Tahun 2008, ketika suamiku diizinkan Allah mengunjungi Baitullah atas undangan Raja Saudi,
beliau beberapa kali SMS yang nadanya melankolis.
“Aku sedang sholat malam dan sholat shubuh di lantai 3
Masjidil Haram, beratapkan langit dan bertabur bintang, sambil menatap Kakbah,
subhanallah.”
“Aku sholat bersama ustdz HNW, beliau duduk berdampingan bersama istrinya. Di
Masjidil Haram ini sungguh romantis, suami istri bisa bergandengan kemana-mana
bersama, dan sholat berdampingan..”
Beberapa
kali suamiku sms tentang keriduannya.
Dulu aku hanya bisa membayangkan dan sekarang ketika berangkat
berhaji sendirian, aku mengalaminya. Merasakannya sendiri. Merasakan
kesepian yang dialami suamiku.
Banyak pasangan suami istri beribadah bersama, sholat
berdampingan. Bergandengan tangan melakukan sa’i, berbimbingan melakukan
thawaf. Kalau ke toilet diantar dan ditunggui di depan pintu masuk toilet,
khawatir tersesat atau terpisah.
Ada pasangan muda yang sepertinya belum lama menikah. Ada
yang membawa bayi belum genap setahun. Ada yang bersama anak
mereka yang masih kecil atau beranjak remaja. Ada pasangan paruh baya.... dan banyak pasangan
tua, kakek nenek.
Ada anak menggandeng ibunya, atau bapaknya. Ada yang
mendorong orang tuanya di kursi roda. Atau suami mendorong istri yang memangku
anaknya di kursi roda.
Aku sendirian.
Kadang aku berthowaf membuat formasi dengan 5-6 orang
teman. Kadang thowaf dan sa’i sendirian. Jika membersamai teman yang suami istri
khawatir mengganggu romantisme mereka.
Jadi aku lebih sering sendirian. Apalagi saat di masjid Nabawi.
Kunikmati betul kesendirian i’tikaf di masjid Nabawi. Artinya aku sering duduk
dengan orang yang belum kukenal dan menyedikitkan mengobrol. Suasana memang
sungguh nyaman, tenang dan aman, lantaran wilayah perempuan terpisah dari
laki-laki.
Dua
shabahatku Awie dan Retna, memiliki meeting point dengan suaminya, yang mereka
sebut tiang cinta. Di tiang itulah mereka selalu berpisah jalan saat memasuki halaman
dalam masjid Nabawi. Di tiang itu pula mereka akan saling menunggu seusai
sholat. Ah tetap saja ada kenangan manis yang bisa dibangun pada sebuah tiang, salah
satu dari tiang payung di depan pintu perempuan. Aku memotret mereka
berpasangan di depan tiang cinta mereka.
Demikian
pula saat di Mina, Arafah dan Muzdalifah. Suami istri duduk berdampingan dalam
bus, jika turun saling berbimbingan. Beban barang bawaan dibawakan oleh suami. Belanja
oleh-oleh berdua. Jika mengantri makan, banyak suami yang mengambilkan
istrinya. Kadang mereka makan sepiring berdua walaupun hanya di emper tenda,
atau dibawah menara ponsel. ...hmm romantis ya.
Aku
duduk dengan nenek di bus, aku turun membimbing nenek dan membawakan
barang-barang nenek. Jika makan aku mengantri untuk nenek. Aku makan bersama
nenek....hmm romantis juga kan....
Ada saat terasa kerinduan kepada suami. Membasah air
mataku, seandainya suamiku di sini, ada yang menggandeng tanganku, ada yang melindungi aku dari desakan
dan dorongan orang saat thowaf, ada yang duduk di sampingku saat akan sholat. Ada yang mengantar dan
menunggui saat aku ke toilet.
Saat menuliskan inipun, 2 hari menjelang kepulanganku ke
tanah air, aku menangis.
Aku tidak menahan air mataku. Kubiarkan mengalir
membasahi pipi dan kerudungku. Toh banyak orang menangis saat sholat, berdoa,
sa’i atau thowaf. Dengan alasan masing-masing. Jadi saat aku sendiri dan kadang
menangis oleh campuran berbagai macam perasaan, kubiarkan saja air mata yang
menderas. Kunikmati saja.
Aku berdoa, suamiku di tanah air, juga tengah
melakukan ketaatan pada Allah, apapun
itu bentuknya. Apakah menjaga anak-anakku, menemani mereka belajar dan
bermain, sholat ke masjid, rapat, ceramah,
menulis buku atau melakukan pekerjaan rumah tangga.
Beliau sudah mengizinkan aku menyempurnakan rukun Islam ,
sendirian.
Sesuatu yang layak aku syukuri. Aku tidak boleh cengeng
dan manja terbawa perasaan. Pasti, insya
Allah, Allah menolongku dan memampukan aku. Sedangkan bunda Hajar saja
ditinggalkan Nabiyyullah Ibrahim as, di dekat Ka’bah, sendirian hanya
bersama bayinya. Saat Mekkah masih gersang dan belum berpenghuni. Tanpa
tanam-tanaman, tanpa tetangga, tanpa teman, tanpa sanak saudara, tanpa ada
binatang.
Sekarang aku bersama rombongan, bersama shahabat, bersama teman-teman. Sekarang ada pembimbing, ada panitia, dan ada petugas
hotel.
Allah pasti menolongku, seperti keyakinan bunda Hajar.
Alhamdulillah aku tidak pernah tersesat, di Masjidil Haram maupun masjid
Nabawi. Ke toilet juga dimudahkan. Tidak pernah diganggu ornag kemanapun aku
pergi. Teman-teman
selalu membantu dan melindungi aku.
Aku berdoa, semoga suatu saat aku diizinkan Allah datang
kembali mengunjungi Baitullah, bersama suamiku. Entah berhaji lagi atau berumrah. Berkesempatan melakukan ibadah romantis.
Aku berharap, semestinya memang berharap, bukan
berandai-andai, kepergianku ke tanah suci tanpa suami, diridhoi oleh Allah.
Serta membawa hikmah dan kemanfaatan. Amin.
Ibuku dan suamiku telah meridhoiku, kini aku selalu berharap ridho
Allah.
Walaupun demikian, perasaan kemanusiaan seorang istri,
seorang perempuan, kadang muncul. Datang dan pergi, timbul tenggelam.
Menyaksikan kebersamaan penuh cinta dari rekan serombongan, pak Elan dan bu Awie, Pak Hamim dan Bu Retna, Pak Mahfudz dan Bu Fathonah, Pak Dwi dan Bu Amrul, ...dan masih banyak lagi pasangan dalam jamaah satu rombongan, aku jadi bisa
berempati pada rekan-rekan yang belum mendapatkan jodohnya di tanah air. Beginikah
perasaan mereka jika menyaksikan keluarga yang nampak harmonis dan bahagia? Ada
sisi sepi dalam hati yang sulit disembunyikan.
Kunikmati dan kuhirup aura cinta kasih yang mereka
tebarkan. Kubenam dalam-dalam, di dadaku, di hatiku, di benakku untuk
memenuhkan semua cinta dan rindu untuk suamiku di tanah air.
Jadi saat menulis ini, kubiarkan air mataku mengalir,
penuh kerinduan, penuh kecintaan....
Ya Allah, kekalkanlah
cinta kasih kami, hingga ke syurgaMu.
Namun saran saya bagi yang merencanakan ke tanah suci,
jangan berhaji sendirian, berangkatlah bersama suami....kecuali jika anda
memang belum bersuami atau tidak bersuami.
Di dua tanah suci ini,
ada saja tempat-tempat yang menimbulkan romantisme. Di Arafah ada jabal Rahmah, tempat
perjumpaan Nabi adam dan Hawa setelah terpisah sekian lama semenjak turun ke
dunia. Banyak pasangan suami istri berbimbingan mendaki bukit batu, Jika di
tanah air, belum tentu mereka sempat naik gunung berdua.
Perjalanan haji dan umrah, sungguh bagus untuk membangun
romantisme dan kedekatan antara suami istri. Mereka dapat melakukan banyak hal
bersama tanpa terganggu anak dan urusan dunia. Memiliki banyak waktu untuk
berdialog menjalin hati. Aku sarankan bagi keluarga-keluarga yang ingin lebih
bahagia dan romantis, mengatasi masalah kehidupan mereka, untuk pergi berhaji
atau umrah berpasangan. Renungan yang disampaikan para ustadz akan mencerahkan
pasangan. Disempurnakan dengan saling
mohon maaf dan bertaubat di Arafah, Semoga membekas selamanya ...hingga di
tanah air... hingga meregang nyawa kelak.
Haji, dapat menjadi sarana mengokohkan bangunan keluarga.
Dan membangun romantisme, subhanallah !
No comments:
Post a Comment