Saturday, January 14, 2012

Yang Kualami di Tanah Suci (26)


Bersama para Nenek (2)
Oleh : Ida Nur Laila

Beberapa orang kadang menegurku karena sering membantu nenek ini. Aku jawab, bahwa aku berdoa pada Allah, di sini aku meringankan ibadah seorang nenek yang baru kukenal,semoga Allah meringankan beban ibuku di rumah, di tanah air. Ibukulah yang menunggui rumahku, mengurus anak-anakku selama aku pergi, menyiapkan seragam sekolah dan makan anak-anakku. Menjaga bungsuku yang baru berusia 4,5 tahun. Semoga Allah memberinya kemudahan, menghilangkan lelah  dan menghilangkan sakit ibuku. 
Saat di Mina, aku kadang mengantarkan nenek  ke toilet. Saat mengambilkan makan bergantian dengan teman yang lain, karena aku kadang tidak mengambil jatah makan. Yang paling berat bagi nenek adalah saat harus berjalan kaki dari bus ke tenda atau dari tenda menuju ke bus. Kadang bus tidak dapat parkir ke lokasi yang dekat tenda.

Demikian pula saat di Arofah, nenek sampai berkeringat dingin menahan sakit lantaran perjalanan yang lumayan jauh dari bus hingga ke tenda. Apalagi saat meninggalkan Arofah menuju terminal bus. Kami harus sering berhenti. Hingga perjalanan yang mestinya hanya 30 menit, kami tempuh dalam waktu 2 jam. Nenek kesakitan dan kami yang memapah bergantian kecapekan. Kami semua menjalaninya dengan shabar. Semoga Allah mencatatkannya sebagai amal sholih kami.
Mungkin orang lain berfikir, berteman dengan nenek tentu merepotkan. Kemana-mana harus menuntun atau memapah. Namun bagi kami, sering kemudahan dalam proses kami dapatkan, justru ketika kami bersama nenek. Saya contohkan adalah pengalaman kami ketika pertama kali mengantri menuju Roudhoh. Taman syurga di Masjid Nabawi ini, dibuka untuk jamaah perempuan hanya tiga waktu dalam sehari. Yakni pagi jam 06.00, artinya mengantri harus sejak shubuh, bakda dhuhur dan bakda isya’.
Setelah sholat shubuh pertama saat kedatangan , kami bersama mengantri Roudhoh. Saya dan mbak Retna mendampingi nenek, menggandengnya kiri kanan. Kami harus pindah posisi sampai 9 kali hingga bisa memasuki Roudhoh. Bagi nenek, tentu tidak mudah posisi duduk, beridi, berjalan, duduk lagi, begitu terus menerus.
Sedikit berdesak-desakan, Alhamdulillah dapat tempat tepat di bawah tempat adzan Bilal. Kami bertiga segera berjajar untuk melaksanakan sholat sunnah. Tidak ada yang mendesak kami atau mengusir kami hingga kami selesai sholat dan berdoa. Padahal beberapa kali orang disekitar kami diusir oleh para asykar karena mengambil posisi sholat di bawah tempat adzan tersebut. Kami tidak. Bahkan seorang asykar seolah menjagai kami hingga kami selesai dan bangkit dengan kesadaran kami untuk bergantian dengan orang lain.
Kami bersyukur kepada Allah, mungkin kemudahan dan kelapangan tersebut kami dapatkan justru karena kami mau sedikit repot membawa serta nenek bersama kami. Hal ini menambah keyakinan kami bahwa tak ada perbuatan baik yang sia-sia. Semua pasti telah dihitung oleh Allah dan mendapat balasan setimpal, atau bahkan lebih baik.
Demikian pula saat berumrah pertama kali. Kami membawa nenek berthowaf, subhanallah semua lancar. Saya bisa menahan tidak batal wudhu, dan kami juga dimudahkan disela banyaknya jamaah yang berthawaf. Justru saat tidak bersama nenek, kami ingin thowaf, tidak kesampaian lantaran satu dan lain hal. Bahkan dari salah satu perjalanan, kami sempat berputar-putar lama sekedar untuk mencari toilet. Itu terjadi saat kami tidak pergi bersama nenek.
Saat thowaf dalam prosesi haji, bahkan dua kali saya batal wudhu, hingga harus menambah putaran 2x. jadi total mengelilingi Ka’bah 9x di lantai 3...hhhmmm bayangkan sendiri.
Banyak yang menilai nenek ini sungguh beruntung dan dapat mengerjakan haji dengan lancar padahal keadaan kakinya sedang sakit. Apalagi beliau tidak disertai sanak saudara. Aku merenungkan perkataan ini. Tidak, menurutku nenek tidak sekedar beruntung. Beliau pastilah memiliki amal kebaikan yang membuat beliau dapat melaksanakan semua prosesi dengan lancar. Aku mengamati kesehariannya dan  menyimak sedikit cerita kehidupannya saat di tanah air. Kesimpulanku nenek memiliki tabungan amal rutin yang selalu beliau laksanakan.
Sepengetahuanku nenek orang yang sangat bersih hatinya. Tidak suka berprasangka. Bahkan ada orang yang telah berbuat kurang baikpun kepada nenek, nenek tidak melihatnya sebagai  hal buruk yang merugikan beliau.
Nenek suka bershodaqoh. Setiap akan bepergian, beliau menyiapkan uang untuk dishodaqohkan. Jadi ketika saya menuntun nenek ziyaroh di suatu tempat, jika ada pengemis, nenek minta berhenti, membuka dompet dan memberi pada pengemis. Sedang kami berjalan sangat lambat, telah ketinggalan rombongan, nenek tetap minta berhenti sekedar untuk memberi pada pengemis. Alhasil kami semakin ketinggalan dari rombongan. Saya cemas, khawatir jika terpisah berdua nanti tersesat, namun nenek nampak tenang saja.
Nenek juga sangat pemurah, membeli oleh-oleh untuk semua menantu dan cucunya. Sampai saya harus memperingatkan tentang banyaknya barang bawaan beliau, mengingat untuk berjalan saja kesulitan.
Nenek sangat rajin beribadah, sholat malam, sholat rowatib, tilawah Qur’an, berdoa. Dan lagi sebelum tidur selalu membaca Alfatihah, surat Al-Ikhlash, Al-Falaq dan Annas. Kemudian membaca ayat kursi dan berdzikir tashbih, tahmid dan takbir 33x.
Selain itu nenek juga orang yang senantiasa syukur nikmat. Setiap kali mendapat sajian makanan, beliau selalu berkata :
“ Wah makanannya enak sekali....”  Dan memakannya dengan lahap.
Hal ini tentu membuat kami merasa selalu diingatkan untuk mudah menyukuri nikmat Allah yang disajikan di tanah suci. Kadang kami yang muda mengkritisi rasa dan jenis makanan yang yang disajikan. Nenek tidak pernah mencela makanan, apa yang dihidangkan, dinikmati dengan gembira.

No comments:

Post a Comment