Garis
wajahnya masih menampakkan sisa-sisa ketampanan wajah pada masa mudanya.
Bibirnya selalu berhias senyum manis. Yang paling menarik adalah rambutnya.
"
Seperti einstein..." Bisik suamiku.
" Saya
lahir tahun 1934. Saya mengalami jaman Belanda, Jepang dan Jaman Kemerdekaan..."
Waah ceritanya masih runut. Kami mendengarkan dengan serius.
"
Paling enak jaman Belanda. Yang jualan hanya Cina. Mereka jor- joran
diskon....." Ia berhenti sejenak dan tersenyum. Mungkin mengenang masa
mudanya itu.
" Anak-
anak sekarang harus diajari mencintai Indonesia. Diajari lagu- lagu perjuangan
untuk mendidik patriotisme." Lalu ia mulai menyanyi lirih beberapa syair
lagu nasional. Bercampur campur ada Garuda Pancasila, Maju tak gentar dan Halo-
halo bandung.
Secara
mengejutkan ia berhenti tiba- tiba dan bertanya :
" Itu
apa ?" Ia menunjuk peti mati di hadapan kami.
" Jenazah
mbah..." Jawab suamiku.
"o,
jenazah. Jenazah siapa ?"
" Mbah
Wito" kali ini yg menjawab bu
Indri, anak perempuan lelaki einstein itu. Sejatinyalah kami sedang melayat.
Pak wito adalah mertua bu Indri, sekaligus besan lelaki tiga zaman itu. Mereka
hidup dalam satu atap sudah setahun terakhir. Namun rupanya kepikunan telah
membuat lelaki ini lupa dengan teman berbincangnya setiap hari.
" Berapa
usianya ?" Tanya lelaki itu lagi.,
" 85
tahun " bu Indri terus menjawab dengan sabar. Lalu beliau berbisik
kepadaku.
" Tadi
sudah aku jelaskan ke bapak perihal meninggalnya bapak mertua. Tapi bapak sudah
lupa lagi. Bapak kehilangan ingatan jangka pendek..."
Hmm begitu
rupanya. Maka ia mengaku sebagai lelaki 3 zaman. Bukan 4 zaman. Beliau tidak
lagi sepenuhnya bisa mengingat zaman
reformasi.
Suamiku terus berdialog dengan pembicaraan yang
searah. Bapak tua yang banyak bercerita dan suamiku menanggapi sebisanya.
Aku sendiri
lebih banyak berbincang dengan rekanku tentang hal ikhwal sakit dan saat- saat
akhir mertuanya.
Dalam
perjalanan pulang, kami membincangkan keunikan yang kami temui. Lelaki 3 zaman
itu, adalah cerminan masa mudanya yang bahagia. Ia selalutersenyum dan berkata
yang baik. Pemikiran - pemikiran yang mungkin menjadi konsennya di masa muda.
Pikun telah
menghampirinya di usia 79, namun ia tak lupa dengan bacaan sholat. Setiap kali
waktu sholat tiba, anaknya akan mengingatkan untuk menunaikan sholat. Ia sholat
dengan cara yang benar sekalipun tak lagi bisa berdiri. Kemanapun ia pergi
dengan beringsut. Tidak setiap orang yang ada di rumah diingatnya, termasuk
bapak Wito, besannya yang telah meninggal. Dulu mereka sering duduk mengobrol
berdua. Walaupun pada masa akhir - akhir setelah datang pikunnya ia sudah lupa
dengan besan rekan ngobrolnya.
Sebentar
kemudian ini bertanya lagi :
" Jenazah
mbah"
" Jenazahe
sopo?"
" Mbah Wito..."
Dialog
kembali berulang.
Lelaki 3
zaman itu, selalu bertanya dan ingin tahu, apa yang terjadi di sekitarnya.
Kubayangkan bahwa
kita semestinya bersabar membersamai orang tua yang telah pikun. Berkali-kali
bertanya hal yang sama. Bahkan kadang setelah selesai makan sudah minta makan lagi. ( Eh bukankah sama seperti anak kecil yang seringkali
mengulang pertanyaan yang sama. Orang tuanya kudu sabar agar anaknya tumbuh
cerdas dengan banyak bertanya). Kalau menghadapi orang tua, anak harus bersabar
untuk mendapat syurga Allah karena berbakti pada orang tua.
Aku trenyuh
memikirkan diriku sendiri, berapa lama kuasa manusia, mempertahankan
ingatannya, menjauh dari kepikunan.
Apa yang
terjadi saat usia terus memanjang, dan kesadaran telah digantikan oleh
kepikunan.
Ya Allah,
peliharalah kami dari kepikunan, berilah kami usia panjang yang berkah dengan
kesadaran.
Amin.
Pelajaran yang bisa dipetik
1. Karakter masa muda atau yang dominan sepanjang hidupnya akan muncul pada pada saat pikun. seperti lelaki einstein yang selalu tersenyum.
2. Fokus perhatian pada masa hidup, terbawa juga hingga masa pikun.
3. Buah mendidik anak yang sholih atau sholihah adalah mereka tetap berbakti dengan berlaku baik pada orang tuanya pada masa pikun.
4. Manfaatkan masa sadarmu sebelum datang masa pikunmu.
5. berdoa agar dijauhkan dari kepikunan.
Oya foto-foto ini koleksi pribadi yang tidak ada hubungannya dengan cerita di atas. Maklum namanya melayat, gak enak mau jeprat-jepret,
Layknya kita sabar menghadapi anak kecil, begitu juga dm menghadapi orang tua yg sudah pikun, harus sabar juga :)
ReplyDeleteBetl sekali Santi Dewi, terimakasih sudah berkunjung
ReplyDeletembahnya suami juga dah pikun mak, tiap kami datang, dia ga kenal, sebentar2 nanya siapa kami.... ya begitulah....
ReplyDeleteSaatnya anak cucu berbakti ya enci sasikirani. makasih udah berkunjung
ReplyDelete