: Menikmati Roman dalam Epos Kepahlawanan Based on True Story
Dokpri |
Sebagai penggemar sejarah, mendapat hadiah novel Sang Patriot dari penulisnya, Mbak Irma Devita yang cantik dan cerdas, adalah anugrah. Dalam 2 hari perjalanan saya ke Jambi, saya lalap novel ini sepanjang berkendara menuju Bandara, menanti pesawat dan duduk dalam penerbangan.
Saya biarkan
beberapa orang menatap heran saat saya berurai air mata hingga terisak-isak
sejak halaman pertama. Saya tidak peduli dan larut dalam penuturan cucu sang
Patriot, Irma Devita.
Saya yakin,
cerita yang sanggup melibatkan emosi pembaca, adalah kisah yang ditulis dengan
segenap jiwa dan cinta. Dan itu tertuang sejak lembar pertama saat Irma kecil,
8 tahun, menatap takjub pada penuturan sang nenek Rukmini yang dikaguminya.
Cerita almarhum
sang nenek yang telah meninggal pada usia 79 tahun, ini menyebabkan Irma
membuat janji masa kecil yang kemudian ia tunaikan dalam sebuah epos
kepahlawanan.
“ ...Mbah,
Irma janji, suatu saat kelak Irma akan menuliskan cerita tentang mbah
Kakung...”
Ilustrasi pinjam dari sini. |
Judul Buku : Sang Patriot Sebuah Epos
Kepahlawanan
Penulis : Irma Devita
Penerbit : Inti Dinamika Publisher
Terbit : Februari 2014
Tebal : 266 Halaman
Harga : Rp.52.000
ISBN : 978-602-14969-0-9
Credit |
Buku Sang
patriot ditulis dengan alur maju mundur, yang makin membuat penasaran pembacanya.
Penulis menuturkan dalam 25 episode. Prolog yang dramatik telah berhasil
mengikat pembaca untuk terus melalap bagian demi bagian.
Cerita berawal
dari legenda Calon Arang dan kampung Gurah yang nantinya menjadi tempat masa
kecil Sroedji bersama keenam saudaranya. Sejak kecil, semesta seakan mendukung
Sroedji untuk lebih “terlihat” dibanding saudaranya yang lain.Terlahir tampan
dengan kecerdasan, cinta belajar dan karisma kepribadiannya, menjadikan jalan
pendidikan yang seakan mustahil pada masa itu, menjadi rejekinya.
Pernikahannya
dengan Rukmini adalah bagian dari taqdir Sroedji, yang menjadi Mantri Malaria
di Rumah Sakit Umum Kreongan. Rukmini perempuan pintar yang sangat ingin
menjadi ahli hukum ini, telah menjadi pendamping setia yang selalu menyokong
langkah Sroedji. Termasuk saat Sroedji ingin mengikuti rekrutmen sebagai
tentara PETA.
“Kau punya
mimpi jadi tentara agar dapat membaktikan tenagamu kepada rakyat banyak.
Mungkin inilah saat yang tepat untuk mewujudkannya....” (hal.47).
Menjadi ‘kadet’
Peta adalah gerbang untuk Sroedji memasuki perjuangan yang seakan tak
berkesudahan. Membentuk BKR di Besuki, terlibat dalam pertempuran Surabaya, menahan Agresi Militer I hingga Wingate Action.
Agresi militer I Credit |
Kiprah Brigade
Damar Wulan telah menjadikan Belanda kalang kabut dan gelap mata, hingga
membuat berbagai makar untuk menghabisi komandannya, Letkol Sroedji. Istri mana
yang tak remuk hati jika mengetahui kepala suaminya dihargai 1000 gulden, hidup
atau mati. Namun tidak dengan Rukmini, ia justru gusar, marah saat membaca
selebaran suaminya sebagai buron.
“Selebaran
ini bukti keberhasilanmu memimpin gerilya. Belanda kewalahan”
Rukmini juga
terharu mengetahui suaminya masih hidup (hal. 177).
Irma Devita
sebagai cucu perempuan, seakan masuk dalam jiwa Rukmini dalam menuturkan sudut
pandang seorang istri. Rasa cinta, kekaguman, rindu dan kegelisahan teramu
dengan manis. Seperti saat harus berjalan kaki dalam keadaan hamil tua dari
Jember-Madiun-Kediri.
Perjalanan berat penuh teror rasa takut dalam minimnya perbekalan berbilang bulan, digambarkan sempat mengguncang semangat Rukmini. Akhirnya dengan bujukan Rustamaji, sang adik, Rukmini berhasil bangkit dari kelelahannya yang sangat saat mengingat anak-anaknya Cuk, Pom dan Tuti.
Bagaimana Sroedji
menyusun strategi dalam situasi yang sulit, barikade Belanda, kekurangan persenjataan
dan perbekalan makanan. Siapa tokoh antagonis, siapa sahabat sejatinya, hingga
bagaimana beliau menemui syahidnya...selengkapnya anda cari jawaban dalam novel
Sang Patriot.
Melihat foto
jenazah Alm. Letkol Sroedji, membuatku merinding teringat janji Allah, bahwa
tubuh para syuhada tetap terjaga. Betapa tidak, mendapatkan gambaran bahwa sejak
kematiannya, Letkol Sroedji telah diseret sepanjang puluhan kilometer dan
mendapat banyak luka tusukan bayonet. Lalu diabaikan di terik matahari selama 2
hari. Bahkan tulang kepalanya retak serta jarinya tak utuh lagi...namun dalam
foto, jenazah itu walau terlihat bengkak, nampak cukup ‘bersih’kulitnya.
Irma menyempurnakan haru biru pembaca dengan dua puisi. Karyanya yang berjudul: Sajak Sang Pejuang dan karya bundanya yang berjudul Bapak.
Saya
nukilkan bagian akhir puisi bundanya (hal. 165):
Bapak
.....
Hanya dari mulut ibu, kami mengenal
sosokmu yang gagah, sabar dan penyayang
Menurut ibu,
Engkaulan suami pilihan surga
baginya,
Itulah mengapa,
Ibu memutuskan untuk tidak menukar
cintanya kepadamu
Dengan cinta yang baru,
Hingga akhir hidupnya
Sekarang aku sudah mulai menua,
bapak...
Sudah mulai kufahami arti kehidupan
yang engkau wariskan kepadaku
Teladan yang sama akan
kuwariskan pula pada anak cucuku,
Tentang kasih pengabdian tanpa syarat
Dan kecintaan yang besar terhadap
bangsa dan keluarga.
***
Apakah
menjadi cucu pejuang itu suatu keberuntungan?
Tidak jika
gagal mewarisi semangat kepahlawanannya. Namun Irma Devita adalah satu yang
beruntung, terbukti dengan semangat juangnya untuk menguak sejarah sang kakek
dan menuliskan ulang sekalipun dengan bersusah payah dalam mengumpulkan bahan: Membaca
25 buku sejarah, wawancara panjang, dan mengejar arsip hingga ke data intelejen
dan arsip militer Belanda.
Sungguh, Indonesia
butuh lebih banyak lagi Irma-Irma lain, generasi muda yang mewarisi semangat
cinta bangsa, untuk lebih banyak lagi menggali sejarah para pahlawan yang belum
terangkat. Agar sejarah besar bangsa ini dapat ditulis ulang dengan utuh dan lebih adil.
O ya, semoga
para pembuat kurikulum melirik novel ini untuk menjadi bacaan wajib para
pelajar dalam membangun karakter kepahlawanan dan lebih menghargai kemerdekaan
yang telah diperjuangkan dengan keringat, darah dan airmata para pejuang.
Selamat
menikmati!
***
Catatan
akhir:
Saking
terpikatnya dengan novel epos ini, saya membacanya dua kali dengan melalap
hingga titik komanya. Naah berikut catatan saya:
Sedikit
kekurangan editing ada di halaman 71, baris kedua alinea terakhir yang kehilangan spasi.
Hal 73, baris
pertama alinea terakhir juga kehilangan
spasi.
Dua kata
yang mengganggu bagi saya ada di halaman 170 baris ke 6 (...Mati sia-sia...) dan baris ke 24 (...mati konyol...), menurut saya perlu lebih
dihaluskan karena kurang sesuai dengan paduan kisah secara umum. Semestinya tak
ada yang mati sia-sia atau konyol
dalam perjuangan...sekalipun kematian tersebut karena kecerobohan atau salah
strategi.
Itu dapat tandatangan sang penulis kah? Keren :)
ReplyDeletehihi iya alhamdulillah...menangin GA mak prit
DeleteReview nya menarik Mak Ida... semoga menang
ReplyDeletehihi amin makasih mak. pakai acara mencari wangsit ...saking melihat tulisan lain juga keren
DeleteMemang mengharukan ya Mak novel ini, penuh dg semangat nasionalisme.
ReplyDeleteBtw, yg halaman 170 itu mungkin dimaksudkan untuk menggambarkan kejadian saat itu dimana para prajuritnya ngeyel sdh dibilangin tapi keukeuh aja dan pas kejadian pada lupa semua latihan yg sdh diajarkan.. yah saya maklum sih dg situasi saat itu apalagi kondisi prajurit saat itu.. :)
Semoga bacaan ini bisa masuk ke sekolah2 ya Mak dan semoga sejarah bangsa ini semakin banyak yg menelitinya kembali lalu menulisnya dengan sebenar-benarnya.. amiiin...
amiin...butuh kesungguhan dan kerja keras untuk menulis ulang sejarah negeri ini.
DeleteUlasan yang tajam dan mengena
ReplyDeleteSemoga berjaya dalam lomba
Salam hangat dari Surabaya
makasih kunjunganya pakdhe. Pesannya selalu menyejukkan.
DeleteAh mbak Ida memuji review saya, padahal review mbak Ida lebih keren lagi. Jadi pengen baca novelnya lagi, padahal udah berkali-kali saya baca hihi
ReplyDeletebetul tulisan mak winny sampai saya copas untuk contoh besok lagi kalau bikin review suer mak...
DeleteBaca novel ini serasa belajar sejarah tapi dengan cara yang asyik ya Mbak. Saya juga menikmatinya saat baca hingga tuntas. Tak mudah bagi penulis yang seorang praktisi hukum.
ReplyDeleteReview-nya juga kece, sampai titik koma diulas dan dibaca berulang. Semoga semangat Sroedji bisa kita tiru di bidang yang kita geluti ya Mbak. Sukses selalu untuk Anda!
makasih ya kunjungannya...hihi doain menang
Deleteumi..reviewnya keren buangt sih miii...
ReplyDeletekeren ya mi mbak irma..aku kagum loh....
aku sempet mewek pas baca bagian2 akhirnya...
sukses ya umi buat GA nyaaa
aku mewek sejak halaman pertama...iya mbak Irma super kereen
DeleteBu, terima kasih atas partisipasinya :)
ReplyDeleteizin copy
ReplyDelete