Ini tulisan
ke tiga dari 4 tulisan.
Tulisan
pertama di sini.
Eh kilas balik dulu ke tahun 1998 saat krismon pada masa kejatuhan orde baru. Nilai tukar dolar meroket dari Rp. 6.000 menjadi Rp. 20.000.
Kondisi
ekonomi masyarakat sungguh berat. Tak terkecuali kondisi kami. Saya kerja di 3
tempat. Suamiku mengajar di 5 kampus
sebagai dosen tidak tetap. Tetap saja sangat berat karena selain punya 4
anak, saya juga menanggung biaya kuliah adik saya.
Suatu hari
ada seorang kakak kelas yang menjemputku. Mbak Nur Azizah namanya.
Kakak kelas
ini suaminya dosen yang belum lama pulang dari menempuh S3 di Inggris. Dulu
waktu ditinggal suaminya ke Inggris beliau mengontrak rumah bertetanggaan
dengan rumah kontrakan kami yang ke 4. Jadi motivasinya memamerkan rumah adalah
agar kami juga bersemangat punya rumah.
Sepanjang
jalan beliau cerita bagaimana perjuangannya membangun rumah. Saat sampai di
rumahnya saya terpana. Rumahnya besar dan bagus dengan bahan-bahan pilihan dan
mebel pilihan.
Beliau
menyuguhiku dengan makanan enak yang berlimpah. Lauk pauk dan buah-buahan. Sebenarnya
saya makan sambil menahan tangis ingat anak-anak di rumah yang makan dengan
lauk seadanya. Untuk membeli susu juga kesulitan.
“Kudoakan
kamu segera punya rumah yang besar...” kata mbak Nung.
“Lah uangnya
dari mana mbak...?” Kataku sambil menggigit bibir.
“Heh
istighfar kamu, gak boleh ngomong begitu. Allah Maha Kaya...kamu harus yakin
bahwa suatu saat Allah beri kemampuan kamu untuk memiliki rumah besar yang
barokah...”
Blarr!!
Seperti
dipukul palu godam...Saya menangis sambil mengaminkan doanya. Menangis
mengingat kemampuan ekonomi kami dan dan menangis karena menyesal telah
bersangka buruk pada taqdir Allah. Memang tidak mudah ya membangun mimpi dalam dari dalam jurang.
Saya
mengaminkan berkali-kali dan mohon doa pada mbak Nung tersebut agar dimudahkan
memiliki rumah sendiri. Pada kenyataannya 10 tahun kemudian kami baru bisa
membeli tanah yang kami tempati saat ini.
Flashback lebih ke belakang lagi ya.
Tahun 1995,
saat itu saya punya 2 anak. Kami mengantar pindahan kakak ipar yang telah
berhasil membangun rumah. Rumah kakak ipar ini benar dibangun dengan tangannya
sendiri.
Beliau
adalah kepala sekolah SD. Suami istri tadinya guru, lalu kakak ipar menjadi KS
dan mendapat rumah dinas yang sangat kecil. Setiap libur sekolah, kakak membuat
batu bata. Begitu seterusnya hingga batu bata dianggap cukup dan mereka mulai
membangun rumah.
Saat
pindahan itu putri sulungnya kelas 6 SD, rumah kakak baru setengah jadi.
Calonnya sih rumah lumayan bagus. Tapi belum dilepo, jadi batu batanya masih
kelihatan dari luar maupun dari dalam. Lantainya masih plesteran semen, belum
dikeramik. Belum diberi eternit juga.
Ibu saya dan
ibu mertua mendoakan banyak kebaikan untuk kakak ipar yang berbahagia.
Saya
mengamati rumah kakak dan berfikir, kapan ya bisa punya rumah?
Seolah mendengar kata hati saya, Ibu mertua ngendiko:
“Kudoakan besok mbak Ida dan mas Cahyadi bisa punya rumah yang lebih besar, lebih luas lebih bagus...” doa ibu mertua saya.
“Amiinnnn...”
kata ibu saya dengan mantap.
“Amiinn...”kataku
pula sambil dalam hati bertanya: ‘Kapan? Darimana uangnya...?’
Itulah pikiran
sempit keluarga muda yang sedang berjuang dalam himpitan ekonomi. Pikiran buruk yang kemudian kusesali dan aku
bertobat atas semua itu.
Flashback lagi ke tahun 1993. Tahun ke tiga
penikahan kami.
Suatu ketika
suamiku bercerita diajak pergi dan ditraktir oleh seorang ustadz. Beliau adalah
ustadz sekaligus penulis buku di Jakarta.
“Ustadz itu
bercerita bahwa beliau membangun rumah dan membeli mobil dari menulis dan
menterjemahkan buku...gimana kok bisa ya...?” kata suamiku.
Kami tak
habis pikir. Bagaimana mungkin menulis buku bisa untuk hidup. Saat itu suamiku
telah menyelesaikan buku pertamanya. Sebenarnya laku keras, tapi beliau masih
memakai nama samaran. Lucunya bahkan malu bertemu penggemar dan kadang memilih
untuk tidak mengakui jati dirinya.
Cerita ustadz
itu sungguh menginspirasi sehingga suamiku makin rajin menulis dan terus menulis.
Efek domino
dari menulis adalah diundang bedah buku, mengisi seminar dan pelatihan hingga ke luar negeri. Dan itulah yang ternyata menjadi gantungan hingga kami bisa
membangun rumah. Kalau menjadi dosen dan apoteker cukuplah untuk biaya makan
sehari-hari.
Kembali ke ceritaku sebelumnya di rumah kontrakan ke 6.
“Aku nggak
mau pindah dari sini sebelum punya rumah sendiri...”ancamku dengan serius tapi
cantik. Yah... waktu itu masih cantik #halah.
Rumah keenam
itu makin lama makin tidak memadai. Hanya punya tiga kamar tidur sementara kami
punya dua pembantu, ada ibuku, ada kemenakanku dan anakku 5. Huaa... suamiku
dan anak-anak sering tidur di ruang tengah. Mana ia tak dapat pergi ke halaman
belakang karena banyak anak kost. Tiap tahun kami menambah satu kamar
menggantikan anak kost yang lulus, untuk kami pakai sebagai ruang ngaji, ruang
tamu atau kamar pembantu.
Yang paling tidak
nyaman sebenarnya suamiku, tidak bisa menikmati halaman belakang. Maka
mendengar ancaman cantik tadi beliau semakin semangat untuk mulai mewujudkan
rumah impian.
Kuingat lagi
sebuah momen yang menginspirasi. Adalah seniorku mbak Lilik dan mas Body.
Mereka barusan menyelesaikan rumah bambu yang indah. Itu juga rumah pertama
mereka yang mereka beli lahannya bersama pembebasan tanah untuk yayasan
pendidikan yang mereka dirikan.
Penasaran
dengan rumah baru mereka, kami sengaja datang berkunjung saat hari Raya Idhul Adha. Itu baru dua bulan sejak kepindahan mereka.
“Kami membangun
rumah ini modalnya sejuta Dik...” kata mbak Lilik.
“Hah...yang betul M bak?!” kataku penasaran. Senggol mak irits Rahmi Aziza.
(bersambung)
Haha aku disenggol-senggol. Tau aja mak, hal kayak gini yang lagi berkecamuk di pikiranku. Pengen banget punya rumah yang lebih luas, tapi kalo dihitung secara matematis serasa ga mungkin. Saat ini penghasilan pas-pasan. Meski nabung, tapi harga rumah n tanah makin lama kan makin naik. Tapi selalu berhusnudzon, kuasa Alloh siapa yang tahu ya Mak. Kalo Alloh sudah berkehendak, kun fayakun :)
ReplyDeleteMakasih tulisannya Mak, membuatku semangat, dan berpikiran positif :)
Oya tapi kenapa harus bersambung sih, penasaran banget aku. Sejuta bangun rumah bisa jadi apa? Hehehe?
Deletemak Rahmi...Allah Maha Kaya...nabungnya bukan hanya uang...amal sholih juga tabungan dunia...
Deletembak, penasaaran sama cerita lanjutannya, nih ^_^
ReplyDeletetunggu ya mak Myra...salam buat Keke-Nai dan eyangnya...
DeleteSuka banget sama ceritanya .... kebetulan saat ini aku juga lagi punya keinginan besar untuk beli rumah .... kisah ini bisa jadi vitamin hati yang menambah keyakinan untuk segera bisa punya rumah ideal :)
ReplyDeleteThanks sharingnya :)
begitulah maksud tulisan ini. bukan pamer tapi mengajak untuk berbesar hati, berpengharapan dan semangaaattt.
Deletenungguin sambungannya, Mak :D
ReplyDeletesabar ya...semoga besok pagi tayang.makasih sudah mampir mbak April
Deletewaah mbak, jadi bertanya-tanya ttg kelanjutannya. susah ya mbak punya rumah? apalagi sekarang apa-apa mahal. saya jadi serem, nikah dulu apa nunggu punya rumah dulu.
ReplyDeletesusang enggak susah enggak...jangan serem ya...tunggu saja
Deleteitu garasi apa ruang serba guna mak? hihihi
ReplyDeletehihi campur-campur mak
Deletesangat menginspirasi mbk, saya juga kepengen bikir rumah impian. Aamiin semoga terwujud segera.
ReplyDeletesaya doakan mbak Mega segera dimudahkan mendapat rumah impian amiin
Deletehmmm...tiba-tiba jadi bertanya pada diri sendiri, saatnya nanti saya ingin juga punya rumah sendiri, masih adakah lahannya kah? apalagi Jakarta sekarang sudah full bangunan hihihi.
ReplyDeleteDitunggu cerita selanjutnya mbak hehehe
kan gak harus di jakarta mak...ayo ke Jogja berhati nyaman....
DeleteLalu ikut terjleb sama omongannya kawannya mak ida.. *lalu semakin semangat berusaha mewujudkan rumah idaman*
ReplyDeleteiya mak...optimisss moga segera terwujud amiin
Deleteterimakasih inspirasinya mak, jadi semangat mengejar target,,
ReplyDeleteemang harus selalu optimis ya mak, karena Allah Maha Kaya :)
Allah maha kaya...yup itu kata kunci optimis...ayoo kita guncang langit dengan usaha dan doa
Deleterumah saya msh kecil, mak.. tp msh smangat smoga suatu saat bisa "ditukartambah" menjadi rumah besar yang full manfaat dan barakah..amiinn:)
ReplyDeleteya mak...gunakan untuk banyak kebaikan, jika tidak lagi mampu menampung, maka Allah yang akan meluaskannya.
DeleteAbis baca beberapa postingannya mak ida, saya jadi optimis bisa punya rumah sendiri. do'akan y mak,
ReplyDeleteSaya doakan inda segera punya rumah impian yang nyaman amiin
DeleteTerima kasih mbak...tulisannya sangat mengispirasi...
ReplyDeletemakasih juga mak sudah mampir di dumay dan mampir yang sesungguhnya
DeleteTulisannya menginspirasi.. keep sharing ya mbakk.. makasih ..
ReplyDeleteperumahan bekasi
Semangat...lg pingin beli rumah
ReplyDeleteKisahnya ajib yaa...
ReplyDeletesambungannya mn donk mbk?
sy jg pny mimpi sprti kisah diatas...
mdh2n do'a sy dikabulkan oleh Allah Yg Maha Kuasa atas Segala Sesuatu, karena anak saya udh mau tiga, tapi sy msh jadi kontraktor alias tukang kontrak. hehehe
Ada bersambungnya segala ,, penasaran dg critanya.sy pengen pny rumah sendiri,, yg luas juga
ReplyDeleteAda bersambungnya segala ,, penasaran dg critanya.sy pengen pny rumah sendiri,, yg luas juga
ReplyDeleteBacaan doa penting untuk Anda:
ReplyDelete1.Doa Supaya Cepat Punya Rumah dan Mobil
2.Doa Agar Cepat Dapat Jodoh Lengkap (Tanpa Biro Jodoh)
3.Doa dan Amalan Agar Cepat Naik Haji Lengkap Teks Sholawat Haji
4.Doa Penyakit Stroke (Rihul Ahmar), Terjemahan dan Penjelasan Lengkapnya
5.Doa Sakit Gigi yang Diajarkan Rasulullah
6.Doa Menghilangkan Bau Tidak Sedap Pada Hidung