Friday, October 23, 2015

Makassar I Am Coming

Telah beberapa kali kami mengunjungi kota Makassar. Terkadang ada acara, kadang hanya transit saja. Transit beberapa jam, dalam perjalanan dari wilayah lain.
Nah kunjungan kali ini berbeda. Kami memiliki cukup waktu untuk menikmati keindahan kota Makassar dan berkunjung ke Trans Studio.

Lucunya, sepekan sebelumnya, saya mendapat tawaran tiket gratis untuk penerbangan Jogja -Makassar dan berkunjung di trans studio dalam rangka meliput acara family gathering dancow. Namun belum rejeki, lantaran saya sedang diuji dengan sakit yang bisa menular: exanthema cubitus. Namanya keren sih, tapi terjemahan lokalnya sangat tidak elit: kesumutan. Eh maaf curcol.

Singkatnya, saya melewatkan tiket gratis tersebut, padahal tawarannya pp berdua dengan Revo. Ya iyalah, badan rasanya lemas dan ngilu semua persendian. Belum lagi peluang menulari peserta lain.

Namun, akhir pekan ini saya kami benar-benar mengunjungi Makassar, alhamdulillah. Nasib baik lainnya, hotel kami persis di tepi pantai Losari dengan view menghadap laut, amboi...!

Dipantai ini terdapat tulisan nama-nama suku besar penyusun utama masyarakat Makassar.
Pemandangan pagi, senja dan malam, sungguh memanjakan mata. 

Menikmati  sunset di balkon lantai dua...hmmm seakan dunia milik kami saja. Ditemani secangkir teh panas dan pisang goreng keju, sempurna sudah.

Pemandangan pagi atau senja sebenarnya dapat menjadi milik siapa saja yang menyempatkan duduk di tepi pantai Losari. Lapak-lapak pisang epek berbaris rapi siap melayani. Saat adzan menggema, tinggal melangkahkan kaki menuju masjid apung 'Amirul Mukminin' yang elok.

Jika malam, lampu-lampu berbaris bak mini suar. Indah. Sungguh indah.
Makassar, telah menjadi kota kedua bagi kami, setelah Jogjakarta. Karena keramahan para sahabat di sini, ditambah kulinernya yang selalu menggoda selera: cotto daeng Sirua, palu bassa serigala, barongko dapur mama, aneka olahan ikan di Lae-lae...
Halah ketahuan suka makan!

Hari ketiga kami mengunjungi Fort Rotterdam. Ada seorang guide lokal yang menyertai, membuat kami sedikit banyak memahami hal ikhwal benteng tersebut. Mengunjungi setiap kota, bagi saya menjadi lengkap ketika menyempatkan untuk mengunjungi tempat bersejarah. 

Sejarah adalah salah satu cara menemukan hakikat sebuah masyarakat. Dengannya kita memahami karakter wilayah pada masa lalu dan menelaahnya pada masa kini. 

Jadi saya nikmati jengkal demi jengkal benteng tua  ini sambil  mendengarkan ulasan guide lokal yang membuat tarif Rp.100.000 untuk 2 jam memutari benteng.

Banyak  cerita menarik yang tentu berulang disampaikannya pada para pengunjung, namun karena pertama kali mendengarnys, saya sangat tertarik. 

Diantaranya kisah pengasingan pangeran Diponegoro. Ruangan penjara masih dipertahankan termasuk lorong kecil tempat keluar dan masuk. 

Museum kini masih dikunjungi oleh khalayak, termasuk  mereka yang membuat foto-foto  prewedding.

Panas terik menyambut kami selama berpindah dari satu bangunan ke bangunan yang lain, tak menyurutkan semangat kami.

Hingga tuntas seluruh sudut, barulah kami berpamitan. Berbagai kesan dan rasa bercampur dalam dada. Kusemoatakan mengambil berbagai gambar kenangan yang bisa amda lihat di sini. 

Setelahnya kami mampir makan siang, dan menuju bandara. Selamat tinggal Makassar. Akhir November nanti, kami akan mengunjungimu lagi. Insya Allah.





No comments:

Post a Comment