Menjalin persahabatan dengan anak, butuh ketelatenan.
Namun itulah diantara cara manis mencintai
mereka.
Berikut ini kisah saya...
Kenali Anak dengan Percakapan Ringan Sehari-hari
Diantara test untuk orang tua, apakah mengenal
anak atau tidak, adalah mengetahui apa yang disukainya dan yang tidak disukai
anak. Termasuk tentang siapa idola anak kita.
Sekitar tiga tahun yang lalu, saya tanyakan pada anak-anak tentang guru yang
paling mereka sukai.
Saya mulai dengan bertanya pada bungsu saya, si nomer 6 yang waktu itu masih
duduk di play group.
“ Revo, siapa ibu guru yang paling kamu sayangi ?”
“ Aku paling sayang sama bu Nunung...karena bu Nunung baik...”
Aih, si kecilku segera bisa menentukan pilihan diantara tiga guru kelasnya.
Lalu pertanyaan serupa kutanyakan pada si nomer lima yang kelas 3 SD.
“ Abang , siapa guru favoritmu ?”
“ Aku senang sama us Fe, us Fe itu enak deh...”
Aku bisa membayangkan sosok ustadz Fe. Memang layaklah kalau anak-anak suka
dengan caranya memperlakukan anak. Tanpa diminta, ia nyatakan juga nama guru
yang tidak disukainya.
Kulanjutkan
pada anakku si nomer 4 yang kelas 6 SD.
“ Kak, guru yang paling kamu sukai siapa ?”
Setelah berfikir sejenak, ia menyampaikan nama beberapa gurunya, yang ia sukai.
Rupanya gadis kecilku ini suka bergaul dan menghargai orang. Tapi ia juga
menyebutkan beberapa guru yang tidak ia sukai.
Gantian aku bertanya pada si nomer 3, kelas 3 SMP.
“ Mas, siapa ustadz yang kamu sukai ?” ia berfikir sejenak, lalu menjawab.
“ Aku suka ust Fuadi...orangnya lumayan enak “ dan ia menambahkan beberapa guru
yang tidak disukainya. Aku memperdalam dengan bertanya tentang apa yang enak
dari ustadz tersebut.
Pada kesempatan berbeda, giliran aku bertanya pada dua gadisku, si nomer dua
yang kelas 3 SMA dan kakaknya yang sudah kuliah semester 1.
“ Ja, siapa guru yang kamu sukai ?”
Ia memandangku sejenak, lalu beralih memandang dan menjawil kakaknya.
“ Ka, emang ada murid yang suka sama gurunya ...?” ia bertanya pada kakaknya
dengan nada datar.
“ Iya tuh,kayaknya nggak ada deh...” jawab kakaknya tak kalah cuek.
Waah....ternyata kalau sudah remaja, udah beda ya...
Aku
masih berjuang nih, dengan bertanya lagi.
“ Lho kalian dulu waktu TK, SD, SMP pernah tak tanya pertanyaan serupa, dan
kalian punya kok, guru yang kalian sukai...” mereka memandang heran, sepertinya
tidak ingat.
“ Mmmm...memang ada sih, tapi yang nggak segitunya. Guruku kesenian itu baik,
suka ngajakin ngobrol dan meramal yang baik-baik...”
“ Naah ada kan...!”
Begitulah diantara episode percakapan ringan sehari-hari dengan
anak-anak.
Kita menjadi lebih mengenal anak kita dan situasi di sekolahnya.
Sebagai orang tua, mestinya tahulah siapa Kepala Sekolah di sekolah anaknya,
kalau perlu punya nomer teleponnya. Apalagi dengan wali kelasnya, selayaknya
kita jalin hubungan baik secara berkala untuk memantau perkembangan anak kita
di sekolah.
Saat masih di SMA, sulungku mengeluhkan kebenciannya pada wali kelasnya.
Kebetulan pengajar bahasa jawa.
“ Jadi murid itu jangan membenci gurunya nak, nanti pelajaran akan sulit lho
masuk ke fikiran kita....” Aku menasehatinya.
“ Waah ...pokoknya guruku tuh nyebelinnn banget...” kata putriku.
Suatu
ketika saat penerimaan rapor, aku berhalangan hadir karena ada tugas keluar
kota. Aku menelepon dan membuat janji untuk mengambil pada hari Senin , ketika
aku sudah kembali dari luar kota.
Pada hari dan jam yang disepakati, aku datang menemui wali kelas yang kebetulan
dikeluhkan oleh anakku. Saat memasuki ruang kantornya, yang berderet meja
bersama bapak ibu guru yang lain, aku mulai memahami keluhan anakku.
Sungguh sang wali kelas tidak segera menyambutku, tidak tersenyum dan tidak mengucap
sepatah katapun. Ia hanya memandangku sekilas, mengangsurkan rapor anakku. Dan
ketika aku berucap terimakasih dan mohon maaf atas keterlambatanku mengambil
rapor, ia hanya mengangguk, tanpa senyum dan tanpa kata-kata.
Auranya dingin dan kaku. Ia segera beralih lagi pada pekerjaannya, seakan
kedatanganku hanya mengganggunya.
Hmm, saat itulah aku faham keluhan dan kebencian anakku.
Sampai di rumah, aku berikan raportnya dan berkometar :
“ Sekarang umi ngerti, mengapa kamu tidak suka sama wali kelasmu. Memang
sungguh menyebalkan. Belum pernah umi bertemu guru yang semacam itu. Umi tadi
sempat merasa tidak suka.
Tapi kak, sebenarnya kan malah kasihan dia itu, mungkin memang tidak pandai
berkomunikasi....”
“ Ah umi, dia itu memang menyebalkan. Tidak pernah bicara yang menyenangkan.
Adanya marah, mengejek atau sinis. Tidak ada murid yang suka...”
Hmm repot juga ya...
“
Doakan saja ya nak, dia akan sadar dan jadi baik. Tapi janji sama umi, kamu
tetap bersikap sopan dan menghormatinya...ya ?”
“ Iya dong, buktinya mi, kalau hari Sabtu, aku pakai seragam coklat keki, hanya
pada jam pertama dan kedua. Ya jamnya dia...setelah itu saat istirahat, aku
ganti baju abu-abu putih...”
Begini ceritanya. Ada seragam yang wajib dikenakan pada hari Sabtu, warnanya
coklat keki. Tapi bahan dari sekolah itu panas dan tidak menyerap keringat.
Kresek-kresek, kata anakku. Sulungku tidak mau memakainya dengan alasan
keringatnya akan berlimpah dan menjadi bau badan, saking gerahnya. Maka ia
selalu memakai seragam putih abu-abu, kecuali pada jam saat wali kelasnya
mengajar.
Mungkin diantara murid satu sekolah, hanya sulungku yang melakukan ganti baju
pada hari Sabtu.
“ Kalau aku tidak pakai seragam, wali kelasku itu akan marah dan menghukum aku,
tidak boleh ikut pelajaran. Tapi guru lain memperbolehkan aku pakai seragam
beda dan bisa memahami alasanku...” jelas sulungku.
Dunia
remaja sekarang memang membuat orang tua jadul seperti aku
terheran-heran.
Tidak mau pakai seragam, karena tidak suka bau badannya menjadi tidak enak. Di
masaku tidak ada yang melakukan itu.
Melihat mereka bertukar sebelah sepatu dengan temannya, sehingga ia memakai
sepatu dengan warna kanan kiri yang berbeda. Atau memakai kaus sengaja
terbalik, jika tidak suka gambarnya. Alasannya kalau terbalik kan bisa jadi polos.Ada-ada saja...
Sepertinya dulu kita akan malu sekali kalau kaus atau baju kita terbalik, atau
sendalnya selen beda warna. Sekarang malah selen dibilang keren. Hmm...
Ada rentang waktu panjang yang membedakan dunia masa kecil kita dengan dunia
anak kita. Banyak berdialog dengan mereka akan menjadi jembatan yang
mempersempit ruang keheranan kita. Dan menjadikan kita lebih mengerti anak
kita.
Semoga para orang tua, bisa menjadi sahabat bagi anak-anaknya.
Terutama
saat mereka remaja...bahkan hingga dewasa nantinya, amin.
hahaha, jadi ingat jaman sma. Nyuekin guru yg nyebelin, yg bisanya cuma ngamuk
ReplyDeleteIya mak Afin, bisa jadi pengalaman masa remaja mirip-mirip ya...
Deletesalam kenal.
Nice post Bunda, thank you for sharing
ReplyDeleteSama-sama
DeleteSalam kenal bunda...