Langit , suatu ketika |
Orangnya tidak terlalu tinggi, badannya cukup berisi, tapi
tidak gemuk. Rambutnya lurus, bahkan terlihat kaku, hingga sering memerlukan
pomade (vaslin rambut) untuk merapikannya. Kulitnya coklat terang, dengan
wajah oval dan kumis yang khas.
Pak Diyatmo namanya. Guru SDku di SDN 3 Wonogiri.
Aku sangat terkesan dengan beliau karena beliau mengajarku
sejak masa yang bisa kuingat, yakni kelas 2 SD, hingga kelas 6. Pernah menjadi
wali kelasku di kelas 6.
Pak Diyatmo tidak sebagaimana guru yang lain, yang seringkali
apa adanya. Beliau sedikit nyeni atau nyastra. Mungkin ini yang membuat
aku memiliki kenangan tersendiri.
Pada masa itu, guru SD modelnya adalah guru kelas. Guru kelas
mengajar beberapa mata pelajaran. Hanya beberapa pelajaran yang diajarkan oleh
guru lain seperti : olah raga, seni lukis, agama.
Pak Diyatmo mengajar beberapa pelajaran, yang kuingat adalah
saat beliau mengajar bahasa Indonesia. Begitu mengesankan.
Beliau kadang menyuruh kami membaca berita, berpura-pura
sedang menjadi penyiar televisi dengan membaca teks cerita dalam buku paket
ajar. Beliau mengajari artikulasi,
intonasi, gaya membaca dan menyuruh kami membaca bergiliran. Mengarang adalah pelajaran yang kusukai.
Seringkali beliau memotivasi para muridnya untuk menulis puisi.
Bahkan kadang terkesan memaksakan, lantaran kita semua diberi tugas menulis
puisi tentang apa saja. Dari puisi yang dikumpulkan para siwa, beliau akan
memilih yang nampaknya bagus dan beliau sendiri yang mengirimkan ke Koran atau
Majalah.
Puisiku pernah dianggap cukup baik, aku sendiri sudah lupa
yang mana, saking kerapnya disuruh membuat puisi. Namun ketika dikirimkan ke media cetak, tidak dimuat. Yang sempat
dimuat adalah karya seorang temanku. Kuingat namanya Sabilarrosyad. Aku
mengingatnya lantaran tak seorangpun menduga ia bisa membuat puisi pendek yang
sangat menarik. Sabil tipe anak pintar culun yang kurang gaul. Kadang kita
kerjain karena keluguannya, sedikit aneh bahwa ia ternyata nyastra juga. Entah jika ia membaca ini, ia ingat atau tidak.
Puisi ini lantaran dianggap istimewa, sampai pak Diyatmo
membacakannya di depan kelas berulang-ulang dengan penuh ekspresi dan pujian.
Begini puisinya kalau aku tidak salah ingat :
Salah satu eksotisme semak di Gunung purba Nglaren |
Di bawah pohon
….ssss sejuknya
…..ssss segarnya
Bila duduk di bawah pohon
Begitu saja. Pendek. Singkat. Jelas. Namun bermakna.
Lebih-lebih karena pak Diyatmo membacakannya dengan merem melek seolah sedang
ngisis di bawah pohon saat terik matahari.
Kembali tentang pak Diyatmo. Ada satu hal yang kusesali dari
kebersamaan dengan beliau. Pernah ketika aku kelas 5 SD, ada pemilihan Bintang
Pustaka. Yakni siswa yang akan mewakili sekolah dalam lomba penguasaan buku-buku
perpustakaan. Rupanya pak Diyatmo cukup memperhatikan bahwa aku penggemar buku
dan suka bersempit-sempit di perpustakaan sekolah kami yang sangat sempit. Aku suka
membaca di perpus yang terletak di dalam kantor guru dan bersebelahan dengan
UKS. Perpus yang hanya terdiri dari 1 rak buku. Beliau menunjukku untuk
mewakili sekolah maju dalam lomba Bintang Pustaka. Tapi aku menolaknya. Aku tidak
PD mengikuti lomba.
Akhirnya seorang adik kelas yang juga putra dari kepala
sekolah SMPN di kotaku yang ditunjuk untuk mengikuti lomba. Dan kalah. Itulah momen
berharga yang kusesali karena pernah kulewatkan. Namun mungkin memang demikian
perjalanan yang harus kulalui. Sebenarnya aku sedih lantaran melihat kekecewaan
guruku tercinta itu.
Beliau juga motivator yang mampu memunculkan bakat
terpendamku. Misal saat acara Kartinian, ada lomba melawak. Beliau meminta aku
dan seorang temanku mengikuti lomba tersebut. Aku dan Elva, sohibku
mempersiapkannya dengan serius. Kami membuat naskah sendiri dan berlatih
beberapa kali. Tanpa ada yang membimbing. Ternyata grup duo ini memenangi juara satu ha ha
ha..jadi dalam keseriusanku ternyata ada juga bakat humor.
Sisi lain, beliau memang cukup humoris, suka bercanda walau kadang
keterlaluan. Misalnya suka memanggil nama muridnya dengan sembarang nama.
Memang lucu, tapi kadang yang bersangkutan jengkel karena nama yang digunakan
biasanya nama –nama yang terkesan ndeso.
Beliau suka mengupas dan mengartikan nama-nama.
“ Kalau anak desa itu
namanya biasanya berakhiran i…. sumi, tini, sri, kemi, yuni, yani… Kalau anak
kota itu berakhiran konsonan a, seperti
Ida, Elva, Diyah….”
Kami semua tertawa, karena senyatalah kami sama-sama dari
desa.
Jika memberi nasehat, bagiku sangat berkesan. Misalnya beliau
pernah bertanya:
“ Siapa yang rajin minum susu…?” aku termasuk yang mengangkat
tangan diantara sedikit temanku yang mengangkat tangan.
“ Susu itu bagus untuk otak kalian. Kalian akan tidak mudah
lelah belajar jika rajin minum susu…ayo yang lainnya mulai sekarang yang rajin
minum susu ” begitu pesannya. Maka hingga kuliah, aku terus saja minum susu.
Beberapa teman mengguman lantaran orang tuanya tidak mampu
membelikan susu.
Beliau juga yang mengajari sikap duduk yang baik, jarang
pandang saat menbaca buku sejauh 30 cm. tidak boleh membaca sambil tiduran dsb.
Semua itu selalu kuingat….walaupun kadang tidak kupraktekan, terutama dalam hal
larangan membaca sambil tiduran.
Kenangan terakhir adalah saat perpisahan kelas. Hari terakhir
kami dikelas enam. Setelah pengumuman kelulusan dan selesai tetek bengek
administrasi, kami habiskan waktu dengan bernyanyi bersama pak Diyatmo.
Angkatanku mungkin kurang beruntung lantaran tidak ada pesta
perpisahan sekolah. Biasanya SD Negeri seperti sekolah kami dengan dana yang terbatas, tidak
setiap tahun bisa mengadakan pesta perpisahan dan wisuda. Biasanya beberapa
tahun sekali acara besar itu digelar. Kuingat biasanya kami meminjam aula SMAN
I yang terdekat dan cukup luas.
Namun begitulah, giliran angkatan kami, giliran tidak
dirayakan.
Sebagai walikelas, sepertinya pak Diyatmo sangat menyayangkan
hal itu. Sehingga hari terakhir kami, hanya dilewatkan di kelas. Kepala sekolah
memberikan ucapan selamat dan pesan-pesan. Lalu ada wakil siswa yang
menyampaikan kesan pesannya dan ucapan terimakasih untuk para guru.
Lalu kami bertukar kado silang berisi makanan sebagai hidangan
perpisahan.
Isinya juga hal yang sangat biasa lantaran harga yang dipatok
hanya beberapa ratus rupiyah. Bahkan kami saling mengerjai dan
menertawakan kesialan jika ada teman
yang membuka kadonya dan mendapat makanan yang kurang favorit seperti marning atau berondong,
bahkan krupuk.
Sepertinya pak Diyatmo tidak ingin melewatkan waktu terakhir
kami berlalu cepat. Beliau mengajak kami
bernyanyi bersama, aneka nyanyian. Mengajak kami melakukan pentas spontanitas
untuk bergembira sesaat. Beliau juga menanyakan tentang cita-cita kami.
Kebanyakan temanku mengatakan ingin menjadi guru. Termasuk aku. Sampai beliau
memberi nasehat bahwa sekalipun guru itu profesi mulia, namun masih banyak
profesi yang lain. Maka ketika semua ditanya ulang tentang cita-cita, kamipun
banyak yang berubah cita-cita. Namanya juga anak-anak.
Selebihnya kami bernyanyi-nyanyi.
Sampai sekarang aku masih ingat syair dan nada yang kami
nyanyikan secara bergelombang dalam beberapa nada.
“ SD tiga kuu… sd tiga kuu… SD tiga kuuuu …SD tidakuu….”
Demikian kami nyanyikan berulang-ulang. Kadang hanya dengan
mmmm tanpa menyanyikan syairnya, hingga bibir-bibir kami bergetar dan kali terpingkal-pingkal bersama. Seperti
tak ada jarak antar guru dan murid.
Sederhana sekali ya, tapi karena sederhananya, jadi mudah
untuk kukenang.
Terakhir beliau menyampaikan renungan dengan mata yang
berkaca-kaca. Beliau memesankan hal-hal tentang akhlaq yang baik. Lalu kami
saling bersalaman bermaafan sebagai akhir dari kebersamaan kami di SD. Kami
menangis cukup lama hingga pulang dengan mata yang sembab.
Namun sebagaimana anak-anak yang mudah beralih suasana, dalam
perjalanan pulang, kami sudah tertawa-tawa lagi.
Begitulah yang kuingat tentang salah seorang guruku. Beliau sangat menginspirasiku. Hingga kini, aku suka menulis cerita dan menikmati puisi, diantaranya karena pak Diyatmo. Kusadari betapa kuat pengaruh seorang guru pada murid, seperti yang kukenang dari pak Diyatmo. Walaupun aku tak bisa menceritakan beliau seperti cara Andrea Hirata mengagumi bu Muslimah dalam Lasykar Pelangi, namun tak akan kulupakan jasa pak Diyatmo.
Terimakasih guruku. Semoga menjadi bagian dari amal sholihmu. Kudengar
beliau telah berpulang. Semoga mendapat tempat yang layak di sisiNya.
No comments:
Post a Comment