi sahabat bagi anak dengan membuka ruang dialog terus menerus agar tak
ada jarak psikologis yang membatasi, sekalipun ada anak kami yang harus menempuh
kuliah nun jauh di Bandung. ‘Dialog bantal’ adalah istilah kami untuk mengobrol
dengan anak sebelum mengantarkan mereka tidur. Berbaring bersebelahan dalam
satu bantal dan membincangkan berbagai kejadian yang dilalui hari itu.
Topik-topik hangat seperti korupsi dan berbagai bahasan yang aktual, juga
menjadi bahan diskusi untuk membentuk landasan moral. Meja makan adalah ladang
diskusi yang selalu hangat. Makan bersama adalah sarana membangun kedekatan dan
komunikasi yang efektif. Sekalian mengajari mereka terbiasa dengan menu sehat
olahan orang tuanya atau masakan mereka sendiri.
Keteladanan
adalah kunci utama. Bagaimanapun anak belajar dari lingkungan, terutama orang
tuanya. Mereka melihat kesungguhan orang tua dalam beribadah, bersikap kepada
anak, bergaul dengan tetangga, dan memiliki kepedulian pada urusan masyarakat.
Anak-anak akan lebih mudah untuk menurut pada saat menyaksikan bahwa tak ada
jarak antara nasehat dengan apa yang dilakukan orang tua. Satu kata dan perbuatan.
Senyatanya
anak-anaklah yang telah menjaga kami untuk konsisten dalam ibadah, akhlaq
pergaulan, dan amal kebaikan lain. Kesadaran bahwa apa yang terlintas dalam
fikiran, hati, apa yang kita ucapkan, dan yang kita lakukan tak hanya berefek
pada diri kita sendiri, tapi juga akan berakibat pada anak-anak, selalu membuat
kami berhati-hati. Terkadang justru dari anak-anak kami belajar menyempurnakan
kebaikan. Setiap prestasi dan sikap kritis-bijak-polosnya mereka terus menjadi
pengingat. Jika ada onak duri ujian dengan berbagai tingkah mereka, itulah yang
mematangkan kepribadian dan ketrampilan kami sebagai orang tua dan menjadi
momen pembelajaran bagi anak. Begitulah
prinsip untuk menjadi orang tua yang belajar.
Kini
anak kami menempati jenjang SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi. Enam anak yang
dititipkan Tuhan kepada kami, memiliki warna dan karakter unik masing-masing. Hingga
kini kami terus belajar bersama mereka, merajut hari demi hari, mengarungi kehidupan,
dan menyiapkan pemimpin masa depan menuju kesempurnaan kebahagiaan dunia akhirat.
Kebaikan
masyarakat dan bangsa bermula dari kebaikan keluarga. Para pemimpin yang baik terlahir dari keluarga
yang baik, dan orang tua adalah
bagian dari pemeran utama.
Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Penulisan Blog "Peran Ibu Untuk Si Pemimpin
Kecil", yang diadakan oleh Nutrisi Untuk Bangsa
keluarga memang hrs jd gerbang utama, ya, Mak :)
ReplyDeleteSetujuu Mak, Myra...terimaksih udah komen dan kasih semangat
ReplyDeletesemoga sukses lombanya dan menang Mbak..
ReplyDeleteMakasih doanya mak Rita Asmaraningsih.
ReplyDeletesemua sangat berarti bagi pemula ini.
baguuus banget bu penyampaiannya. semoga sukses di lomba ini.
ReplyDeleteAmin.matur nuwun doanya mbak
ReplyDelete